NovelToon NovelToon
Sumpah Raja Duri

Sumpah Raja Duri

Status: tamat
Genre:Fantasi Isekai / Mengubah sejarah / Fantasi Wanita / Peramal / Cinta Istana/Kuno / Tamat
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: tanty rahayu bahari

Elara, seorang ahli herbal desa dengan sihir kehidupan yang sederhana, tidak pernah menyangka takdirnya akan berakhir di Shadowfall—kerajaan kelabu yang dipimpin oleh raja monster. Sebagai "upeti" terakhir, Elara memiliki satu tugas mustahil: menyembuhkan Raja Kaelen dalam waktu satu bulan, atau mati di tangan sang raja sendiri.
​Kaelen bukan sekadar raja yang dingin; ia adalah tawanan dari kutukan yang perlahan mengubah tubuhnya menjadi batu obsidian dan duri mematikan. Ia telah menutup hatinya, yakin bahwa sentuhannya hanya membawa kematian. Namun, kehadiran Elara yang keras kepala dan penuh cahaya mulai meretakkan dinding pertahanan Kaelen, mengungkap sisi heroik di balik wujud monsternya.


Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15: Kutukan Mengamuk

​Malam sebelum pesta besar itu, badai menghantam Shadowfall. Bukan badai salju, melainkan hujan es yang menghujam atap-atap menara dengan suara bising seperti ribuan kerikil dijatuhkan dari langit.

​Elara tidak bisa tidur. Dia berguling ke kiri dan ke kanan di tempat tidur mewahnya, memegangi kalung Sun-Stone di lehernya. Batu itu berdenyut hangat, tapi iramanya tidak teratur.

​Dug... dug... dug-dug...

​Awalnya Elara mengira itu detak jantungnya sendiri karena gugup menghadapi Duke Vane besok. Tapi kemudian dia menyadari, denyutan itu sinkron dengan rasa sakit tumpul yang tiba-tiba muncul di bahu kanannya—bahu yang sama dengan letak kutukan Kaelen.

​"Koneksi," bisik Elara, duduk tegak dalam kegelapan.

​Sejak peristiwa di medan perang, di mana dia menuangkan seluruh energinya ke dalam tubuh Kaelen, ada ikatan samar yang terbentuk di antara mereka. Dan sekarang, ikatan itu menjeritkan satu kata: Sakit.

​Elara menyambar jubah tidurnya dan berlari keluar kamar tanpa alas kaki.

​Lorong Sayap Barat sunyi dan dingin. Tapi saat dia mendekati pintu kamar Kaelen, dia merasakan hawa dingin yang tidak wajar. Embun beku menempel di dinding batu. Obor api biru di sepanjang koridor berkedip-kedip lemah, seolah oksigen di sana sedang diserap habis.

​Vorian berdiri di depan pintu kamar Raja. Pria itu tampak tegang, tangannya bersedekap erat.

​"Minggir, Vorian," kata Elara tanpa basa-basi.

​"Raja tidak bisa diganggu, Nona," suara Vorian terdengar lelah. "Beliau sedang... beristirahat untuk persiapan besok."

​"Jangan bohong padaku," desis Elara. Dia merasakan hawa dingin itu merembes ke tulang kakinya. "Aku bisa merasakannya. Dia tidak sedang beristirahat. Dia sedang sekarat."

​Vorian terdiam. Dia menatap pintu kayu ek di belakangnya, lalu menatap Elara. Perlahan, dia menggeser tubuhnya.

​"Hati-hati," bisik Vorian. "Kondisinya... tidak stabil. Dia mengunci diri agar tidak melukai siapa pun."

​Elara tidak menunggu lagi. Dia memutar gagang pintu yang sedingin es itu dan mendorongnya terbuka.

​Kamar itu seperti dilanda angin ribut.

​Lemari pakaian terbalik. Cermin besar pecah berkeping-keping. Tirai jendela robek. Dan di tengah kekacauan itu, meringkuk di sudut ruangan yang paling gelap, ada Kaelen.

​Elara menutup mulutnya dengan tangan untuk menahan jeritan.

​Kondisi Kaelen jauh lebih buruk daripada saat pertama kali mereka bertemu di taman. Kutukan itu mengamuk. Lapisan batu obsidian tidak hanya menutupi separuh tubuhnya, tapi kini merambat cepat ke leher, pipi kiri, dan dada kirinya.

​Duri-duri kristal hitam tumbuh liar dan tajam, menembus kulitnya dari dalam, merobek kemeja tidurnya hingga menjadi kain perca yang berlumuran darah hitam.

​Kaelen menggigil hebat, napasnya keluar dalam uap putih, seolah suhu tubuhnya turun di bawah titik beku.

​"Keluar..." geram Kaelen saat melihat Elara. Suaranya bukan lagi suara manusia, melainkan suara gesekan batu gerinda yang mengerikan. "JANGAN DEKAT-DEKAT!"

​"Tidak," tolak Elara. Dia melangkah masuk, mengabaikan pecahan kaca yang menusuk telapak kakinya yang telanjang.

​"Elara, pergi!" teriak Kaelen. Dia mencoba mundur, menekan punggungnya ke dinding batu. Duri-duri di punggungnya menggores dinding, menciptakan percikan api. "Aku tidak bisa... menahannya. Vane benar. Obatmu... hanya menundanya. Sekarang... dia menagih bayaran."

​"Diamlah!" bentak Elara, air mata mengalir di pipinya. Dia berlutut di depan Kaelen.

​Hawa dingin yang memancar dari tubuh Kaelen begitu kuat hingga bulu mata Elara membeku seketika. Rasanya seperti berdiri di depan pintu kulkas raksasa yang terbuka.

​"Kenapa ini terjadi sekarang?" tanya Elara panik, tangannya melayang di atas dada Kaelen yang berdenyut dengan cahaya merah marah.

​"Karena aku... merasa bahagia," jawab Kaelen, tersenyum kecut di antara ringisan sakitnya. "Kutukan ini memakan emosi positif. Semakin aku berharap... semakin dia mencekikku. Dia tidak ingin aku sembuh, Elara. Dia ingin aku putus asa."

​Kaelen mencengkeram tangan Elara—menggunakan tangan kirinya yang mulai kaku membatu.

​"Batalkan pestanya," perintahnya lemah. "Aku tidak bisa berdiri. Apalagi berdansa. Vane akan melihat ini dan tertawa. Rencana kita gagal."

​"Tidak," kata Elara keras kepala.

​Dia melepaskan kalung Sun-Stone dari lehernya. Batu kristal itu bersinar terang dengan energi matahari yang diserapnya seharian di rumah kaca.

​"Apa yang kau lakukan?"

​"Kau butuh baterai," kata Elara.

​Dia tidak memakaikan kalung itu ke leher Kaelen. Sebaliknya, dia menempelkan batu kristal yang panas itu langsung ke dada Kaelen, tepat di atas jantungnya yang tertutup lapisan batu tipis.

​SSSSHHH!

​Suara desisan uap terdengar nyaring.

​Kaelen menjerit tertahan, punggungnya melengkung. Energi murni matahari dari batu itu dipaksa masuk ke dalam sistem tubuhnya, bertarung melawan dinginnya kutukan Void.

​Elara tidak melepaskannya. Dia menekan batu itu dengan kedua tangannya, lalu memejamkan mata dan menyalurkan sihir kehidupannya sendiri sebagai katalis.

​"Mundur," perintah Elara pada kutukan itu. "Kau tidak boleh mengambilnya malam ini. Bukan malam ini!"

​Cahaya hijau dan emas bertabrakan dengan cahaya merah darah dari kutukan itu. Ruangan itu bergetar. Kaca jendela yang tersisa meledak keluar.

​Elara merasa tenaganya disedot habis-habisan. Kepalanya pening, hidungnya mulai berdarah lagi. Tapi dia menolak berhenti. Dia membayangkan bunga Moondrop yang mekar di rumah kaca. Dia membayangkan senyum Kaelen di perpustakaan. Dia membayangkan harapan.

​Perlahan... sangat perlahan... duri-duri liar itu berhenti tumbuh.

​Warna abu-abu yang menutupi leher dan pipi kiri Kaelen mulai surut, mundur kembali ke garis batas aslinya di sisi kanan. Napas Kaelen yang memburu mulai tenang. Suhu ruangan kembali normal.

​Kalung Sun-Stone di tangan Elara retak sedikit, cahayanya meredup, tapi tugasnya selesai.

​Elara jatuh terduduk, napasnya tersengal-sengal. Tangannya gemetar hebat.

​Kaelen terbatuk, memuntahkan cairan hitam ke lantai. Dia menyeka mulutnya, lalu menatap tubuhnya sendiri. Dia kembali ke wujud "normal"-nya—masih setengah monster, tapi stabil.

​Dia menatap Elara dengan pandangan horor.

​"Kau menghabiskan cadangan energimu lagi," bisik Kaelen. Dia merangkak mendekat, menyentuh wajah Elara dengan tangan manusianya yang kembali hangat. "Kau bisa membunuh dirimu sendiri, Elara!"

​"Aku masih hidup," bantah Elara lemah, bersandar pada dada Kaelen. "Dan kau masih hidup. Itu yang penting."

​"Tapi besok..." Kaelen menggelengkan kepala. "Aku lemah. Kau lemah. Bagaimana kita bisa menghadapi Vane? Satu provokasi kecil, dan aku akan meledak lagi."

​Elara mendongak. Matanya yang lelah memancarkan tekad yang mengerikan.

​"Kita tidak akan bertarung dengan kekuatan besok, Kaelen. Kita bertarung dengan ilusi."

​Elara mengambil napas panjang, mengumpulkan sisa tenaganya untuk duduk tegak.

​"Besok, kau akan memakai sarung tangan tebal. Kau akan memakai kerah tinggi. Dan aku... aku akan memberimu ramuan Numbskull. Itu ramuan penghilang rasa sakit dosis tinggi. Kau tidak akan merasakan apa-apa selama empat jam. Tidak sakit, tidak dingin, tidak emosi."

​"Itu berbahaya," kata Kaelen. "Itu akan membuatku mati rasa. Aku bisa saja tidak sengaja meremukkan tangan seseorang saat bersalaman."

​"Itulah gunanya aku," kata Elara. Dia menggenggam tangan Kaelen. "Aku akan ada di sampingmu setiap detik. Aku akan menjadi perasa-mu. Aku akan menjadi rem-mu. Kau hanya perlu tersenyum, mengangguk, dan terlihat tampan."

​Kaelen menatap gadis di hadapannya. Gadis yang rambutnya acak-acakan, hidungnya berdarah, dan mengenakan jubah tidur di lantai yang penuh pecahan kaca.

​Dia belum pernah melihat makhluk yang lebih indah atau lebih kuat dari ini.

​"Kau gila," bisik Kaelen, menempelkan keningnya ke kening Elara.

​"Kita berdua gila," balas Elara. "Itu satu-satunya cara untuk bertahan hidup di istana ini."

​Pintu kamar terbuka pelan. Vorian mengintip masuk, pedangnya sudah terhunus, siap menghadapi monster yang mengamuk.

​Namun yang dia lihat hanyalah Raja dan Tabibnya, duduk berpelukan di lantai di tengah reruntuhan kamar, dikelilingi oleh keheningan pasca-badai.

​"Vorian," panggil Kaelen tanpa menoleh.

​"Ya, Yang Mulia?"

​"Panggil pelayan. Bersihkan kamar ini. Dan siapkan baju terbaikku."

​Kaelen mengangkat wajahnya, mata heterokromianya tajam kembali.

​"Pestanya tetap berjalan."

​Matahari terbit di Shadowfall dengan cahaya pucat yang menyakitkan mata.

​Di dalam kamarnya yang sudah dibersihkan, Kaelen berdiri kaku saat Elara meminumkan segelas cairan ungu pekat ke bibirnya. Ramuan Numbskull.

​"Rasanya seperti menelan paku," komentar Kaelen setelah meneguknya habis.

​"Tunggu lima menit," kata Elara. Dia sendiri tampak pucat, tapi lapisan bedak tebal dan gaun hijau zamrud yang cerah menyamarkan kelelahannya.

​Lima menit kemudian, pupil mata Kaelen membesar sedikit. Bahunya rileks.

​"Bagaimana rasanya?" tanya Elara.

​Kaelen mencubit lengan kirinya sendiri dengan keras. "Tidak ada. Kosong. Seperti tubuhku bukan milikku."

​"Bagus," kata Elara. Dia merapikan kerah jubah Kaelen, menutupi bekas luka duri yang baru semalam. "Ingat, jangan bicara terlalu banyak. Biar aku yang bicara."

​Kaelen menatap Elara. Wajahnya datar karena efek obat, tapi matanya mencoba menyampaikan sesuatu yang tidak bisa dia ucapkan.

​"Elara," katanya, suaranya monoton. "Jika hari ini berjalan buruk... jika aku kehilangan kendali... berjanjilah satu hal."

​"Apa?"

​"Lari. Jangan coba menyelamatkanku lagi. Lari sejauh mungkin."

​Elara tersenyum tipis. Dia berjinjit, mengecup pipi Kaelen yang tidak bisa merasakan sentuhan itu.

​"Ayo pergi, Sayangku. Tamu-tamu sudah menunggu."

​Mereka berjalan keluar kamar, bergandengan tangan.

​Di bawah, di aula besar, Duke Vane sudah menunggu dengan senyum ularnya, siap untuk memakan mereka hidup-hidup. Tapi dia tidak tahu, bahwa dia sedang menunggu sepasang manusia yang tidak punya rasa takut lagi karena mereka sudah melihat neraka semalam.

​Pesta sandiwara dimulai.

BERSAMBUNG...

Terima kasih telah membaca 💞

Jangan lupa bantu like komen dan share❣️

1
Alona Luna
wahhh akhirnya happy ending ☺️
Alona Luna: wahhhh ok. baik
total 2 replies
Alona Luna
semangat next kak☺️
Alona Luna: sama-sama kak.☺️
total 2 replies
Alona Luna
next kak.. makin seru ceritanya
Ara putri
semangat kak, jgn lupa mampir juga keceritaku PENJELAJAH WAKTU HIDUP DIZAMAN AJAIB
tanty rahayu: semangat juga ya ka.... wah kayanya seru tuh 😍nanti aku mampir baca ya
total 1 replies
Alona Luna
ceritanya bagus kak. next
Alona Luna: aku tunggu kak☺️
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!