Mata elang Layla mengamati pria yang akan menjadi suaminya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tindikan di telinga, tato di lengan, dan aura berbahaya yang terpancar, adalah definisi seorang badboy. Layla mendesah dalam hati. Menikahi pria ini sepertinya akan menjadi misi yang sangat sulit sepanjang karir Layla menjadi agen mata-mata.
Tapi untuk menemukan batu permata yang sangat langka dan telah lama mereka cari, Layla butuh akses untuk memasuki keluarga Bagaskara. Dan satu-satunya cara adalah melalui pernikahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alisha Chanel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Beberapa hari tanpa Adrian, terasa seperti siksaan bagi Layla. Ia mengakui, ada rindu yang menyergap hatinya.
Terbiasa mendengar suara Adrian, lelucon, dan candaannya, kini masa pingitan sebelum menikah menjadi pembatas tak kasat mata bagi mereka. Layla mencoba mengalihkan kerinduannya dengan membaca buku, namun atensinya buyar saat suara ketukan pintu terdengar.
"Nona Layla, Tuan Indra memanggil anda ke ruang kerjanya," ucap pelayan itu sopan.
"Baik, saya akan segera ke sana." balas Layla. Layla menyimpan bukunya di atas nakas, kemudian mulai melangkah menuju ruangan kerja papa Indra.
Di ruang kerja, papa Indra sudah duduk di atas kursi kebesarannya, wajahnya nampak tegang. Layla sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Duduk, Layla," kata Indra tanpa basa-basi.
"Ada apa, pa?" tanya Layla yang kini sudah duduk di kursi di hadapan sang ayah.
Layla menatap ayahnya dengan sorot mata dingin. Ruangan kerja yang lumayan besar itu terasa menyesakkan.
"Pernikahanmu dengan Adrian adalah hadiah terbaik yang papa berikan padamu, Layla. Jadi kamu harus membalasnya dengan cara menjadi putri yang berbakti. Setelah kalian menikah nanti, bujuk Adrian dan tuan Kenzo agar mau berinvestasi lagi di perusahaan papa." ucap papa Indra.
"Hadiah?" Layla tertawa sinis mendengarnya.
"Bukannya aku menikah dengan Adrian untuk menggantikan Nadin atas permintaan papa! Jangan berkata seolah-olah pernikahan ini adalah hadiah yang papa berikan untukku." sinis Layla.
"Layla! Jaga bicaramu! Pernikahan ini demi masa depanmu juga nak!" wajah papa Indra sudah memerah karena marah.
"Masa depanku? Masa depanku ada di tanganku sendiri, bukan di perusahaan papa yang hampir bangkrut itu. Aku tidak akan mengemis pada Adrian atau ayah mertuaku nanti." ucap Layla.
"Lancang! Apa kamu lupa kalau kamu sudah mendapatkan saham perusahaan sebesar 20 %. Jadi tidak ada salahnya kalau kamu sedikit berjuang demi kemajuan perusahaan kita juga." papa Indra mengingatkan.
"Tentu saja aku akan berjuang untuk perusahaan, tapi dengan caraku sendiri, tidak dengan cara menjadi penjilat atau pengemis seperti yang papa lakukan selama ini." jawab Layla telak.
"Kau! Kau benar-benar tidak tahu berterima kasih Layla!" Indra menunjuk Layla dengan tangan gemetar.
"Terima kasih? Untuk apa? Untuk pernikahan yang tidak Nadin inginkan kemudian kalian memberikannya padaku? Atau untuk hidup yang diatur olehmu sejak aku kecil? Cukup, pah. Aku sudah muak!" Layla tersenyum sinis.
"Kau! Kau akan menyesal, Layla! Kau akan menyesal!" papa Indra tak bisa berkata-kata lagi, ucapan Layla menyerang titik terlemahnya.
"Mungkin. Tapi aku akan lebih menyesal jika harus menuruti semua keinginan papa." Layla berbalik dan meninggalkan Indra yang membeku dalam amarahnya.
"Tenang saja, sebentar lagi aku tidak akan tinggal di rumah ini lagi. Setelah menikah, aku akan tinggal di rumah Adrian. Aku tidak akan peduli lagi pada papa dan keluarga ini." batin Layla.
***
Beberapa hari kemudian...
Mentari pagi bersinar dengan begitu cerahnya, seolah ikut berbahagia menyambut hari pernikahan Adrian dan Layla.
Pesta pernikahan mereka bukan sekadar pernikahan biasa, tapi juga simbol kemegahan dan kesuksesan keluarga Bagaskara. Para tamu undangan mulai berdatangan, memenuhi ballroom hotel bintang lima yang telah disulap menjadi taman bunga raksasa.
Adrian terlihat begitu gagah dan tampan dengan setelan jas putihnya. Senyumnya merekah saat melihat Layla berjalan dengan anggun menuju dirinya. Gaun putih Layla berkilauan, memancarkan aura kecantikan yang membuat Adrian terpesona.
"Kamu adalah pengantin tercantik yang pernah aku lihat, Layla." bisik Adrian, membuat pipi Layla merona.
Dad Kenzo tampak bangga menyambut para tamu penting yang hadir. Kenzo adalah seorang pengusaha sukses yang disegani di negara ini ataupun luar negri, dan pernikahan putranya ini menjadi ajang untuk mempererat relasi bisnisnya yang menggurita. Namun, di balik senyumnya, tersimpan harapan besar agar Adrian bisa meneruskan bisnis keluarga dengan baik.
Pesta berlangsung sangat meriah, dengan hiburan musik dari penyanyi terkenal dan hidangan mewah yang menggugah selera. Adrian dan Layla tak henti-hentinya menyambut para tamu yang datang, berfoto, dan berdansa. Senyum terus terukir di wajah mereka, meskipun rasa lelah mulai terasa.
***
"Nek, aku gugup sekali. Pernikahan ini...terasa melelahkan," bisik Layla dengan mata berkaca-kaca. Di sela-sela kesibukannya menyambut para tamu yang datang, Layla menyempatkan diri berbicara dengan sang nenek yang baru saja tiba dari desa.
"Layla sayang, keteguhanmu jangan sampai goyah di hari bahagia ini ya. Ingatlah mendiang ibumu, ingatlah Budiman Corp yang direbut paksa dari ibumu. Setelah menjadi istri Adrian, kau akan menjadi bagian dari keluarga Bagaskara, dan kekuasaanmu akan jauh di atas papamu. Kau bisa merebut kembali perusahaan milik ibumu dengan mudah dan mengungkap dalang dibalik meninggalnya ibumu. Jangan biarkan mereka yang bersalah hidup tenang." ucap wanita tua itu dengan tatapan tajam, seraya mengusap lembut rambut Layla.
"Tapi aku merasa bersalah pada Adrian, nek. Aku telah memanfaatkannya. Aku tidak mencintainya dengan tulus." Tiba-tiba dada Layla terasa sesak karena rasa bersalah. Tapi demi misinya Layla tidak boleh mundur.
"Cinta bisa tumbuh seiring waktu, Layla. Tapi dendam tidak boleh padam. Nenek lihat Adrian adalah pria yang tegas dan penuh ambisi, dia akan menjadi partner yang paling bisa mengimbangimu kelak." Nenek terus meyakinkan Layla.
"Ya, aku harap begitu." Layla mendesah pelan.
***
Mom Anzela menyipitkan mata. Ia melihat Layla dan Nenek Puspa duduk terpisah dari keramaian, hanya berdua di sebuah sudut taman.
Dengan langkah anggun, Mom Anzela menghampiri mereka.
"Layla, nek Puspa, kenapa kalian berdua ada di sini?" sapa Mom Anzela dengan senyum ramah.
"Adrian sedang sibuk menyambut tamu, mom. Aku sedikit bosan dengan keramaian, jadi aku mencari ketenangan bersama Nenek di sini." Layla tersenyum tipis.
"Benar, Anzela. Layla butuh istirahat sejenak. Pesta ini pasti sangat melelahkan untuknya." Nenek mengangguk membenarkan ucapan sang cucu.
Mom Anzela mengamati Layla dengan seksama. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan menantunya itu.
"Wajahmu terlihat pucat, Layla. Apa kamu sakit?" tanya mom Anzela khawatir.
"Aku baik-baik saja kok, Mom. Hanya sedikit lelah saja," jawab Layla, senyuman terukir dibibir indahnya, berusaha meyakinkan sang ibu mertua kalau semua dalam keadaan baik-baik saja.
Namun, Mom Anzela tidak begitu saja percaya. Wanita paruh baya itu merasa ada jarak dalam diri Layla yang tak bisa ia sentuh. Mom Anzela juga merasa ada aura misterius yang mengelilingi Nenek Puspa, nenek Layla. Tapi mom Anzela tak ingin terlalu menuntut penjelasan dari menantu barunya itu sekarang.
"Baiklah kalau begitu. Tapi jangan sungkan untuk beristirahat, ya. Kesehatanmu lebih penting dari apapun sayang, mom akan kembali ke dalam, jika butuh sesuatu jangan sungkan untuk menghubungi mom." kata Mom Anzela diiringi dengan senyumnya yang manis.
"Baik mom. Terima kasih." balas Layla. Layla ikut tersenyum membalas senyuman mom Anzela. Setelah Mom Anzela pergi, Layla menghela napas lega.
"Apa mom Anzela mulai curiga padaku nek?" bisik Layla di telinga sang nenek.
"Tenang, Layla. Tidak semua orang memiliki insting sekuat dirimu. Tapi kita harus lebih berhati-hati lagi. Jangan biarkan mereka tahu rencana kita." Nenek Puspa menepuk pundak Layla.
Layla mengangguk, tekadnya semakin kuat. Ia harus bisa menutupi kebohongannya demi mencapai tujuannya, meskipun itu artinya Layla harus berhadapan dengan keluarganya sendiri.
Pesta pernikahan ini hanyalah awal dari permainan yang berbahaya.
Bersambung.