Satu-satunya hal yang lebih buruk dari dunia yang rusak adalah mengetahui ada dunia lain yang tersembunyi di baliknya... dan dunia itu juga sama rusaknya.
Rania (21) adalah lulusan arsitektur terbaik di angkatannya. Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya sebagai kurir paket. Baginya, sarkasme adalah mekanisme pertahanan, dan kemalasan adalah bentuk protes diam-diam terhadap industri yang menghancurkan idealisme. Dia hanya ingin hidup tenang, mengabaikan dunia, dan membayar sewa tepat waktu.
Tapi dunia tidak mau mengabaikannya.
Semuanya dimulai dari hal-hal kecil. Bayangan yang bergerak sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Sensasi dingin yang menusuk di gedung-gedung tua. Distorsi aneh di udara yang hanya bisa dilihatnya, seolah-olah dia sedang melihat kota dari bawah permukaan air.
Rania segera menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Dia adalah satu-satunya yang bisa melihat "Dunia Cermin"-sebuah cetak biru kuno dan dingin yang bersembunyi tepat di balik realita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15: PUSTAKAWAN DAN KEKACAUAN
Waktu seakan berhenti di dalam kafe yang temaram.
Di bawah lantai, keheningan yang dipaksakan oleh garpu tala Dion terasa berat dan mengancam. Di atas lantai, tiga orang—seorang arsitek yang baru terbangun, seorang akademisi kuno, dan seorang teknisi yang gugup—terlibat dalam negosiasi yang mustahil.
Reza tetap diam di balik konter, hampir tidak bernapas, menjadi saksi bisu.
Tatapan Rania tidak goyah. "Bima," ulangnya. "Anda ingin tahu tentang Bima. Dan saya ingin tahu... *apa* saya."
Elara menatap Rania, dan untuk pertama kalinya, Rania melihat sesuatu di balik fasad dosennya yang kaku. Rasa hormat. Atau setidaknya, rasa ingin tahu yang setara.
"Sangat adil," kata Elara. "Anda adalah seorang Arsitek. Anda berhak atas *blueprint*."
Elara bersandar di kursinya. Waktu seolah melambat saat dia mulai menjelaskan.
"Dunia ini," katanya, "adalah sebuah kompromi. Sebuah bangunan yang direnovasi dengan buruk selama ribuan tahun. Ada dua cetak biru yang saling bertentangan."
Dia mengangkat satu tangan. "Pertama, ada 'Denah'. Dunia Cermin. Apa yang Anda lihat dalam mimpi Anda. Itu adalah *desain ideal*. Sempurna, logis, matematis, dan abadi. Itu adalah dunia Gema. Dingin. Sunyi. Benar."
Dia mengangkat tangan yang lain. "Lalu ada 'Bangunan Jadi' (As-Built). Dunia kita. Dunia Fisik. Kacau, emosional, tidak logis, terus berubah, dan fana. Bagi 'Denah', dunia kita adalah *kesalahan*. Sebuah penyimpangan dari desain murni."
"Ikan-ikan itu..." bisik Rania.
"Adalah kebocoran," kata Dion, memberanikan diri. Dia mengetuk tabletnya, memunculkan diagram yang rumit. "Denah itu terus-menerus mencoba 'meluruskan' (correct) kesalahan—yaitu kita. Gema adalah energi murni dari Denah yang bocor melalui 'Titik Buta', seperti retakan pada fondasi. Mereka adalah data mentah."
"Tugas kami," lanjut Elara, "adalah menjaga kompromi ini. Kami adalah Ordo Pelestari Arsitektur Asli. Kami adalah tukang ledeng, pustakawan, dan konservator. Kami *menambal* kebocoran. Kami mempelajari Gema. Kami menjaga 'Tirai' agar 'Bangunan Jadi' yang kacau dan indah ini... yaitu kemanusiaan... tidak runtuh."
"Dan Pria Berpayung itu?" tanya Rania.
Wajah Elara mengeras. "Faksi Pembersih. Mereka adalah puritan. Fanatik. Mereka percaya bahwa 'Bangunan Jadi' (dunia kita) adalah *kontaminasi*. Mereka tidak ingin menambal kebocoran. Mereka ingin *menghancurkan* 'Bangunan Jadi' dan mengembalikan segalanya ke 'Denah' yang murni dan kosong. Pria di bawah sana... dia tidak melihat Anda sebagai manusia. Dia melihat Anda sebagai 'kesalahan desain' yang harus dihapus."
Rania akhirnya mengerti. Ini bukan "Baik vs. Jahat". Ini adalah "Konservasi vs. Penghancuran". "Renovasi vs. Desain Awal".
"Dan... 'Si Tuli'?" tanya Rania, teringat pada pria yang menjerit itu.
"Seorang 'Sensitif' yang rusak," kata Dion pelan, tampak sedih. "Orang-orang seperti Pak Yusuf atau 'Si Tuli' bisa *merasakan* Gema. Seperti alarm asap. Tapi mereka tidak bisa mengendalikannya. Paparan Gema mentah dalam dosis besar bisa 'memanggang' sirkuit mereka. Itulah sebabnya kami biasanya menemukan mereka terlebih dahulu dan melindungi mereka."
"Lalu apa bedanya denganku?"
"Anda," kata Elara, mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya kini berkilat penuh minat. "Anda bukan alarm asap. Anda adalah *Arsitek*. Anda tidak hanya *melihat* Denah. Anda bisa *menulisnya*."
*...LURUSKAN...*
Rasa dingin dari perintahnya sendiri di ruang bawah tanah itu kembali.
"Apa yang Anda lakukan di bawah sana," kata Elara, "membengkokkan geometri ruangan itu... itu adalah tindakan *menulis ulang* realitas. Anda memberi perintah pada Gema, dan Gema itu patuh."
"Mangkuk itu..."
"Bukan sekadar artefak," kata Elara. "Itu adalah 'pena'. Salah satu dari sedikit alat kuno yang memungkinkan seorang Arsitek untuk mengikatkan diri mereka pada Denah. Itu adalah 'pena' yang rusak, yang telah tidak aktif selama seratus tahun. Dan Anda, dengan Gema bawaan Anda yang unik, mengambilnya dan mengaktifkannya. Anda, Rania, adalah Arsitek Gema pertama yang 'terbangun' secara spontan dalam sejarah Ordo."
Keheningan memenuhi ruangan. Rania mencerna semuanya. Pena. Arsitek. Penulis Ulang.
Reza, dari balik konter, tampak seolah-olah akan pingsan.
*BZZT...*
Tablet Dion berbunyi pelan. Wajah teknisi itu langsung pucat.
"Bu..." katanya, suaranya tegang. "Segel akustiknya... berfluktuasi. Dia... dia tidak menyerang. Dia... dia menggunakan frekuensi resonansi *melawan* segel itu. Dia *membukanya* dari dalam. Dia mengerti teknologi kita. Sisa waktu kita... mungkin lima belas menit. Tidak. Sepuluh."
Mata Elara menyipit. "Sepuluh menit." Dia kembali menatap Rania. "Giliran Anda, Nak. Cepat. 'Bima'."
Rania mengambil napas, menata kepingan *puzzle* di kepalanya.
"Bima adalah rival saya di kampus," kata Rania, suaranya cepat dan presisi. "Dia adalah cerminan gelap saya. Saya idealis tentang kekacauan manusiawi. Dia... dia terobsesi dengan *tatanan*. Kesempurnaan. Desain yang bersih, abadi, dan... *dingin*."
Mata Elara melebar sedikit.
"Dia bukan hanya 'serakah'," lanjut Rania, kata-kata itu kini mengalir deras. "Dia tidak menggali di Menara Aeterna untuk 'memanen' Gema. Dia... dia *setuju* dengan Pembersih. Dia *ingin* mengembalikan dunia ke 'Denah' yang murni."
"Dia... seorang Puritan?" tanya Dion tak percaya.
"Lebih buruk lagi," kata Rania. "Dia tidak ingin *menghapus* dunia. Dia ingin *mengendalikannya*. Dia tidak ingin 'meluruskan' dunia. Dia ingin menjadi 'Sang Geometer'. Dia sedang membangun... semacam... kuil, atau mesin, atau *kandang*... untuk entitas yang dia temukan di bawah sana."
Dion dengan panik mengetik di tabletnya. Dia membuka file "AETERNA DEVELOPMENT".
"Ya Tuhan," bisik Dion. "Bu... dia benar. Data kami... kami pikir itu hanya aktivitas seismik palsu. Tapi lihat... Aeterna tidak hanya menggali di satu titik. Mereka telah membeli *seluruh* blok. Dan data geofisika kami... mereka membangun sesuatu di bawah tanah. Sebuah struktur penahan raksasa. Polanya... itu bukan fondasi. Itu adalah... denah kuno. Itu adalah *Segel*."
Elara berdiri begitu cepat hingga kursinya hampir terbalik. Wajahnya yang tenang kini pucat pasi.
Kepanikan. Untuk pertama kalinya, Rania melihat kepanikan murni di mata sang Pustakawan.
"Dia tidak sedang 'memanen'," bisik Elara ngeri. "Dia sedang melakukan 'Panggilan'. Dia sedang mencoba *mengikat* Sang Geometer."
*BOOM!*
Sebuah ledakan tumpul dari bawah. Pintu jebakan itu terangkat beberapa sentimeter sebelum terbanting kembali, karung kopi terbelah dan biji kopi tumpah ke lantai pantry.
"Lima menit!" teriak Dion. "Segelnya jebol!"
"Kita dalam masalah besar," kata Elara, suaranya kini tajam dan penuh perintah. Dia bukan lagi dosen. Dia adalah seorang komandan. "Kita semua dalam masalah. Jika Bima berhasil... dia tidak hanya akan menghancurkan kota. Dia akan merobek 'Tirai' selamanya."
Elara menatap Rania. "Diskusi selesai. Anda adalah aset yang terlalu berharga untuk ditangkap, dan terlalu berbahaya untuk dibiarkan."
*BOOM!* Gedoran kedua, lebih kuat.
"Reza!" Elara berteriak. "Pintu belakang! Apakah kafe ini punya pintu belakang?!"
"Ya! Lewat dapur!" teriak Reza, akhirnya bergerak.
"Dion, berikan dia 'Penutup'-nya!"
Dion merogoh tasnya dan melemparkan sesuatu ke Rania. Rania menangkapnya. Itu adalah sebuah cakram kecil seukuran koin, terbuat dari batu hitam pekat yang sama dengan dinding di bawah—obsidian. Rasanya dingin di tangannya.
"Itu akan 'meredam' Gema Anda," kata Dion cepat. "Membuat Anda tidak terlalu 'berisik'. Pembersih dan Gema liar akan lebih sulit melacak Anda. Pakai itu. Kalungkan. Jangan dilepas."
"Kami akan menahan Pembersih di bawah sini," kata Elara, meraih tas kerjanya. Dari dalamnya, dia mengeluarkan sesuatu yang tampak seperti garpu tala yang jauh lebih besar dan lebih rumit. "Kami akan memberimu waktu."
"Pergi ke mana?" teriak Rania saat getaran lain mengguncang lantai.
"Sembunyi!" perintah Elara. "Putuskan semua kontak. Jangan gunakan kekuatan Anda. Jangan kembali ke apartemen Anda. Jangan hubungi siapa pun. Menghilanglah. Kami akan menemukan Anda saat kami sudah menahan Bima."
"Tapi—"
"SEKARANG, RANIA! PERGI!"
*KRRRAAAAKKK!*
Pintu jebakan di pantry meledak terbuka, mengirimkan serpihan kayu dan biji kopi ke mana-mana.