NovelToon NovelToon
Chain Of Love In Rome

Chain Of Love In Rome

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:938
Nilai: 5
Nama Author: De Veronica

Di bawah pesona abadi Kota Roma, tersembunyi dunia bawah yang dipimpin oleh Azey Denizer, seorang maestro mafia yang kejam dan tak tersentuh. Hidupnya adalah sebuah simfoni yang terdiri dari darah, kekuasaan, dan pengkhianatan.

Sampai suatu hari, langitnya disinari oleh Kim Taeri—seorang gadis pertukaran pelajar asal Korea yang kepolosannya menyilaukan bagaikan matahari. Bagi Azey, Taeri bukan sekadar wanita. Dia adalah sebuah mahakarya yang lugu, sebuah obsesi yang harus dimiliki, dijaga, dan dirantai selamanya dalam pelukannya.

Namun, cinta Azey bukanlah kisah dongeng. Itu adalah labirin gelap yang penuh dengan manipulasi, permainan psikologis, dan bahaya mematikan. Saat musuh-musuh bebuyutannya dari dunia bawah tanah dan masa kelam keluarganya sendiri mulai memburu Taeri, Azey harus memilih: apakah dia akan melepaskan mataharinya untuk menyelamatkannya, atau justru menguncinya lebih dalam dalam sangkar emasnya, meski itu akan menghancurkannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Veronica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dissonansi Hati

Sementara itu, di balik kemudi mobilnya, Marcelo bagaikan patung es yang rapuh. Wajahnya hancur, menyimpan labirin kecemasan tak berujung. Bayangan Taeri, murid yang terukir di hatinya, menari-nari di benaknya, sebuah simfoni mimpi buruk yang tak berkesudahan. "Apakah melapor adalah jawaban yang tepat?" bisiknya, suaranya hilang ditelan hiruk pikuk jalanan. "Atau justru membuka pintu neraka yang lebih dalam bagi Taeri?"

Kegelapan menyelimuti Marcelo. Dengan brutal, ia menghantam dasbor, amarah dan keputusasaan berpadu menjadi satu.

"Argh!" raungnya, suara yang lahir dari jurang keputusasaan. "Aku tidak bisa hanya diam! Taeri... dia terlalu berharga untuk dunia gelap Azey," desisnya, matanya berkilat dengan tekad yang membara.

Seperti orang yang kerasukan, Marcelo keluar dari mobil. Setiap langkahnya adalah deklarasi perang, menarik perhatian mata-mata tersembunyi di antara kerumunan. Ia menerobos masuk ke kantor polisi, tempat perlindungan yang penuh dengan jebakan.

Di meja penerimaan, seorang polisi tua dengan mata setajam silet mengamati Marcelo. Wajahnya kelelahan dan sinisme. "Ada yang bisa kami bantu, Tuan?" tanyanya, suaranya berat dengan nada peringatan. "Anda tampak seperti dikejar hantu. Ceritakan, apa yang membuat Anda berlari?"

Marcelo menarik napas dalam, menenangkan badai yang mengamuk di dalam dirinya. "Saya di sini untuk melaporkan kejahatan," katanya, suaranya tenang namun mengandung kekhawatiran. "Seorang mahasiswa pertukaran dari Korea Selatan... Saya khawatir dia telah menjadi tahanan Tuan Azey."

Dengan gerakan cepat, ia menyodorkan foto Taeri ke hadapan polisi. "Ini dia," desaknya, matanya memohon. "Anda pasti tahu reputasi Azey... bisikan tentang hubungannya dengan dunia kriminal. Saya mohon bantuan Anda. Dia murid saya, dan saya takut nyawanya terancam."

Polisi tua itu menatap foto itu, matanya dingin dan menusuk. Sebuah senyum sinis mengembang di wajahnya yang keriput. Ia tertawa pelan, nada mengejek memenuhi ruangan.

"Tuan Azey, ya?" gumamnya, bersandar dengan santai di kursinya. "Saya sarankan Anda pergi dari sini, Tuan."

Marcelo tertegun. "Apa maksud Anda?"

Polisi itu menunjuk ke pintu, tatapannya setajam pisau. "Klaim Anda tidak memiliki dasar yang kuat. Dan perlu Anda ketahui, tuan Azey bukanlah penjahat yang bersembunyi di bayangan. Dia adalah pilar masyarakat," katanya, setiap kata diucapkannya dengan penekanan yang berbahaya. "Dia adalah donatur utama kepolisian Roma."

Kata-kata itu menghantam Marcelo seperti pukulan di ulu hati. Ia menatap polisi itu, kecurigaan merayapi pikirannya. Jaring-jaring konspirasi politik mulai terlihat, namun ia tak punya bukti untuk menuduhnya. Baiklah pak maaf menganggu waktu anda" ujarnya pelan, ia memilih pergi dan mencari cara lain untuk menyelamatkan taeri.

__________________________________________

Disisi lain Roma Taeri bersantai di sofa, cahaya televisi menari-nari di wajahnya yang seperti topeng. Popcorn di tangannya, namun tatapannya kosong, seolah jiwanya telah lama meninggalkan tubuhnya. Di sudut gelap ruangan, Azey mengamatinya seperti predator mengincar mangsa.

"Mungkinkah suasana hati seorang wanita berubah secepat itu?" pikirnya, pikirannya dipenuhi labirin pertanyaan yang tak terjawab. "Padahal siang tadi dia menampar seseorang dengan amarah yang membara."

Dengan gerakan santai, Azey menutup laptopnya dan menghampiri Taeri. Tanpa sepatah kata pun, ia duduk di samping gadis it, lengannya melingkari pinggang taeri dengan posesif. Bibirnya menyusuri kulit perut Taeri yang hanya terhalang crop top berbulu lembut, setiap sentuhan adalah deklarasi kepemilikan.

Taeri tidak melawan. Ia hanya meletakkan popcorn di meja, ekspresinya dingin dan jauh. "Jangan ganggu aku, tuan. Selesaikan pekerjaanmu," bisiknya, suaranya tanpa emosi.

Azey mendengus, namun tidak menghentikan aksinya. Ia menempelkan wajahnya di perut Taeri, menghirup aroma tubuhnya yang memabukkan, aroma yang membuatnya kecanduan dan kehilangan akal sehat. "Aku hanya ingin seperti ini," bisiknya, suaranya serak dan penuh hasrat terpendam. "Nikmati saja tontonanmu." Keheningan menyelimuti mereka, hanya suara televisi yang memecah kesunyian. "Dan kenapa kau masih memanggilku 'tuan'? Aku bukan tuanmu, Taeri. Aku adalah... milikmu."

Tatapan Taeri terpaku pada layar televisi, namun pikirannya berkelana di labirin gelap yang tak berujung. "Kau bukan milikku, dan aku bukan milikmu. Aku hanya sandera di kerajaanmu yang penuh dosa, tuan. Tidak lebih dari itu," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. Kata-katanya tegas, namun matanya berkhianat, menampakkan keraguan yang ia coba sembunyikan.

Senyum sinis mengembang di bibir Azey, matanya memancarkan kegelapan yang memikat. "Kau selalu mengubur perasaanmu dalam-dalam, Taeri," bisiknya, suaranya mengandung racun. "Kau berusaha keras membenciku, namun usahamu sia-sia."

Ia menegakkan tubuhnya, jarinya menyentuh pipi Taeri dengan sentuhan yang lembut namun posesif. Setiap sentuhan adalah penjelajahan ke dalam jiwa gadis itu, menelanjangi kebohongan yang ia bangun dengan susah payah. "Dengarkan aku," bisiknya, suaranya serak dan memabukkan di telinga Taeri. "Kau tidak membenciku, Taeri. Yang kau benci adalah ketidakberdayaanmu... karena kau tidak bisa mengendalikan hasratmu padaku."

Taeri membeku, jantungnya berpacu liar dalam dadanya. Ia ingin membantah, namun kata-kata itu tercekat di tenggorokan, mati sebelum sempat terucap.

Azey menarik Taeri ke dalam pelukannya, wajahnya tenggelam di antara helai rambutnya yang lembut. Ia mencium rambutnya dengan tenang, setiap ciuman adalah deklarasi kepemilikan, seolah ingin membuktikan bahwa hati taeri telah menjadi miliknya, terlepas dari apa pun yang ia katakan.

Air mata Taeri mengalir deras, setiap tetesnya adalah pengakuan atas kekalahannya. Kata-kata Azey bagaikan belati yang menghunjam jantungnya, menyayat luka yang selama ini ia tutupi. "Kau... kau kejam, Tuan. Kau merebut segalanya dariku, merampas kebebasanku... namun kau juga melakukan segala cara agar aku tidak membencimu... hiks..." suaranya pecah, terisak dalam keputusasaan.

Tubuhnya bergetar. Ia tahu, dulu Azey hanya menginginkan tubuhnya, namun kini pria itu telah merasuki hatinya, menjajah setiap sudut ruang yang ia coba lindungi.

Dengan gerakan lembut, Azey melepaskan pelukannya, menyatukan kening mereka dalam keheningan yang memilukan. Tatapannya menembus pertahanan Taeri, memancarkan kegelapan yang tersembunyi di balik topeng kekuasaan.

"Lihat mata ini, Taeri," bisiknya, suaranya serak dan penuh beban. "Mata yang lahir dari penderitaan... dari kehidupan yang dipenuhi peluru dan ketakutan." Nafasnya berhembus hangat di wajah Taeri. "Kau datang dalam hidupku, membawa keberanian yang tak pernah aku lihat dari semua wanita yang pernah kutemui, Taeri."

Ia menarik napas dalam, matanya tak lepas dari mata Taeri, mencari kejujuran yang selama ini tersembunyi. "Apakah salah jika aku menginginkanmu sepenuhnya?" bisiknya, kejujuran yang dingin dan nyata, menelanjangi kerapuhan di balik keperkasaannya.

Taeri terdiam, air matanya berhenti mengalir. Untuk pertama kalinya, ia melihat sesuatu di balik mata kelam Azey, bukan hanya obsesi dan nafsu belaka, luka yang selama ini ia abaikan.

Dengan dorongan yang lahir dari kegelapan dan hasrat terpendam, Taeri memejamkan mata dan menyatukan bibirnya dengan bibir Azey. Pria itu tertegun sejenak, terkejut oleh keberaniannya, namun dengan cepat ia membalas, menarik tubuhnya mendekat, menyatukan mereka dalam kobaran api yang membakar. Lumatan mereka semakin dalam, ciuman itu menjadi tarian liar antara keputusasaan dan keinginan, saat Taeri membuka mulutnya, membiarkan lidah Azey menjajah, memabukkan dan menyesatkan.

Saat ciuman itu berakhir, mereka terengah-engah. Bibir Taeri bergetar, matanya memohon. "Tuan... aku aku lelah sekarang ingin tidur," bisiknya, suaranya serak dan penuh kerentanan.

Azey menatapnya dengan intens, seolah melihat ke dalam jiwanya, ia mengangkat tubuh Taeri dan membaringkannya di ranjang, tangannya menyentuh rambutnya dengan posesif. "Tidurlah sekarang, Taeri," bisiknya, suaranya datar namun penuh makna tersembunyi. "Lupakan segalanya, besok pagi akan menjadi awal yang baru untuk kita."

Ia berbaring di samping taeri, lengannya melingkari Taeri dengan posesif. Gadis itu memejamkan mata, menyambut sentuhan Azey, tenggelam dalam pelukannya yang hangat namun menyesakkan. Keheningan mengalir di antara mereka, dipecah oleh bisikan Taeri yang penuh rasa ingin tahu. "Tuan... apakah masa kecilmu begitu kejam... hingga kau tumbuh menjadi monster seperti ini?"

Azey tidak menjawab, namun pelukannya semakin erat. "Kita akan membicarakannya nanti, Taeri. Sekarang kau harus istirahat, kau sudah terlalu banyak menangis," bisiknya, suaranya serak dan menenangkan.

Taeri tidak memaksa, ia tahu ada tembok yang tak bisa ia tembus. Ia menutup matanya, menyembunyikan wajahnya dalam pelukan Azey, membiarkan kegelapan dan kelelahan menelannya.

__________________________________________

Mentari pagi menyinari taman mewah, menghangatkan mawar-mawar yang bermekaran. Orellana, dengan telaten menyirami setiap tangkai, senyum lembut menghiasi wajahnya. Di dekatnya, Pricilia berjongkok, tangannya lincah membuang kelopak bunga yang mulai layu, sebuah tugas yang biasanya menjadi rutinitas pagi Taeri.

"Bu, Nona Taeri sepertinya masih terlelap," gumam Pricilia, nada khawatirnya tersirat. "Biasanya dia sudah bangun sebelum matahari terbit, bahkan ikut membantu menyiapkan sarapan."

Orellana terkekeh pelan, matanya berbinar melihat hijaunya tanaman. "Mungkin Nona kita sedang kelelahan. Akhir-akhir ini dia sibuk sekali dengan kuliahnya," jawabnya, mencoba menenangkan diri dan Pricilia.

Pricilia mengangguk, namun kerut di dahinya tak hilang sepenuhnya. "Semoga saja begitu," bisiknya, hatinya tetap dipenuhi tanda tanya.

Sementara itu di ruang gym, Taeri berjuang melawan kegelisahannya. Langkahnya di atas treadmill terasa berat, seolah beban pikiran menumpuk di setiap hentakan kaki. "Apakah dia sudah bangun?" bisiknya pada diri sendiri. "Tidak biasanya dia tidur selama ini... biasanya, sebelum aku mulai bangun, dia sudah lebih dulu membuka mata."

Keringat dingin membasahi pelipisnya, namun Taeri tak ingin berhenti. Ia beralih ke leg press machine, sebuah alat yang terasa asing baginya. Gerakan pertama terasa kaku dan kasar, tubuhnya nyaris kehilangan keseimbangan. Rasa Frustrasi menggerogoti kesabarannya.

Namun, ia tak menyadari kehadiran Azey di ambang pintu, pria itu berdiri bagai bayangan di tengah cahaya. Matanya terpaku pada Taeri, mengamati setiap gerakan canggung dan ekspresi kesalnya.

"Jika kau menggunakannya seperti itu, tubuhmu tidak akan menjadi lebih baik, Sayang," suara berat Azey memecah keheningan. "Yang ada, kau hanya akan merasakan sakit yang tidak perlu."

Taeri tersentak kaget, menoleh dengan tatapan tajam. "Apa maumu?" desisnya, nada suaranya penuh dengan ketidaksukaan. "Bisakah kau tidak menggangguku? Aku baru pertama kali mencoba, tentu saja aku tidak langsung jago."

Azey hanya terkekeh pelan. Ia melangkah mendekat,aura dominasinya memenuhi ruangan. Dengan gerakan lembut namun tegas, tangannya meraih kaki Taeri, membenarkan posisinya.

"Jangan tegang seperti itu," bisik Azey di telinganya, suaranya rendah dan serak. "Rilekskan tubuhmu... biarkan ototmu yang bekerja. Dorong perlahan."

Taeri terpaksa mengikuti instruksi Azey, hatinya berdebar kencang. Kali ini, gerakannya terasa lebih teratur, lebih ringan. Ia merasakan sensasi aneh. "Wah," serunya tanpa sadar, matanya melebar karena terkejut. "Ternyata semudah ini? Tidak perlu memaksakan diri dengan seluruh tenaga."

Azey hanya menatapnya dengan senyum tipis yang misterius. Di balik senyum itu, tersimpan kegelapan dan obsesi yang hanya ia seorang yang tahu. Bagi pria itu, melihat Taeri tersenyum, bahkan hanya seulas, sudah cukup untuk mewarnai paginya yang kelam.

1
Syafa Tazkia
good
Zamasu
Penuh emosi deh!
Shinn Asuka
Wow! 😲
Yori
Wow, nggak nyangka sehebat ini!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!