NovelToon NovelToon
MUTIARA SETELAH LUKA

MUTIARA SETELAH LUKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Menikah Karena Anak / Keluarga / CEO / Penyesalan Suami / Ibu Pengganti
Popularitas:528
Nilai: 5
Nama Author: zanita nuraini

“Mutiara Setelah Luka”

Kenzo hidup dalam penyesalan paling gelap setelah kehilangan Amara—istrinya yang selama ini ia abaikan. Amara menghembuskan napas terakhir usai melahirkan putra mereka, Zavian, menyisakan luka yang menghantam kehidupan Kenzo tanpa ampun. Dalam ketidakstabilan emosi, Kenzo mengalami kecelakaan yang membuatnya lumpuh dan kehilangan harapan untuk hidup.

Hidupnya berubah ketika Mutiara datang sebagai pengasuh Zavian anak nya. Gadis sederhana itu hadir membawa ketulusan dan cahaya yang perlahan meruntuhkan tembok dingin Kenzo. Dengan kesabaran, perhatian, dan kata-kata hangatnya, Mutiara menjadi satu-satunya alasan Kenzo mencoba bangkit dari lembah penyesalan.

Namun, mampukah hati yang dipenuhi luka dan rasa bersalah sedalam itu kembali percaya pada kehidupan?
Dan sanggupkah Mutiara menjadi cahaya baru yang menyembuhkan Kenzo—atau justru ikut tenggelam dalam luka masa lalunya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zanita nuraini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 14

Sudah hampir dua bulan sejak Mutiara—atau Tiara, begitu ia lebih suka dipanggil—tinggal di rumah besar keluarga Rendra. Rutinitas sebenarnya tidak banyak berubah.

Kenzo tetap lebih banyak diam, sibuk dengan pikirannya sendiri, dan melakukan pekerjaan dari ruang kerjanya hanya jika benar-benar perlu. Tapi ada satu perubahan kecil yang diam-diam diperhatikan semua orang.

Kenzo mulai lebih sering berada di area sekitar Zavian.

Awalnya hanya muncul sebentar-sebentar, sekadar melihat putranya masih lengkap anggota tubuhnya, bernapas, bergerak… sesuatu yang setiap hari ia syukuri sekaligus benci karena tidak bisa ia berikan pada Amara. Namun kini, alasan kemunculannya berubah. Tanpa ia sadari, ia datang karena seseorang.

Tiara.

Hari itu, seperti biasa, Tiara sedang duduk di karpet tebal dekat jendela besar kamar Zavian. Ia menghadap stroller sambil bergumam pelan, mengajak bayi itu ngobrol meski jelas bayi itu belum bisa memahami apa pun. Tapi Zavian selalu terlihat senang.

Kenzo mengetuk pintu pelan lalu menggeser kursi rodanya masuk. Suara gesekan roda di lantai marmer membuat Tiara menoleh.

“Oh, tuan Kenzo.”

“Itu…” Kenzo membersihkan tenggorokannya. “Boleh saya menggendongnya?”

Tiara langsung bangkit. “Tentu saja.”

Ia menyerahkan Zavian perlahan, sangat hati-hati agar kepala dan punggung bayi tetap tersangga. Setiap kali Tiara menyerahkan Zavian, ia memperhatikan Kenzo dengan raut serius, memastikan sang ayah bisa memegang putranya dengan benar.

Entah kenapa, perhatian kecil itu justru membuat Kenzo merasa… aman? Nyaman? Ia bingung.

Tiara tersenyum tipis. “Zavian, sekarang sama Papa dulu ya.”

Zavian, yang biasanya hanya mengoceh-normal, tiba-tiba mengeluarkan suara yang mengejutkan semua orang. “Pa… pa… pa…”

Gerakan Kenzo terhenti. Ia mengira itu hanya ocehan bayi biasa, tapi Tatapan Tiara langsung melebar. Dua pelayan yang berada di sudut ruangan saling pandang, lalu membekap mulut menahan seruan. Nyonya Saras yang baru saja masuk ruangan langsung menahan napas.

“Ken… itu barusan…” suara Nyonya Saras bergetar.

Kenzo memalingkan pandangan, pura-pura tidak dengar. Tapi Zavian mengulanginya lagi sambil memegang baju ayahnya dengan tangan mungilnya.

“Pa… pa… pa…”

Pelan. Patah-patah. Tapi jelas.

Sejenak, ada sesuatu yang menembus dinding dingin dalam diri Kenzo. Dan untuk pertama kalinya sejak kecelakaan, ia tersenyum tipis—nyaris tak terlihat, tapi Tiara melihatnya jelas.

---

Sejak hari itu, Kenzo mulai sering berada di sekitar Tiara. Kadang ia datang tanpa alasan jelas, berpura-pura mengecek kebutuhan Zavian padahal tujuan sebenarnya adalah memastikan Tiara ada di sana.

Tiara tidak pernah berlebihan atau menggoda seperti perempuan kebanyakan. Ia tetap sopan, tenang, fokus pada Zavian. Mungkin itu yang membuat Kenzo merasa… entah apa namanya. Yang jelas, ia tidak membenci keberadaan Tiara.

Nyonya Saras dan Tuan Rendra memperhatikan perubahan ini. Mereka tidak ingin terlalu berharap, tapi jelas ada sedikit harapan bahwa putra mereka mungkin mulai membuka hati lagi—meski sedikit, sangat sedikit.

Suatu malam, saat makan keluarga, Tuan Rendra mulai mengobrol dengan istrinya tentang itu.

“Atu, bagaimana menurutmu kalau nanti… misalnya… Kenzo dan Tiara—“

“Pah, jangan terburu-buru,” Nyonya Saras menepuk tangan suaminya. “Tapi aku juga melihatnya. Kenzo mulai bicara kalau ada Tiara, meski hanya sepatah dua patah. Itu saja sudah keajaiban.”

Tuan Rendra mengangguk. “Aku hanya ingin Kenzo hidup lagi. Bukan sekadar bernapas.”

---

Beberapa hari kemudian, keluarga dari mendiang Amara datang. Orang tua Amara selalu datang sebulan sekali untuk melihat cucu mereka. Mereka disambut di ruang tamu.

“Oh cucu nenek…” Nenek Laras langsung menggembung manja sambil memeluk Zavian. “Astaga, sekarang gembul sekali! Pipinya, Masya Allah, bikin gemas.”

“Tentu saja, Zavian dirawat dengan baik,” sahut Nyonya Saras sambil melirik Tiara. “Semuanya berkat Mutiara.”

Pak Harlan, ayah Amara, menatap Tiara lama. “Namamu Mutiara?”

“Iya, Pak.” Tiara tersenyum sopan. “Saya dipanggil Tiara.”

“Kamu kelihatan telaten.”

“Terima kasih.”

Namun saat itu juga, raut wajah Nenek Laras berubah. Ia menatap Zavian lama sekali, lalu pandangannya perlahan meredup.

“Ada apa, Mbak Laras?” tanya Nyonya Saras pelan.

Laras mengusap pipinya. “Kalau Amara masih hidup… dia pasti bahagia melihat Zavian seperti ini.”

Suasana mendadak hening. Tiara menunduk dalam-dalam, merasa tidak enak karena keberadaannya seperti menempati ruang yang dulu milik seseorang.

Kenzo yang berada di dekat sana diam saja, tapi ia sempat melirik Tiara dengan tatapan aneh—tatapan yang bahkan ia sendiri tidak mengerti.

---

Hari itu berakhir tanpa konflik. Namun setelah tamu-tamu pulang, Tiara menuju kamar Zavian dengan langkah pelan. Ia merasa tidak pantas terlalu dekat dengan keluarga itu, terutama ketika orang tua Amara masih berkabung.

Ia berdiri menatap Zavian yang sedang tidur pulas. “Maaf ya, Zavian… Mama kamu pasti jauh lebih baik.”

Kenzo mendengar kalimat itu dari pintu yang terbuka sedikit.

Untuk alasan yang tidak ia mengerti, kalimat itu menusuk dadanya.

Bukan karena Tiara salah bicara. Tapi karena entah sejak kapan, ia tidak suka mendengar Tiara merendahkan diri seperti itu.

Kenzo mendorong kursi rodanya masuk perlahan. Tiara kaget dan berdiri tegak.

“Tuan Kenzo… maaf, saya tidak dengar tuan datang.”

Kenzo menatapnya lama. Sangat lama. Sampai Tiara sendiri jadi canggung dan memalingkan wajah.

“Tadi kamu bilang apa?” tanya Kenzo pelan.

“Eh? Tadi? Saya hanya bicara ke Zavian, tuan. Tidak penting.”

“Katakan lagi.”

Tiara bingung—dan deg-degan.

“Sa… saya bilang… kalau mama Zavian pasti jauh lebih baik dalam mengurusnya dibandingkan saya.”

Kenzo menatap Tiara, tidak mengatakan apa pun. Matanya sulit dibaca. Bukan marah, tapi juga bukan biasa. Lebih ke arah… tidak terima?

Namun sebelum ia sempat menjawab, Tuan Rendra tiba-tiba memanggilnya dari koridor.

“Kenzo! Ada dokumen penting yang harus kau lihat!”

Kenzo menoleh, lalu kembali menatap Tiara. Dan entah kenapa, tatapan itu membuat perut Tiara seperti dikocok dari dalam.

“Lain kali kita lanjutkan,” kata Kenzo datar.

Ia lalu mendorong kursi rodanya keluar.

Tiara menghela napas panjang begitu pintu tertutup. Ia menekan dada yang berdebar tak jelas sebabnya.

“Apa yang terjadi barusan…?”

Sementara itu, dari ujung koridor, seseorang memperhatikan Kenzo diam-diam.

Seseorang yang sejak awal diam-diam memperhatikan perubahan Kenzo.

Seseorang yang melihat semuanya, dari tatapan Kenzo ke Tiara sampai diamnya Kenzo saat cemburu.

Orang itu berbisik pelan.

“Sepertinya… kamu mulai hidup lagi, Zo.”

Siapa pun orang itu… ia tidak berniat berhenti mengamati.

Selamat pagi selamat membaca..

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!