#Mertua Julid
Amelia, putri seorang konglomerat, memilih mengikuti kata hatinya dengan menekuni pertanian, hal yang sangat ditentang sang ayah.
Penolakan Amelia terhadap perjodohan yang diatur ayahnya memicu kemarahan sang ayah hingga menantangnya untuk hidup mandiri tanpa embel-embel kekayaan keluarga.
Amelia menerima tantangan itu dan memilih meninggalkan gemerlap dunia mewahnya. Terlunta-lunta tanpa arah, Amelia akhirnya mencari perlindungan pada mantan pengasuhnya di sebuah desa.
Di tengah kesederhanaan desa, Amelia menemukan cinta pada seorang pemuda yang menjadi kepala desa. Namun, kebahagiaannya terancam karena keluarga sang kepala desa yang menganggapnya rendah karena mengira dirinya hanya anak seorang pembantu.
Bagaimanakah Amelia menyikapi semua itu?
Ataukah dia akhirnya melepas impian untuk bersama sang kekasih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Pesta demokrasi desa Karangsono
.
Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa, hari yang dinanti-nantikan oleh seluruh warga desa Karangsono telah tiba. Hari ini adalah hari pesta demokrasi, hari pemilihan kepala desa.
Sejak pagi, warga desa Karangsono sudah berbondong-bondong menuju ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang telah disiapkan di balai desa. Mereka mengenakan pakaian terbaik mereka. Mereka datang dengan membawa dukungan untuk calon kepala desa pilihan mereka masing-masing.
Suasana di desa Karangsono terasa sangat meriah. Umbul-umbul menghias sepanjang jalan utama menuju balai desa. Spanduk-spanduk berisi foto para calon kepala desa terpampang di setiap sudut desa. Lagu-lagu kampanye berkumandang dari pengeras suara.
Meskipun Amelia belum bisa berpartisipasi dalam pemilihan kepala desa, ia tetap ikut merasakan kemeriahan pesta demokrasi ini. Ia ikut membantu Bu Sukma menyiapkan makanan dan minuman untuk para petugas dan panitia yang ada TPS, karena kebetulan, ibu ketua PKK menunjuk Bu Sukma untuk menjadi seksi konsumsi hanya untuk sarapan saja, Karena untuk makan siang akan ada warga lain yang telah ditunjuk.
Tempat pukul 08.00, dua orang panitia datang untuk mengambil catering yang telah disiapkan oleh Bu Sukma.
"Neng Amel, ayo ikut ibu ke TPS!" ajak Bu Sukma yang telah berdandan rapi.
Amelia menggelengkan kepala. "Amel kan nggak ikut milih Bu. Ngapain Amel ikut?"
"Ya nggak apa-apa. Siapa tahu Neng Amel bisa lihat Den Raka di sana," goda Bu Sukma.
Amelia tersipu malu mendengar godaan Bu Sukma. "Ish, Ibu apaan, sih," ucap Amelia, yang tiba-tiba saja wajahnya berubah merah.
"Tapi ini beneran loh, Neng," ucap Bu Sukma. "Ibu yakin, Den Raka pasti menang. Dia itu kan orangnya baik, pinter, terus juga ganteng lagi."
Amelia tertawa mendengar pujian Bu Sukma terhadap Raka. "Cieee,,, Pak, dengar, Pak. Ibu bilang Mas Raka ganteng loh," teriak Amelia yang disambut tawa oleh Pak Marzuki.
Pak Marzuki tidak akan ikut ke balai desa karena kondisinya yang tidak memungkinkan. Nanti akan Ada petugas dari balai desa yang datang dengan membawa lembaran yang harus dicoblos oleh Pak Marzuki.
Pada akhirnya, Amelia memutuskan untuk pergi ke TPS. Ia ingin melihat secara langsung bagaimana suasana pesta demokrasi di desa Karangsono? Apakah sama dengan pesta demokrasi yang sering ia lihat di kotanya.
Sesampainya di TPS, Amelia melihat Raka duduk di depan bersama dengan dua calon kepala desa lainnya. Raka mengenakan kemeja batik dan celana panjang hitam. Ia terlihat sangat tampan dan berwibawa. Raka yang melihat kehadiran Amelia, menatap ke arah gadis itu sambil tersenyum. Amelia membalas senyum itu dengan dada berdebar.
.
Waktu terus berjalan. Para warga terus berdatangan untuk memberikan suara mereka. Suasana di TPS benar-benar ramai dan meriah. Apalagi adanya penjual jajanan yang membuat lapak dadakan di sekitar balai desa.
Amelia terus memperhatikan jalannya pemilihan kepala desa. Ia melihat, para warga memberikan suara mereka dengan tertib dan damai. Ada di antara mereka yang langsung pulang setelah mencoblos, namun, ada banyak juga yang masih bertahan di sana.
Ketika waktu telah menunjukkan pukul 12.00 siang, pemilihan ditutup. Para petugas pemilihan istirahat sejenak untuk makan siang sebelum kemudian mulai melakukan penghitungan suara. Suasana di balai desa menjadi tegang dan hening. Semua orang menunggu dengan hati berdebar hasil penghitungan suara.
Penghitungan suara dimulai. Satu per satu surat suara dibacakan dan dicatat oleh para petugas. Suara-suara dukungan untuk Raka terus terdengar dari pengeras suara.
Ketika hari beranjak petang, akhirnya penghitungan suara pun selesai. Nama Raka benar-benar terpilih sebagai kepala desa pilihan warga dengan kemenangan telak.
Sorak sorai kegembiraan meledak di balai desa. Para pendukung Raka bersorak dan berpelukan satu sama lain. Mereka meluapkan kegembiraan mereka atas kemenangan Raka.
Raka naik ke atas panggung dan memberikan pidato kemenangannya. Ia mengucapkan terima kasih kepada seluruh warga desa Karangsono yang telah memberikan kepercayaan kepadanya. Ia berjanji, ia akan bekerja keras untuk mewujudkan semua visi dan misinya untuk kemajuan desa Karangsono.
Setelah memberikan pidato kemenangannya, Raka turun dari panggung dan dihampiri oleh para pendukungnya. Mereka mengangkat Raka ke atas bahu mereka dan mengaraknya keliling balai desa.
Raka tersenyum dan melambaikan tangan kepada para pendukungnya. Ia merasa sangat terharu dengan dukungan yang diberikan oleh para warga.
Kemudian, Raka dinaikkan ke atas gerobak mobil pick up yang telah dihias dengan bendera dan spanduk. Raka berdiri tegak sambil melambaikan tangan di atas mobil pick up yang diarak keliling desa.
Sepanjang perjalanan, para warga terus meneriakkan nama Raka. Mereka merasa bangga memiliki kepala desa seperti Raka.
Ketika arak-arakan melewati jalan di depan rumah Bu Sukma, Amelia yang memang sudah pulang sejak siang, melihat itu dan ikut tersenyum senang. Raka menatap ke arahnya dan tersenyum lebar. Seakan pemuda tampan itu mempersembahkan kemenangannya untuk Amelia.
.
Ketika hari telah malam, Bu Sukma mengajak Amelia untuk pergi ke rumah orang tua Raka. Ia mengatakan, akan banyak tetangga yang juga ikut jagongan (berkumpul) di sana untuk memberikan ucapan selamat kepada Raka dan keluarganya.
Amelia ingin menolak ajakan Bu Sukma. Ia merasa tidak enak jika harus ikut berkerumun di rumah orang tua Raka.
Namun, Bu Sukma terus meyakinkan Amelia untuk ikut serta. Ia mengatakan, Amelia adalah bagian dari keluarga mereka dan sekarang sudah menjadi warga desa Karangsono. Jadi, sudah sepantasnya ikut merayakan kemenangan Raka.
"Ayo lah Neng, ikut Ibu ya," bujuk Bu Sukma, dengan nada memelas. "Nggak enak kalau Ibu pergi sendirian. Temenin Ibu ya, Neng."
Amelia akhirnya luluh dengan bujukan Bu Sukma. Ia tidak ingin mengecewakan Bu Sukma yang sudah baik kepadanya.
"Ya udah deh Bu, Amelia ikut," jawab Amelia, dengan senyum tipis.
Bu Sukma bersorak kegirangan mendengar jawaban Amelia. "Nah, gitu dong."
Amelia tersenyum dan menggelengkan kepala melihat Bu Sukma yang tiba-tiba menjadi kekanak-kanakan. Amelia bergegas ke kamarnya untuk berganti pakaian.
Mengingat Bu Sukma yang selalu mengenakan kerudung, Amelia merasa tidak enak hati jika ia membiarkan kepalanya terbuka. Apalagi di rumah Raka nanti, para wanita pasti mengenakan kerudung sama seperti Bu Sukma.
Akhirnya, Amelia mengingat selendang yang diberikan oleh mamanya dan berniat memakai itu sebagai penutup kepala. Ia membuka lemari pakaiannya dan mencari selendang itu. Selendang ditemukan dan Amelia menariknya. Ketika selendang itu dibentangkan, Amelia begitu terkejut melihat sesuatu yang jatuh dari lipatan selendang tersebut.
"Ini...?"
*
*
Ini hanya gambaran suasana pesta demokrasi di desa Author ya guys. Entah ini sama atau tidak dengan di daerah kalian.
bentar lagi nanam padi jg 🥰