NovelToon NovelToon
Dunia Raka

Dunia Raka

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Penyelamat / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Fantasi
Popularitas:277
Nilai: 5
Nama Author: Lukman Mubarok

Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.

Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.

Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.

Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.

Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.

Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13 - Kulit Hidup

‎Sore itu, lembah dipenuhi aroma manis dari buah sukun yang dibakar.

‎Asap tipis naik ke langit kelabu, terpantul maruyung samar dari awan kanopi abadi.

‎Di tengah pemukiman, suku Latahna duduk melingkar anak-anak, perempuan, dan para pemburu semuanya berkumpul di sekitar perapian besar.

‎Mereka menyebutnya hari sukun jatuh, saat panen pertama dirayakan dengan makan bersama.

‎Tidak ada yang berlebihan: hanya buah sukun panggang, belalang kering, dan ikan asap yang mereka simpan sejak akhir hujan.

‎Namun di mata mereka, itu adalah pesta yang diturunkan langsung dari langit.

‎Tawa anak-anak pecah ketika kulit sukun hangus dibuka, memperlihatkan daging lembut di dalamnya.

‎Perempuan membagi potongan secara bergantian, sementara para lelaki memajang ikan asap deket api agar enak dimakan saat masih panas.

‎Raka ikut duduk di antara mereka, diam mengamati.

‎Ia baru menyadari meski sederhana, di sinilah manusia hidup paling damai:

‎menyantap hasil bumi bersama, tanpa merasa memiliki lebih dari yang lain.

‎Seorang perempuan Latahna membawa tabung anyaman bambu panjang.

‎Ia menaruhnya di tengah pemukiman, lalu perlahan membuka tutup tanah liat yang mengering di ujungnya.

‎Aroma abu halus menyeruak saat penutup itu lepas. Dari dalamnya ia mengeluarkan gulungan daun pisang yang telah menghitam di tepinya.

‎Dengan hati-hati, perempuan itu membuka satu persatu lapis daun, menampakkan belalang kering berwarna coklat keemasan yang masih utuh.

‎Belalang-belalang itu kemudian dibagikan kepada warga yang berkumpul, dan satu gulungan diberikan kepada Raka.

‎Ia menerima dengan sopan, mengamati serangga kecil itu renyah, ringan, berbau asap lembut yang anehnya masih segar meski telah melewati satu musim penuh.

‎Ketika menggigitnya, terdengar bunyi kres halus di antara giginya.

‎Rasa gurih alami itu membuatnya terdiam sejenak, kagum pada cara hidup mereka yang begitu sederhana namun penuh kebijaksanaan: menjaga rasa, menjaga kehidupan, di tengah waktu yang terus berganti.

‎Beberapa perempuan tersenyum melihat Raka memakan belalang tanpa ragu.

‎Seorang anak kecil menatapnya dengan mata lebar, lalu berbisik pada ibunya,

‎“Orang jauh itu tidak jijik, Ibu.”

‎Sang ibu terkekeh pelan, menepuk kepala anaknya.

‎“Ia menghormati makanan yang menjaga hidup kita,” jawabnya lembut.

‎Raka hanya tersenyum, menunduk sedikit sebagai penghormatan.

‎Tetua Latahna yang sejak tadi memperhatikan mendekat, menepuk bahunya perlahan.

‎“Kau telah mencicipi hasil tangan kami,” katanya dengan suara berat tapi hangat.

‎“Mulai hari ini, engkau bukan lagi tamu, Raka engkau bagian dari lembah ini.”

‎Suasana menjadi hening sesaat, hanya suara daun sukun yang bergesekan ditiup angin kering.

‎Raka menatap wajah-wajah di sekelilingnya, dan untuk pertama kalinya sejak perjalanannya dimulai, ia merasa seperti menemukan rumah.

‎Lelaki latahna mengambil ikan di deket api unggun sudah agak panas, warnanya kehitaman di luar namun masih lembut di dalam.

‎Satu potong besar diberikan kepada Raka.

‎Ia mengamati permukaannya keras di luar, tapi ketika disobek, tercium aroma garam alami dan arang lembap.

‎Raka menggigit sedikit.

‎Rasanya asing. Daging ikan itu padat, berasap kuat, dan ada pahit tipis yang menempel di lidah.

‎Beberapa orang Latahna memperhatikan reaksinya, seolah menanti penilaian.

‎Raka menelan perlahan, lalu mengangguk kecil.

‎“Dagingnya tak lagi muda,” katanya, “tapi di balik asap dan rasa tanahnya, ada kekuatan yang menahan waktu.”

‎Tetua Latahna tersenyum puas.

‎“Asap membuatnya bertahan,” ujarnya.

‎“Kita tidak makan untuk kenyang hari ini, tapi untuk tetap hidup esok.”

‎Raka mengangguk.

Dalam benaknya, ia belajar sesuatu yang lebih dari sekadar rasa tentang ketahanan dan berdamai dengan alam.

‎Beberapa hari setelah panen sukun, batang-batang pohon mulai mengering di sisi kulit luarnya, tanda usia kulit tua telah tiba.

‎Raka berdiri bersama beberapa lelaki dewasa dan perempuan yang membawa alat pukul batu.

‎Ia menunjuk bagian batang yang mulai retak halus.

‎“Kita tidak akan mengambil semua kulitnya,” kata Raka. “Hanya sebagian, cukup untuk membuat pakaian bagi satu atau dua orang. Pohon ini akan menutup lukanya sendiri. Bila di rawat, ia akan tumbuh kulit baru.”

‎Seorang lelaki tua menggeleng pelan, wajahnya ragu.

‎“Tapi… kalau kulitnya diambil, bukankah pohon akan sakit, kan? Kami takut tak lagi berbuah musim depan.”

‎Raka menatapnya dengan lembut.

‎Ia menyentuh batang sukun di hadapannya, lalu berkata lirih,

‎“Pohon ini seperti kita. Kadang harus melepaskan kulit lamanya agar bisa tumbuh baru.

‎Selama tidak mengambil serakah, ia tidak akan mati.”

‎Ia lalu menambahkan,

‎“Kulit luar pohon sukun sudah kering dan rontok sendiri jika dibiarkan. Kita hanya membantu mempercepat yang sudah menjadi kehendak alam.”

‎Orang-orang saling berpandangan, sebagian masih heran, sebagian mulai mengerti.

‎Tetua Latahna yang berdiri tak jauh dari situ akhirnya bersuara,

‎“Kalau begitu, biarlah kita mencoba cara orang jauh ini.

‎Tapi jika pohon mati, kami akan menyalahkanmu, Raka.”

‎Raka tersenyum kecil.

‎“Kalau pohon ini mati, aku yang akan menanam penggantinya,” ujarnya tenang.

‎Angin kering berhembus lembut melewati lembah, menggoyang daun-daun sukun besar.

‎Seolah pohon itu sendiri mendengar dan menyetujui kata-katanya.

‎Raka mengajak beberapa lelaki muda Latahna ke tepi hutan, ke tempat pohon sukun tumbuh berderet di antara semak lembap.

‎Ia menunjuk batang salah satu pohon yang kulitnya tampak tua dan pecah-pecah.

‎“Kita hanya ambil bagian luar yang sudah tua,” katanya pelan sambil menyiapkan batu pipih.

‎Dengan hati-hati, ia mengikis kulit luar pohon selebar telapak tangan, tidak lebih, lalu menepuk batangnya.

‎“Jangan takut. Pohon ini akan tumbuh kulit baru. Seperti tubuh kita, bila luka kecil akan menutup sendiri.”

‎Salah satu lelaki tampak ragu.

‎“Tapi bukankah itu menyakitinya?”

‎Raka tersenyum.

‎“Jika kita mengambil secukupnya, pohon akan tetap memberi kalau tidak serakah, pohon tetap berbuah.”

‎Kulit yang diambil kemudian direndam dalam air sungai selama beberapa hari, hingga seratnya lunak dan mudah dipukul-pukul dengan batu.

‎Setelah itu, mereka menjemurnya di bawah kanopi terang hingga mengering, menjadi lembaran lembut berwarna krem.

‎Beberapa perempuan Latahna berjalan ke tepi hutan, tempat pohon kemiri tumbuh menjulang.

‎Di bawahnya, tanah dipenuhi biji-biji tua berkulit keras yang jatuh bersama embun pagi.

‎Mereka mengumpulkannya ke dalam anyaman bambu, lalu membawanya ke batu datar di dekat perapian.

‎Satu per satu, biji kemiri ditumbuk dengan batu bulat hingga hancur lembut, melepaskan aroma getir berminyak.

‎Di tengah batu besar yang cekung ke dalam, mereka menampung air dan menyalakan api kecil di bawahnya.

‎Bubuk kemiri dimasukkan perlahan, diaduk dengan batang kayu hingga airnya mengeluarkan lapisan minyak bening di permukaannya.

‎Minyak itu dikumpulkan dengan daun pisang kering, menetes perlahan seperti embun hangat.

‎“Inilah lemak pohon,” kata salah satu perempuan tua sambil menatap permukaan batu yang berkilau.

‎“Biasanya kami pakai untuk obor malam.”

‎Raka tersenyum mendengar itu.

‎“Cobalah gosokkan pada serat yang dijemur nanti,” ujarnya pelan.

‎“Bisa membuat seratnya hidup kembali, tidak mudah sobek, dan lebih lembut dari kulit hewan.”

‎Menjelang sore, cahaya lembap mulai merembes di sela kanopi awan.

‎Serat-serat sukun yang dijemur sejak pagi kini telah kering setengah berwarna coklat muda, berserat halus seperti urat daun.

‎Raka dan beberapa perempuan Latahna duduk mengelilinginya.

‎Minyak kemiri yang tadi mereka buat kini tersimpan dalam wadah bambu, berkilau lembut seperti madu pucat.

‎Raka mengambil sehelai serat, meneteskan sedikit minyak di telapak tangannya, lalu menggosokkannya perlahan.

‎Serat itu tampak lentur, tidak lagi kaku dan mudah patah seperti sebelumnya.

‎Ketika dijalin dan dipukul ringan dengan batu datar, bunyinya tidak lagi serak, tapi lembut seperti kain basah yang mengering.

‎Perempuan-perempuan itu saling pandang kagum.

‎Mereka mencoba meniru gerakan Raka menggosok, melipat, memukul perlahan hingga satu per satu serat berubah menjadi lembaran tipis berwarna terang.

‎“Ia menjadi seperti kulit,” ucap salah satu dari mereka takjub.

‎“Tapi berasal dari pohon, bukan dari hewan.”

‎Raka tersenyum samar.

‎“Kulit hidup,” katanya pelan.

‎“Guru kami menamainya begitu karena pohon itu tetap tumbuh meski kita mengambil kulitnya.

‎Ia memberi tanpa mati.”

‎Tetua Latahna yang sejak tadi memperhatikan dari kejauhan perlahan mendekat, mengusap ujung kain itu dengan jari kasarnya.

‎“Lembut... seperti kulit anak yang baru lahir,” gumamnya.

‎Lalu menatap Raka dengan mata teduh.

‎“Kau datang membawa ilmu dari pohon.

‎Mungkin leluhurmu adalah penjaga hutan yang kami lupakan.”

‎Beberapa hari kemudian, Raka menunjukkan cara menjahit lembaran serat itu.

‎Ia menyiapkan jarum dari kayu keras dengan ukuran kelingking lebih ramping yang diasah ujungnya dengan pisau batu hingga runcing, lalu melubangi sisi-sisinya dengan hati-hati dan kesabaran,.

‎Sebagai benang, ia menggunakan serat rumput kering yang di puntir halus lalu di pilin dan dioles sedikit minyak kemiri agar lentur.

‎Perempuan Latahna memperhatikan dengan saksama, beberapa meniru gerakannya, menjahit potongan serat menjadi satu lembar panjang.

‎Tak butuh lama, bentuk pertama pakaian mulai terlihat lebih pendek berwarna tanah, ringan namun kuat.

‎Ketika salah satu dari mereka mengenakannya, sorak kagum pelan terdengar.

‎Pakaian itu bukan sekadar pelindung tubuh, tapi tanda bahwa mereka baru saja belajar sesuatu dari alam yang selama ini mereka jaga.

‎Bagi suku Latahna, itu terasa seperti keajaiban baru dari tangan seorang asing yang menghormati bumi sama seperti mereka.

Potongan-potongan serat yang dijahit Raka perlahan berubah menjadi lembaran utuh.

‎Beberapa perempuan Latahna ikut meniru, tangan mereka gemetar saat pertama kali menembus serat dengan jarum kayu keras.

‎Namun tak butuh waktu lama, mereka mulai paham ritme gerakan, memutar jarum, menarik benang, dan menutup setiap sisi dengan rapi.

‎Ketika lembaran pertama selesai, Raka membentangkannya di tanah. Warnanya coklat keemasan, ringan tapi terlihat kuat.

‎Ia menatap para warga Latahna, tersenyum, lalu menunjukkannya:

‎“Ini pakaian dari pohon sukun. Ringan, kuat, dan bisa melindungi kalian dari panas dan hujan.”

‎Seorang anak perempuan kecil mencoba memakainya. Lembarannya jatuh lembut di tubuhnya, pas dan nyaman.

‎Sorak kagum pelan terdengar dari warga, sebagian tertawa senang, sebagian menatap tak percaya.

‎Seorang lelaki tua berbisik pada tetua lain:

‎“Asing ini… telah menunjukkan keajaiban yang tak pernah kami bayangkan.”

‎Raka tersenyum kecil, hatinya hangat. Bukan hanya karena berhasil membuat pakaian, tapi karena ia melihat penghormatan warga pada alam dan keterampilan baru ini tumbuh di tangan mereka sendiri.

‎Di bawah kanopi abadi, daun sukun bergoyang pelan, seolah ikut merayakan pencapaian kecil itu.

‎Hari itu, suku Latahna memiliki sesuatu yang lebih dari pakaian: pengetahuan baru yang akan bertahan lama, sama seperti mereka menjaga keseimbangan dengan alam.

‎Raka memperhatikan pertemuan awal suku Latahna. Rambut mereka panjang, berantakan, dan mekar di segala arah. Kulit kepala tampak kering, beberapa terlihat gatal karena debu dan lembap yang menempel.

‎Ia tersenyum, lalu mengambil sedikit minyak kemiri yang baru dipanaskan di batu cekung. Dengan gerakan lembut, Raka mengoleskan minyak itu ke rambut beberapa warga, sambil menjelaskan:

‎“Minyak ini tidak hanya melenturkan serat kain, tapi juga bisa menjaga rambut kalian tetap halus, menghitamkan rambut dan bisa bikin mengurangi rasa gatal.”

‎Mata warga terbelalak. Beberapa menatap rambut Raka sendiri, yang hitam pekat, halus, dan berkilau meski berada di bawah kanopi abadi yang lembap.

‎“Kalau biji kemiri bisa membuat obor menyala, kain lentur, dan kini jadi ramuan rambut, siapa sangka pohon ini menyimpan begitu banyak kehidupan,” gumam seorang tetua pelan, setengah kagum, setengah tertawa.

‎Warga lain mulai berebut, ingin mencoba sendiri, membiarkan Raka mengoleskan minyak ke helai rambut mereka.

Hari itu, pengetahuan baru masuk ke dalam kehidupan sederhana Latahna, dan keajaiban kecil dari biji kemiri membuat mereka tersenyum.

‎Raka tersenyum dan berkata agar mereka tidak kecewa dengan hasil.

‎"Rambut kalian tak akan langsung halus. Minyak ini butuh waktu, seperti pohon tumbuh dari biji. Terus pakai sedikit demi sedikit.’'

Warga tersenyum. Hari itu, keajaiban kecil dari biji kemiri masuk ke kehidupan mereka.

Saat Raka duduk menjahit pakaian datang pria berdiri di samping membawa tongkat tulang, entah apa yang di pikirkan pria itu?.

Pria itu berdiri tanpa berkata apa-apa, hanya menatap hasil jahitan Raka.

Di matanya, ada sesuatu yang sulit dibaca antara kagum atau curiga.

1
Adrian Koto
gaya penulisannya asik jg. mengalir 👍
Lukman Mubarok: 🙏Terimakasih kak
total 1 replies
Nixney.ie
Mesti dibaca ulang!
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
Tít láo
Gak bisa move on! 😍
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!