Sangkara, seorang pemuda yang menjadi TKI di sebuah negara. Harus menelan pil pahit ketika pulang kembali ke tanah air. Semua anggota keluarganya telah tiada. Di mulai dari abah, emak dan adek perempuannya, semuanya meninggal dengan sebab yang sampai saat ini belum Sangkara ketahu.
Sakit, sedih, sudah jelas itu yang dirasakan oleh Sangkara. Dia selalu menyalahkan dirinya yang tidak pulang tepat waktu. Malah pergi ke negara lain, hanya untuk mengupgrade diri.
"Kara, jangan salahkan dirimu terus? Hmm, sebenarnya ada yang tahu penyebab kematian keluarga kamu. Cuma, selalu di tutupin dan di bungkam oleh seseroang!"
"Siapa? Kasih tahu aku! Aku akan menuntut balas atas semuanya!" seru Sangkara dengan mata mengkilat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon apriana inut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12
Suara teriakan kencang pak kades dan bu kades memecahkan keheningan malam, membangunkan tetangga rumahnya yang tengah nyenyak dalam tidurnya. Satu per satu rumah terbuka. Semua mata tertuju pada rumah pak kades, yang mana suara teriakan itu muncul. Warga yang keluar merasa bingung karena pintu rumah dan jendela pak kades terbuka lebar. Satu dugaan yang terlintas dari otak mereka, jika rumah pak kades dimasuki perampok atau maling.
Tanpa ada komando, para tetangga keluar dan berlarian menuju rumah pak kades. Mereka ingin memastikan kondisi laki-laki yang sudah menjabat sebagai kepala desa tersebut.
“Pak kades… Pak kades… Anda gak apa-apa?”
“Tolong… Tolong saya!!!” lirih pak kades yang tengah berpelukan erat dengan sang istri. Keduanya sudah tampak sangat kacau. Celana mereka basah karena ompol mereka sendiri.
“Ada apa, pak kades? Ada maling ya?” seru warga masuk dan hendak mendekati kepala desa tersebut. Namun, langkahnya terhenti ketika mencium bau yang tidak sedap. Saat melihat lantai, di dapati lantai kamar kepala desa penuh dengan cairan yang berbau pesing.
“Pak kades ngompol?” tanyanya menutup hidung.
“Se-sepertinya iya! Ma-maaf, saya dan istri saya ketakutan. A-ada hantu si Lilis. Dia datang, dia marah, dia minta tolong sama saya? Dia cari Kara! Saya teh harus bagaimana?” sahut pak kades melepaskan pelukannya terhadap sang istri. Matanya menatap para warga yang berdiri di depan pintu masuk kamarnya.
“Lilis? Ah, gak mungkin atuh, pak kades. Si Lilis gak mungkin menghantui desa ini. Kalau pun menghantui, kenapa gak dari dulu?”
“Tapi beneran tadi ada Lilis, Jang. Saya dan istri saya melihatnya langsung. Wajahnya teh hancur, menyeramkan, Jang.”
Warga yang di panggil Jajang itu tersenyum tipis, “pak kades mungkin lagi halusinasi. Karena si Kara pulang, jadi pak kades merasa bersalah sudah menutupi kematian keluarganya. Di tambah sekarang banyak kasus aneh yang terjadi di desa ini, pak. Maaf, kalau untuk adanya Lilis, saya mah gak percaya, pak. Kasihan Lilis atuh, dia udah tenang di alam sana!”
“Sumpah, Jang. Ah, kamu mah gak melihat aja! Coba kamu melihat, kamu juga ketakutan kayak saya!”
Jajang melirik ke warga-warga lain, mereka mengedikkan bahunya. Tidak percaya dengan apa yang di katakan oleh kepala desa mereka.
“Ya udah, pak kades. Kami kira tadi ada maling, ternyata bukan. Kami pamit dulu, mau lanjutin tidur lagi. Pak kades dan bu kades lebih baik tutup pintu dan jendelanya. Terus ganti baju. Bau jengkolnya menyerbak banget loh!” pamit salah satu warga yang berdiri di luar kamar.
Satu per satu warga atau tetangga yang datang ke rumah kepala desa, mulai keluar dan kembali ke rumah mereka masing-masing. Mereka benar-benar tidak percaya dengan apa yang di katakan oleh pak kades jika ada hantunya Lilis yang datang ke rumah pak kades. Tidak mungkin orang yang sudah meninggal kembali bangkit dan menghantui orang yang masih hidup.
Pak kades tidak bisa menahan warga yang keluar dari rumahnya. Dia dan istrinya bergerak cepat menutup jendela dan pintu rumahnya. Mereka juga berganti baju dan pindah ke kamar anaknya yang kosong. Mereka terlalu takut untuk tidur di kamar mereka sendiri.
“Astagaaa bapak!!! I-itu li-lihat!!!”
Bu kades terpaku di tempatnya. Mata dan tangannya mengarah pada sebuah cermin yang ada di kamar anaknya. Di sana ada sebuah tulisan yang di tulis dengan menggunakan sesuatu berwarna merah.
‘CARI PELAKU YANG SUDAH MEMBUNUH KELUARGA SAYA! JIKA TIDAK, DESA INI AKAN MENDAPATKAN KUTUKAN!!!’
“Bu, ini sudah tidak benar! Ayoo, kita numpang tidur di rumah teh Laras aja. Bapak udah gak kuat!”
“Ayoo, pak! Mumpung hantu Lilis lagi ngumpet!” sahut bu kades menarik tangan suaminya.
Sepasang suami istri yang sudah berusia 50 tahunan, berjalan cepat keluar rumah. Mereka ingin menuju rumah kakak dari pak kades yang rumahnya hanya berjarak 5 rumah dari rumah mereka sendiri.
Ketika tiba di halaman, mereka di kejutkan oleh penampakan dua laki-laki yang menenteng ember besar.
“Astaga, Tuhan! Kalian mengagetkan saya saja!” seru pak kades.
“Mau kemana pak, bu, tengah malam kayak gini?” tanya salah satu dari dua laki-laki tersebut.
Bu kades yang melihat salah satu laki-laki itu, maju dan berdiri tegak tepat di hadapan nya. Tanganya terangkat, menunjuk wajah laki-laki itu. “Ini teh, semua gara-gara keluarga kamu! Kamu tahu gak, tadi hantu emak kamu datang sama kita! Dia nakutin kita! Belum lagi si hantu itu nulis di cermin kamar anak saya, pakai acara ngancam segala!” seru bu kades menggebu-gebu.
“Emang salah suami saya ya, jika menutupi kasus kematian keluarga kamu? Emang dasar keluarga kamu saja yang bawa masalah ke desa ini! Pakai acara mati di sini. Sudah tahu suami saya susah payah biar dapat penghargaan, malah di rusak dengan keluarga kamu yang mati!” sambung bu kades.
“Bu! Jangan ngomong kayak gitu atuh!”
“Biar aja, pak! Biar si Kara ini tahu semuanya. Ngapain pula bapak tutupin? Biar si anak ini tahu kalau keluarganya semua mati karena di bunuh. Emaknya di perkosa sebelum di bunuh. Abah dan adeknya di tusuk-tusuk sampai tubuh mereka berlobang. Toh, waktu kita makamkan darah mereka masih mengalir. Gak bisa berhenti kan? Dia harus tahu semua!!!”
Sangkara yang baru pulang dari mancing bersama dokter Adit, tanpa sadar memundurkan tubuhnya satu langkah. Tangannya menggenggam ember dan joran dengan kuat. Matanya menatap tajam kearah bu kades yang sudah mengungkapkan mengenai kematian keluarganya.
“Kara, kamu bilang sama hantu emak kamu itu! Jangan menghantui keluarga saya! Kalau sudah mati, ya mati saja! Jangan merepotkan keluarga saya lagi. Udah untung kami makamkan. Untung kami gak buang mayatnya ke sungai. Kami ini udah baik hati loh Kara!”
“Bu, sudah ah! Ayoo, kita pergi!!!” seru pak kades menarik tangan istrinya. “Maaf ya dok, maaf ya Kara. Jangan di ambil hati ucapan istri saya. Dia lagi shock!” ucap pak kades sebelum benar-benar meninggalkan Sangkara dan dokter Adit.
Sepeninggalan sepasang suami istri yang paling di hormati di desa itu. Dokter Adit menoleh kearah Sangkara yang masih menatap lurus ke depan. Tangannya masih menggenggam erat ember dan joran.
“Kara, kamu gak apa-apa?” tanya dokter Adit pelan.
“Kara…!!!” panggil dokter Adit karena Sangkara tidak merespon pertanyaannya.
Puk…
Sebuah tepukkan di bahunya membuat Sangkara tersentak. Dia langsung menampilkan senyum manis yang palsu.
“Eh, iya dok! Ada apa ya?”
“Gak ada apa-apa! Ayoo, kita pulang! Saya boleh nginap di rumah kamu?”
Kepala Sangkara mengangguk pelan. Dia kembali melangkah, karena di rangkul oleh dokter Adit. Langkah kedua laki-laki itu menjauh dari rumah kades dan menuju rumah Sangkara.
Rumah yang sederhana, yang tampak gelap gulita karena belum ada lampu yang hidup. Tidak membuat dokter Adit merasa takut atau merinding. Dia malah merasa tertarik dengan rumah itu. Karena gambaran rumah itu, tampak tidak asing baginya.
“Yakin dokter mau nginap di rumah saya? Gak takut?”
“Takut? Ngapain takut? Ayoo, kita masuk! Kamu ada stock mie instan gak? Saya bisa masak mie instan yang paling enak loh! Malam-malam kayak gini paling enak makan mie instan!”
“Emang dokter gak kerja besok?”
“Kerja dong! Tapi, kita atur nanti lah! Yuuk, aaah!!!” sahut dokter Adit.
Sangkara menghela napas, dia pun membuka pintu dan menyalakan lampu. Seketika rumah tersebut menjadi terang berderang.
Braaaakh…
Ember yang di pegang oleh dokter Adit terjatuh. Dan ikan yang di ember itu berserakan di lantai.
“Kenapa, dok? Takut???”
“Kak Naya…” lirih dokter Adit.
“Kak Naya???”
Semangat untuk authornya... 💪💪