Pada malam pernikahannya, Hwa-young seharusnya meminum racun yang memulai kehancurannya. Namun, takdir memberinya kesempatan kedua. Ia kembali ke malam yang sama, dengan ingatan penuh akan pengkhianatan dan eksekusinya. Kini, setiap senyum adalah siasat dan setiap kata adalah senjata. Ia tidak akan lagi menjadi pion yang pasrah. Menghadapi ibu mertua yang kejam dan suami yang penuh curiga, Hwa-young harus mengobarkan perang dari balik bayang-bayang untuk merebut kembali takdirnya dan menghancurkan mereka yang telah menghancurkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilla Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menghindari Kaki Tangan
Gadis itu tidak akan pernah menemukan benang emas yang tersembunyi di dalamnya.
Tidak jika Hwa-young bisa mencegahnya.
Pintu Paviliun Bulan Baru tertutup di belakangnya dengan bunyi klik yang tegas. Jantungnya berdebar kencang, memompa adrenalin ke seluruh tubuhnya. Ia sendirian. Untuk saat ini. Keheningan di kamarnya terasa seperti bom waktu yang terus berdetak. Berapa lama ia punya waktu? Satu jam? Setengah jam? Beberapa menit?
Ia tidak berani mengambil risiko.
Kotak kayu berisi peninggalan ibunya tergeletak di atas meja. Ia menatapnya, tetapi tidak menyentuhnya. Tidak. Matriarch Kang pasti sudah mengirim seseorang. Mengambil jurnal itu sekarang hanya akan mengonfirmasi kecurigaan mereka. Ia harus bertindak seolah-olah ia belum menemukan apa-apa.
Ingatan. Ia harus bergantung pada ingatannya.
Hwa-young bergegas ke meja tulisnya, tangannya sedikit gemetar saat mengambil selembar kertas perkamen kosong dan kuas. Ia mencelupkannya ke dalam tinta, menutup matanya sejenak.
Benang emas itu muncul kembali di benaknya. Terbakar di sana. Garis pantai yang berkelok seperti ular. Tiga titik pelabuhan di sepanjangnya. Dan satu titik yang ditandai dengan sulaman bunga teratai yang mungil. Di sampingnya, deretan angka yang pudar. Tanggal.
Kuas menari di atas kertas. Cepat. Tergesa-gesa. Ini bukan karya seni, ini adalah transfer data yang putus asa. Garis-garisnya kasar, tintanya sedikit menetes, tetapi bentuknya ada di sana. Peta itu hidup kembali di bawah tangannya.
Buk. Buk. Buk.
Tiga ketukan keras dan tajam di pintu menghentikan gerakannya seketika. Kuasnya membeku di udara.
“Yang Mulia Putri Mahkota?” Suara itu, manis seperti madu beracun, adalah milik Puan Lee. “Ibu Suri mengundang Anda untuk minum teh sore ini. Beliau bilang ini mendesak.”
Hwa-young menelan ludah. Waktunya habis.
Dengan gerakan secepat kilat, ia menyelipkan kertas perkamen yang masih basah itu di bawah tumpukan buku di sudut mejanya. Ia menghela napas dalam-dalam, menenangkan detak jantungnya yang menggila, dan melapisi wajahnya dengan topeng ketenangan yang dingin.
Ia berjalan ke pintu dan membukanya.
Puan Lee berdiri di sana, senyumnya terpampang di wajah, tetapi matanya tidak tersenyum.
“Kami akan membahas penggalangan dana untuk panti asuhan di ibu kota. Sesuatu yang sangat didukung oleh mendiang Ratu.”
Ia sengaja menyebut ibunya, sebuah tusukan kecil yang tajam.
Wajah Puan Lee menjadi masam. Ia jelas tidak mengantisipasi ini. “Anda bisa menundanya. Ini perintah dari Ibu Suri.”
“Dan janjiku adalah komitmen atas nama Putri Mahkota,” balas Hwa-young, melangkah keluar dari kamarnya dan menutup pintu di belakangnya. Ia mulai berjalan menyusuri koridor. “Etiket menuntutku untuk menepatinya. Aku yakin Ibu Suri, sebagai teladan etiket di istana ini, akan mengerti.”
Puan Lee bergegas menyusul, langkahnya cepat dan marah. “Anda tidak mengerti, Yang Mulia! Anda harus ikut dengan saya!”
Ia mencoba meraih lengan Hwa-young.
Hwa-young berhenti dan berbalik, tatapannya sedingin es. “Jaga tanganmu, Puan Lee.”
tidak keras, tetapi memotong udara seperti pisau. Beberapa pelayan dan penjaga yang berada di koridor berhenti, mata mereka tertuju pada adegan itu. Pertunjukan telah dimulai.
“Anda menentang Ibu Suri!” seru Puan Lee, kini naik satu oktaf, penuh dengan tuduhan. Ia ingin mempermalukan Hwa-young di depan umum. “Ini adalah pembangkangan!”
Hwa-young tidak menanggapi tuduhan itu secara langsung. Sebaliknya, ia memiringkan kepalanya sedikit, ekspresinya berubah menjadi ekspresi keprihatinan yang dibuat-buat.
“Puan Lee, apa kau baik-baik saja?” tanyanya, lembut dan menenangkan. “Wajahmu merah sekali. Kau tampak sangat gelisah.”
Puan Lee tertegun sejenak. “Apa ... apa yang kau katakan?”
“Kau terdengar sedikit histeris,” lanjut Hwa-young dengan nada prihatin yang sama. “Mungkin kau terlalu banyak bekerja. Beban melayani Ibu Suri pasti sangat berat. Kau harus menjaga kesehatanmu.”
Setiap kata adalah tamparan yang dibungkus dengan sutra. Hwa-young tidak membantah. Ia tidak membela diri. Ia malah mengubah Puan Lee dari penuduh menjadi pasien.
“Aku tidak histeris!” pekik Puan Lee, kemarahannya membuatnya jatuh lebih dalam ke dalam perangkap. “Anda yang tidak masuk akal! Beraninya Anda tidak mematuhi…”
“Ssst, tenanglah,” potong Hwa-young, masih dengan suara lembut. Ia menatap para penjaga di dekatnya. “Mungkin ada yang bisa membawakan Puan Lee secangkir teh menenangkan? Jelas sekali ia sedang tidak enak badan.”
Para penjaga dan pelayan saling berpandangan, bingung. Di satu sisi, ada Puan Lee, pelayan kepercayaan Ibu Suri, yang berteriak-teriak di koridor. Di sisi lain, ada Putri Mahkota, yang berbicara dengan tenang dan anggun, menunjukkan kepedulian pada pelayan yang membentaknya.
Kontrasnya sangat jelas. Yang satu tampak gila, yang lain tampak agung.
“Hentikan omong kosong ini!” geram Puan Lee, wajahnya memerah karena malu dan marah. Ia sadar ia telah kehilangan kendali atas narasi. “Anda akan ikut denganku sekarang juga, atau aku akan…”
“Kau akan apa, Puan Lee?”
Sebuah suara dingin dan tenang memecah ketegangan dari ujung koridor.
Yi Seon berdiri di sana, Jenderal Kim di sisinya. Ia tidak tampak terkejut, hanya mengamati pemandangan itu dengan tatapan menilai yang tajam, seolah sedang menonton pertunjukan drama yang agak membosankan.
Puan Lee tersentak. Kehadiran Puan Mahkota adalah kartu truf yang tidak ia duga. Ia segera membungkuk dalam-dalam.
“Yang Mulia Pangeran Mahkota!” serunya, mencoba terdengar seperti korban. “Syukurlah Anda di sini! Putri Mahkota ... beliau menolak panggilan mendesak dari Ibu Suri dan bersikap sangat kasar!”
Yi Seon berjalan perlahan mendekat, langkahnya tidak tergesa-gesa. Matanya beralih dari Puan Lee yang terengah-engah ke Hwa-young yang berdiri tegak dan tenang.
“Benarkah itu, Nyonya?” tanyanya, nadanya tidak bisa ditebak.
Hwa-young membungkuk dengan anggun. “Selamat siang, Yang Mulia. Saya rasa ada sedikit kesalahpahaman.”
“Kesalahpahaman?” cibir Puan Lee. “Dia menyebut saya histeris!”
“Karena saya khawatir,” jawab Hwa-young, menatap lurus ke arah Yi Seon. “Saya hanya menyatakan bahwa saya harus menepati janji yang telah saya buat dengan Nyonya Menteri Perang sebelum memenuhi panggilan Ibu Suri. Saya percaya menjaga kata-kata Putri Mahkota adalah bagian dari menjaga martabat keluarga kekaisaran.”
Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap.
“Namun, Puan Lee menjadi sangat gelisah,” lanjutnya. “Saya hanya menyarankan agar ia beristirahat. Saya tidak bermaksud menyinggung.”
Yi Seon menatap Hwa-young lama. Hwa-young bisa melihat kilatan geli yang tersembunyi jauh di dalam matanya yang dingin. Ia melihat permainannya. Ia mengerti persis apa yang sedang Hwa-young lakukan. Dan tampaknya, ia menikmatinya.
“Nyonya Menteri Perang, katamu?” ulang Yi Seon.
“Benar, Yang Mulia. Untuk membahas acara amal.” Hwa-young memberikan alasan yang sempurna, alasan yang tidak bisa dibantah tanpa menimbulkan insiden diplomatik kecil.
Yi Seon akhirnya mengalihkan pandangannya ke Puan Lee, dan semua kehangatan, betapapun sedikitnya, lenyap dari wajahnya.
“Puan Lee,” katanya dingin. “Tugasmu adalah menyampaikan pesan, bukan membuat keributan di koridor Paviliun Bulan Baru.”
“Tapi, Yang Mulia, perintah Ibu Suri…”
“Apakah perintah Ibu Suri termasuk berteriak pada istriku?” potong Yi Seon, menajam. “Kau telah melampaui batasmu. Kembali ke paviliun Ibu Suri dan katakan padanya bahwa Putri Mahkota akan menemuinya setelah urusannya selesai. Sekarang, pergi.”
Perintah itu mutlak. Wajah Puan Lee pucat pasi. Ia telah gagal total. Dipermalukan di depan semua orang, oleh Pangeran Mahkota sendiri. Dengan gemetar, ia membungkuk.
“Baik, Yang Mulia.”
Ia berbalik dan berjalan pergi dengan cepat, diikuti oleh dua pelayan lainnya, punggung mereka kaku karena penghinaan.
Keheningan menyelimuti koridor. Para pelayan dan penjaga lainnya dengan cepat berpura-pura sibuk, tidak berani menatap Pangeran dan Putri Mahkota.
Hwa-young tetap diam, menunggu. Apa langkah Yi Seon selanjutnya?
Pria itu menatapnya, ekspresinya kembali tak terbaca. “Kau tampaknya selalu berhasil menemukan masalah, di mana pun kau berada.”
“Atau masalah yang selalu berhasil menemukan saya, Yang Mulia,” balas Hwa-young tenang.
Yi Seon mendengus pelan, sebuah suara yang hampir terdengar seperti tawa. Ia kemudian menoleh ke Jenderal Kim.
“Jenderal.”
“Yang Mulia,” jawab Jenderal Kim, melangkah maju.
“Kawal Putri Mahkota ke pertemuannya dengan Nyonya Menteri Perang,” perintah Yi Seon. “Pastikan ia tiba dengan selamat.”
Ia berhenti sejenak, matanya kembali menatap Hwa-young dengan intensitas yang aneh.
“Dan setelah itu,” lanjutnya, “tetaplah di sisinya. Lindungi dia dari ‘gangguan’ lebih lanjut. Sepertinya ia sangat membutuhkannya akhir-akhir ini.”
Hwa-young sedikit terkejut. Sebuah perlindungan? Atau bentuk pengawasan yang lebih ketat? Keduanya. Ini adalah langkah khas Yi Seon. Memberinya apa yang ia inginkan, tetapi dengan tali yang terikat erat di lehernya.
“Terima kasih atas perhatian Anda, Yang Mulia,” kata Hwa-young, membungkuk sedikit.
“Jangan berterima kasih padaku,” sahut Yi Seon. Ia melangkah lebih dekat, turun menjadi bisikan rendah yang hanya bisa didengar oleh Hwa-young, aroma cendana dan ozon yang dingin menguar darinya.
“Permainan catur yang sangat indah, Nyonya.”
Napas Hwa-young tertahan.
“Tapi jangan pernah lupa,” bisiknya, matanya mengunci mata Hwa-young, “jurnal ibumu mungkin ada di tanganmu, tapi kamar tempat kau tidur ada di bawah pengawasanku.”