Narendra (35) menikah untuk membersihkan nama. Adinda (21) menikah untuk memenuhi kewajiban. Tidak ada yang berencana jatuh cinta.
Dinda tahu pernikahannya dengan Rendra hanya transaksi. Sebuah kesepakatan untuk menyelamatkan reputasi pria konglomerat yang rusak itu dan melunasi hutang budi keluarganya. Rendra adalah pria problematik dengan citra buruk. Dinda adalah boneka yang dipoles untuk pencitraan.
Tapi di balik pintu tertutup, di antara kemewahan yang membius dan keintiman yang memabukkan, batas antara kepentingan dan kedekatan mulai kabur. Dinda perlahan tersesat dalam permainan kuasa Rendra. Menemukan kelembutan di sela sisi kejamnya, dan merasakan sesuatu yang berbahaya dan mulai tumbuh : 'cinta'.
Ketika rahasia masa lalu yang kelam dan kontrak pernikahan yang menghianati terungkap, Dinda harus memilih. Tetap bertahan dalam pelukan pria yang mencintainya dengan cara yang rusak, atau menyelamatkan diri dari bayang-bayang keluarga yang beracun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PrettyDucki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kampus
Dinda menginjak tangga kampus dengan langkah lambat. Tas bahu di pundak, cincin dengan berlian besar di jari manis. Ada rasa gugup yang menyelimuti saat memikirkan respons teman-temannya pada berita pernikahan. Tapi langsung ditepisnya jauh-jauh.
Begitu sampai halaman gedung, beberapa teman langsung menghampirinya. Wajah-wajah familiar yang biasanya cuma ia sapa singkat sebelum masuk kelas, sekarang menyorot ke arahnya dengan rasa ingin tahu yang tidak ditahan-tahan.
"Dindaaa! Ya ampun, congrats ya! Gila, lo nikah?!" seru Rika sambil melambai girang, matanya melebar begitu melihat cincin berlian itu benar-benar ada.
"Iya, congrats! Gue liat beritanya di mana-mana. Gila, lo kayak Cinderella." timpal yang lain.
"Eh tapi serius, lo kenal Narendra dari mana?"
Dinda berhenti sejenak. Senyumnya masih menempel, tapi otaknya mulai blank. Masa dia harus jawab, 'Kenal karena dijodohin sama Presiden' ?
Ia mencoba tertawa kecil untuk menghilangkan kegugupan, "Emm.. itu, panjang ceritanya."
"Kalian nggak pacaran kan sebelumnya? Dijodohin ya?"
"Nggak dijodohin juga... Kayak, ya udah jalan aja."
Suara Dinda makin kecil. Matanya mencari jalan untuk keluar. Ia menyesal karena tidak membuat persiapan matang untuk situasi ini.
"Kapan deketnya? Kok bisa cepet banget?"
Sebelum Dinda bisa menjawab atau semakin tenggelam dalam gugup, Tania muncul dari belakang dan langsung melingkarkan lengannya di pundak Dinda.
"Udah dong, jangan digerebek! Kok bingung banget kenapa bisa nikah? Ya karena jodoh lahh." kata Tania dengan nada santai, namun matanya tegas menyapu setiap pandangan yang mengelilingi Dinda. "Lo semua serius banget sih, kayak lagi wawancara 'Mata Najwa' deh! Kasih napas dulu dong. Ini aja baru sehari balik ke kampus."
Mereka semua tertawa, sebagian masih penasaran, tapi akhirnya mundur dan mulai mengobrol soal topik lain.
Dinda melirik Tania dan menghembuskan napas lega, "Thanks ya, Tan..."
"My pleasure.." Tania mengangguk dengan gestur dramatis. Kemudian ia menyenggol lengan Dinda dan berbisik, "Nanti gue traktir kopi. Tapi lo utang cerita ya."
"Cerita apa? Kan lo udah tau semua." Dinda balas berbisik.
"First night. Hehehe.. Otot perutnya pasti seganteng mukanya ya, Din?"
"Tan, Stop deh!" Dinda menggeram kesal.
...***...
Ruangan itu dingin dan hening, hanya terdengar suara ketikan laptop dan helaan napas. Di hadapan Dinda, Bima duduk bersandar pada kursi. Kemeja putihnya tergulung rapi di lengan.
Mereka baru saja berdiskusi serius soal outline skripsi, sampai akhirnya Dinda sadar, Bima tidak lagi menatap layar. Tatapannya kosong, tertuju ke arahnya. Tapi dia tidak menatap wajah. Mungkin bahu, atau leher, Dinda tidak yakin.
"Mas Bima kenapa?" Dinda mengalihkan pandangannya dari monitor ke Bima.
"Oh... nggak apa-apa." jawab Bima cepat, tersadar dari lamunannya.
Tanpa sengaja, tangannya yang sedang mengambil pulpen tergelincir dan menyentuh punggung tangan Dinda. Sentuhan itu hanya berlangsung sepersekian detik, tapi cukup untuk membuat keduanya tertegun. Bima langsung menarik tangannya dengan cepat, seolah tersetrum. Ia membalik beberapa lembar print-out dengan gerakan yang tergesa.
Ini tidak biasa, bukan hal aneh mereka bersentuhan, tapi kali ini Bima tampak menjaga jarak.
"Tadi kamu bilang mau ganti angle kan? Kalau gitu, kita coba lihat dari persepsi publik ya."
Diskusi berjalan seperti biasa. Tapi ada sesuatu yang berubah. Nada bicara Bima sedikit lebih pelan, dan sesekali matanya memandang ke arah Dinda lebih lama dari yang seharusnya. Ada keheningan yang sedikit janggal di antara mereka, namun Dinda mencoba tetap fokus.
Di akhir pertemuan, saat Dinda bersiap mengemasi buku dan laptop, Bima menatapnya sekali lagi.
"Setelah nikah kamu happy nggak, Din?" Pertanyaan itu terdengar terlalu jujur untuk sekadar basa-basi.
Dinda tertegun sebentar, lalu menjawab, "Masih penyesuaian, Mas. Tapi sejauh ini... happy."
Bima mengangguk, matanya masih menatap Dinda, "Suami kamu baik kan ke kamu?"
Dinda tersenyum, menundukkan kepala sedikit, pipinya memerah tanpa bisa dicegah. "Baik. Kadang nyebelin sih, dia suka ngatur. Tapi... ya baik. Mas Rendra perhatian. Aku dijagain banget."
Sesungguhnya ada yang ia kaburkan dalam jawabannya. Apakah ia bahagia? Sepertinya begitu. Dia sangat menyukai Rendra, bahkan mungkin tergila-gila. Namun soal 'perhatian' dan 'dijaga'... Dinda sebenarnya juga tidak yakin. Tapi ia merasa wajib melindungi nama suaminya di depan orang lain.
Bima hanya diam, seolah mencoba menyembunyikan sesuatu yang sedang ia kubur dalam-dalam. Ekspresi pria itu datar, tapi matanya tidak bisa berbohong. Ada rasa yang belum hilang untuk perempuan di hadapannya.
Dan lebih dari itu, melihat Dinda-nya yang manis harus berurusan dengan pria seperti Rendra, entah kenapa membuat dadanya sesak.
Flashback On
Bima bukannya tidak sadar bahwa ada yang aneh, saat tiba-tiba Seno memberi kabar kepada keluarga bahwa Dinda akan menikah dengan putra Bratasena. Berita ini menjadi topik hangat saat itu juga.
Bima hampir setiap hari bicara dengan keluarga Seno, dan tidak sekalipun nama Rendra pernah disebut. Lalu kenapa tiba-tiba mereka mau menikah?
Dalam suasana yang lebih privat Bima memberanikan diri bertanya kepada Seno, tapi jawaban darinya justru membuat Bima semakin gusar.
"Om juga... sempat ragu. Tapi, mungkin ini bisa jadi kebaikan untuk Dinda. Mereka keluarga kuat, Bim. Bisa jamin keamanan dan kenyamanan untuk hidup Dinda."
Bima tidak percaya pikiran Seno bisa sedangkal ini. Siapapun tau Dinda bukan pilihan normal bagi keluarga Brata.
Bima mencoba menahan nada emosinya, tapi sorot matanya tidak bisa disembunyikan.
"Bima cuma bisa kasih pendapat, Om. Tapi nggak seharusnya Dinda diseret ke permainan politik keluarga mereka. Dinda nggak pantes dijadiin tameng untuk nutupin kelakuan Rendra. Kita semua kan tau reputasinya gimana."
Seno tidak menjawab.
Ketika hendak pulang dari rumah itu Bima sempat berpapasan dengan Dinda di ambang pintu teras. Gadis itu terlihat lelah, pakaiannya masih sama dengan terakhir kali mereka bertemu di kampus siang tadi.
"Loh ada Mas Bima?" Dinda tersenyum melihatnya. Senyum manis dengan gigi-gigi rapi yang selalu membuat Bima terkagum.
Bima menghembuskan napasnya berat. Merasa bersalah karena tidak bisa melakukan apapun untuk melindungi gadis yang ia sayangi. Tapi ia terlalu pengecut untuk bertanya atau mengatakan apapun padanya. Sebagai gantinya ia hanya membelai kepala Dinda dan berjalan melewatinya.
Flashback Off
Kenangan itu terus berputar di kepala Bima. Mungkin seharusnya ia berusaha lebih keras untuk mencegah pernikajan itu. Kalau saja dia lebih berani mengakui perasaannya pada Dinda, mungkin ia punya kesempatan.
Tapi sia-sia penyesalan itu. Sekarang sudah terlambat. Dinda sudah jadi milik pria lain. Dan melihat pipi Dinda bersemu saat menyebut nama itu, mendengar bahwa ia bahagia dengan pernikahannya, membuat Bima merasa ia harus mundur.
...***...
Kafetaria kampus sedang tidak seramai biasanya. Lampu-lampu gantung kekuningan membuat suasana terasa hangat. Musik pelan mengalunkan lagu Birds of Feather dari Billie Eilish.
Di sana Tania sudah menunggu. Ia langsung melambaikan tangan begitu melihat Dinda masuk.
"Gue nggak nyangka reaksi orang bakal segitunya." gerutu Dinda begitu ia duduk di hadapan Tania.
Tania menghisap es latte nya, lalu menarik napas dalam, "Karena lo nikahnya bukan sama orang biasa, Din. Lo udah jadi objek headline, suka atau nggak suka."
Dinda mendesah pelan. Beberapa menit berjalan entah kenapa udara di sana terasa panas. Dinda mengambil karet dari pergelangan tanggan lalu menguncir rambutnya tinggi-tinggi.
"Eh ya ampun! Besok-besok lo pake turtle neck deh, Din." Kata Tania seperti melihat keanehan di depan mata.
"Apaan?" Tanya Dinda bingung.
"Your husband left a hickey on your neck."
"Hickey apaan?" Dinda semakin bingung.
Tania mencondongkan tubuhnya ke arah Dinda, lalu berbisik pelan, "Ih Dinda.. Leher lo ada bekas cupangnya tuh."
Oh, ia pernah dengar soal 'cupang' ini waktu SMA. Apakah ini yang dibuat Rendra tadi pagi? Kecupan itu meninggalkan bekas?
Dinda cepat-cepat membuka ikatan rambutnya.
"Lo nggak sadar?" Tania tertawa geli melihat wajah Dinda yang merah padam.
Ia tau sahabatnya memang sepolos itu. Dinda tidak pernah punya pacar sebelumnya, mustahil dia tau soal hickey.
Sedangkan Dinda hanya termenung. Sibuk dengan pikirannya sendiri.
Apa Rendra sengaja memberinya tanda itu?
"Eh, cepet buka Instagram, Din. Coba liat followers lo sekarang berapa!" Tiba-tiba Tania sudah berganti fokus.
"Belum sempet." Jawab Dinda enggan.
Sebenarnya ia belum siap melihat dampak pernikahan terhadap kehidupan sosialnya. Terutama media sosial. Komentar di sana seringkali mengerikan.
"Ya ampun, tinggal buka doang. Cepetan liat sekarang." Bujuk Tania.
Akhirnya Dinda membuka Instagram-nya dan melihat ratusan ribu notifikasi masuk. Dia punya 539.000 followers sekarang.
"FYP sama explore gue isinya berita lo terus." Tania masih mengoceh.
Ada banyak sekali inbox. Ia membukanya. Matanya tertarik pada satu pesan dari akun centang biru. Namira Calista. Jantungnya berdebar. Entah apa yang dikirim perempuan itu padanya. Ragu-ragu ia membuka pesannya.
'Congrats on your wedding Dinda sayang. Sending my love to your incredible husband. Tolong tanyain kenapa telepon aku nggak pernah diangkat.'
Dia mengirim selfie-nya dengan Rendra yang bertelanjang dada dan sedang tidur lelap di ranjang hotel.
Dinda sudah tau, karena memang sudah tersebar di media saat skandal itu naik ke publik. Tapi ingatan bahwa suaminya pernah tidur dengan wanita lain, mau tidak mau membuat perutnya mual. Dan untuk apa perempuan itu mengganggunya sekarang?
...***...
dalam hati maksudnya☺️☺️