Jarang merasakan sentuhan kasih sayang dari suami yang diandalkan, membuat Mala mulai menyadari ada yang tidak beres dengan pernikahannya. Perselingkuhan, penghinaan, dan pernah berada di tepi jurang kematian membuat Mala sadar bahwa selama ini dia bucin tolol. Lambat laun Mala berusaha melepas ketergantungannya pada suami.
Sayangnya melepas ikatan dengan suami NPD tidak semudah membalik telapak tangan. Ada banyak konflik dan drama yang harus dihadapi. Walaupun tertatih, Mala si wanita tangguh berusaha meramu kembali kekuatan mental yang hancur berkeping-keping.
Tidak percaya lagi pada cinta dan muak dengan lelaki, tetapi jauh di dasar hatinya masih mengharapkan ada cinta tulus yang kelak melindungi dan menghargai keberadaannya di dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Harjanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melanjutkan Kenangan
Di bawah guyuran shower kamar mandi. Bram terpaku cukup lama. Buliran air mengenai kulitnya, mengguyur kepalanya. Bram mengharapkan itu meredam panas hatinya.
Selalu saja seperti ini, batinnya menggerutu, selalu begini jika berbicara dengan Mala… malah akhirnya berdebat.
Sungguh berbeda dengan Nana teman dekatnya, meski hubungan mereka tanpa status alias tidak ada status pacar, tetapi sering staycation bersama … Bram merasa lebih nyaman ketika bersama Nana.
Jalan-jalan berdua, nonton bioskop, atau menemani Nana meminum kopi di tempat gaul. Tidak seperti Mala yang begitu perhitungan. Tidak mungkin seorang Mala mau menghabiskan kopi yang secangkirnya 60 ribu rupiah di sebuah cafe. Apa-apa mengutamakan anak, banyak uang habis untuk membeli kebutuhan sehari-hari.
Salah sendiri dari kemarin nggak minta uang ke suami, sekarang setelah uangku habis dipakai staycation dengan Nana… malah baru minta. Huh! Tentu saja tidak ada, situlah cari sendiri, batin Bram mengomel, sembari mengusapkan facial wash baru untuknya yang masih penuh terisi.
“Hmm, rupanya kemarin Mala habis belanja bulanan, ya? Nah itu ada uang ‘kan? Ngapain minta!” gerutu Bram lagi.
***
Di Depan layar ponsel, Bram senyum-senyum sendiri. Sederet kalimat menggoda yang dikirimkan Nana melalui chat pribadi membuatnya tak sabar ingin bertemu.
Mengalihkan pandangan sejenak pada Mala yang melirik tajam, membuat Bram sedikit bergidik.
Kenapa sih, Mala kok seperti tahu apa yang sedang kulakukan?
Bram mengakui, intuisi Mala memang kuat. Apa yang Mala terka tentang diri Bram dan hubungan gelapnya di luar rumah, hampir semua benar.
Mala mengatakan dengan tenang dan itu membuat Bram terganggu. Merasa sebal kenapa Mala tidak cemburu disertai emosi meledak-ledak ketika mencurigai suaminya bersama wanita lain. Mala justru tertawa mengomentari isi dalam tas Bram yang terbuka. Menemukan sesuatu yang seharusnya membuat Mala menangis. Struk pembayaran spa untuk Nana, botol shampo dari hotel yang sengaja Bram tunjukan, rincian tagihan pembayaran hotel tempat Bram menginap bersama Nana.
Apa dia tidak pernah mencintaiku? gumam Bram heran.
“Jadi kamu nggak nginap di luar kota?” tanya Mala memegang sebuah kwitansi pembayaran. Di sana tertera nama hotel yang masih di kota Jogja juga.
“Eh, iya … anu, eh itu punya temanku, Mah.”
“Oh.”
“Kenapa oh?”
“Ya, oh aja … memangnya kenapa?”
Bram menggeleng, terlihat jelas Mala tidak percaya, tapi dia hanya berkomentar “oh” yang entah apa artinya.
“Kemarin, kamu habis nonton horor?” tanya Mala menunjukkan tiket bioskop yang baru ia temukan di kantung celana Bram Yang hendak dicuci.
“I-iya..” Bram memperhatikan mimik muka Mala. Adakah kecemburuan di sana? Hmm, tidak. Seperti biasa, datar tanpa ekspresi berlebihan.
“Oh, pacar kamu suka horor, ya?”
Deg …
Badan Bram seolah tersengat listrik, ini yang ditunggu. Mala menyindir dengan kata pacar.
Adrenalin Bram terpacu, ingin segera menjadikan ini perdebatan sengit dengan Mala.
“Pacar, pacar apa? Jangan sembarangan kalau ngomong, ya!” bentak Bram terencana. Setelah ini pasti Mala akan mulai menampilkan emosi.
“Itu, yang pelukan sama kamu di bioskop,” ucap Mala hampir tanpa emosi berlebih.
Kok Mala bisa tahu apa yang kulakukan di dalam bioskop? batin Bram bingung.
“Aku nonton sama teman cowok,” dalih Bram lagi.
“Hah? Untuk apa kamu nonton berduaan, pelukan sama cowok, memangnya kamu pacaran sama cow-”
“Hush! Enggaklah!”
“Jadi, sama cewek kan?”
“I-iya, eh …”
Huh, kenapa begini? Kenapa jadi aku yang tersudut, seharusnya Mala marah, Mala teriak menangisi nasibnya yang diselingkuhi … kenapa dia begitu entengnya membahas wanita lain yang bersama suaminya?
***
Bram menutup panggilan ponsel, mendekati sebuah pintu bernomor, mengetuknya perlahan dan … seseorang membuka pintu itu, berkulit putih dan berambut pirang. Sebuah tangan berkemilau perhiasan menariknya cepat.
Setelah pintu tertutup, tidak ada kesempatan lagi baginya mengelak. Birahi wanita ini memang tinggi, Bram hampir tidak pernah memulai duluan, selalu saja wanita ini yang memegang kendali. Memeluk Bram dengan begitu bergairah, Bram merasa dihargai. Diam-diam Bram membandingkan dengan Mala—istrinya. Mala yang dingin dan kaku dalam bercinta. Seakan telah muak untuk melayani Bram dengan penuh cinta. Itu yang membuat Bram malas menyentuh Mala dan memilih lari ke dalam pelukan Nana.
Sejam kemudian, dua orang terkapar lelah. Leher putih Nana penuh bekas kecupan, dan Nana mengamuk untuk itu.
“Besok suamiku pulang dari luar kota, kenapa kamu tinggalkan bekas kecupan, Bram?” ujarnya kesal.
“Heh, salah sendiri begitu bernafsu!” ujar Bram tak mau kalah.
“Yeah, seharusnya kamu tahu diri!”
Bram tercenung, “Memangnya kita tahu diri, Na?”
Nana berhenti menggerutu. Serius menatap Bram. Lelaki ini, mantan pacar saat SMA yang bertemu kembali setelah sama-sama berumah tangga dan melanjutkan kenangan lama kembali. Lelaki ini juga tempatnya melampiaskan hasrat seksual yang tidak ia peroleh dari suami yang tengah menjalin hubungan dengan teman sejawat. Nana dikhianati, tetapi ia menolak nasibnya untuk menjadi istri merana. Mencari hiburan dari pria lain, sekaligus membalas dendam untuk perselingkuhan suaminya. Tidak peduli apa yang dilakukannya dapat menghancurkan sebuah keluarga.
Mudah saja bagi Nana yang kaya tapi kesepian itu untuk menggaet Bram. Nana tahu persis, Bram senang kemewahan, dengan dalih mengajak kerja sama bisnis … Nana berhasil membujuk Bram untuk sering bertemu dan akhirnya melakukan hubungan semalam.
Pertama kalinya, Bram amat ketakutan. Dia takut sekali istrinya tahu dan pergi meninggalkannya. Melihat cinta Bram pada istrinya begitu kuat, timbul rasa iri di hati Nana. Kedengkian menguasai dan Nana melakukan segala cara agar Bram terus berada di sisinya. Nana menolak menyudahi hubungan semalam dan ingin terus melanjutkan kenangan bersama Bram.
“Kamu pernah berpikir tidak, bagaimana kalau pasangan kita masing-masing mengetahui hubungan kita?” tanya Bram mendadak serius. Ada wajah khawatir di sana dan Nana tidak menyukai itu karena pasti kekhawatiran itu Bram tujukan untuk istrinya.
“Tidak usah memikirkan yang belum tentu terjadi, Bram! Kamu bilang istrimu itu cuma ibu rumah tangga ‘kan? Dia pasti tidak akan berani macam-macam denganmu!”
“Bukan begitu, Na … aku merasa ini tak adil untuknya,” gumam Bram menunduk. Menatap selimut hotel yang menyembunyikan dosa-dosanya.
Nana membuang muka. Bahkan peluh percintaan mereka belum kering, tetapi lelaki ini menunjukkan rasa cintanya pada wanita lain. Kendati wanita itu istri Bram sendiri, tapi Nana tidak terima jika ada wanita yang lebih mendapatkan prioritas dibandingkan dirinya.
“Apa kamu pernah berpikir, Na? Jika kita bercerai dari pasangan kita masing-masing?”
“Terus?”
“Apa nantinya kita akan menikah?”
Nana menggeleng. Tak sedikitpun terlintas di benaknya untuk menikahi Bram. Membayangkan ibu Bram menjadi ibu mertuanya saja sudah membuatnya pening.
“Kita lihat saja nanti, sekarang nikmati saja hubungan ini tanpa beban, ya?” bujuknya pada Bram.
Dalam hati Nana berpikir, tidak mungkin dia meninggalkan suaminya yang kaya dan memiliki jabatan tinggi untuk bersama Bram yang hanya berprofesi sebagai pembisnis bahan material kelas rendahan. Untuk kencan mereka saja, lebih banyak Nana yang mengeluarkan dana.
Nana pintar merayu, wajahnya selalu tersenyum menghadapi sifat Bram yang kekanakan dan suka merajuk. Bram memasuki perangkap Nana dan telanjur sulit untuk keluar. Setiap kali hati Bram timbul rasa kasihan pada Mala, detik itu juga Nana akan berpikir cara untuk menjauhkan mereka.
Huh, aku harus mendatangi tempat “orang pintar” itu lagi agar Bram mudah dikendalikan!
“Na, boleh minta tolong?” bisik Bram di telinga Nana.
“Apa?” bisik Nana tak kalah menggoda.
“Aku mau dikecup dan meninggalkan bekas, di sini,” ucap Bram sambil menunjukkan dada.
“Memangnya kenapa?” tanya Nana heran.
“Ingin kutunjukkan pada istriku di rumah,” kekeh Bram.
“Gilak!!!” ujar Nana sewot.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...