Darah kakaknya masih basah di gaun pestanya saat Zahra dipaksa lenyap.
Melarikan diri dari belati ayahnya sendiri, Zahra membuang identitas ningratnya dan bersembunyi di balik cadar hitam sebagai Fatimah. Di sebuah panti asuhan kumuh, ia menggenggam satu kunci logam bukti tunggal yang mampu meruntuhkan dinasti berdarah Al-Fahri. Namun, Haikal, sang pembunuh berdarah dingin, terus mengendus aromanya di setiap sudut gang.
Di tengah kepungan maut, muncul Arfan pengacara sinis yang hanya percaya pada logika dan bukti. Arfan membenci kebohongan, namun ia justru tertarik pada misteri di balik sepasang mata Fatimah yang penuh luka. Saat masker oksigen keadilan mulai menipis, Fatimah harus memilih: tetap menjadi bayangan yang terjepit, atau membuka cadarnya untuk menghancurkan sang raja di meja hijau.
Satu helai kain menutupi wajahnya, sejuta rahasia mengancam nyawanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Nama yang Tak Boleh Disebut
Lantai beton itu bergetar hebat saat pintu besi rahasia di belakang lemari menutup dengan dentuman yang meredam jeritan Fatimah. Di dalam markas yang remang itu, Arfan berdiri tegak meskipun tubuhnya limbung dan darah mulai merembes membasahi kemeja putihnya yang koyak. Ia menatap lurus ke arah lubang pintu depan yang hancur berantakan, tempat kepulan asap mesiu perlahan lahan menyingkap sosok monster dari masa lalunya.
"Lama tidak berjumpa, pengacara sombong," suara itu berat dan dingin, memecah kesunyian yang mencekam.
Haikal melangkah masuk dengan sepatu bot yang beradu keras dengan lantai, memegang senjata laras pendek yang masih berasap di tangan kanannya. Di belakangnya, sekelompok pria bertubuh kekar dengan penutup wajah mulai menyebar, mengepung setiap sudut ruangan dengan gerakan yang sangat terlatih. Arfan mengepalkan tangannya kuat kuat, mencoba mengabaikan rasa perih di bahunya demi mempertahankan martabat di depan musuh besarnya.
"Kamu sudah melangkah terlalu jauh, Haikal. Tempat ini tidak tercatat di peta manapun," ujar Arfan dengan suara yang diusahakan tetap tenang.
"Jangan meremehkan sumber daya yang dimiliki oleh ayah Zahra, atau haruskah aku menyebut nama yang tak boleh disebut itu?" Haikal menyeringai lebar, memperlihatkan deretan gigi yang tidak rata.
"Jangan berani berani kamu mengucapkan nama Pratama Al-Fahri di sini setelah apa yang kalian lakukan pada Luna!" teriak Arfan dengan amarah yang meledak.
Haikal tertawa terbahak bahak, sebuah suara yang terdengar seperti gesekan logam yang berkarat di telinga Arfan yang mulai berdenging. Ia berjalan perlahan mendekati meja komputer, lalu dengan kasar menyapu semua layar pemantau hingga jatuh berantakan ke lantai. Matanya yang tajam kemudian tertuju pada lubang kecil di balik lemari besi yang sedikit terbuka, tempat Fatimah dan Baskara baru saja menghilang.
"Aku tahu dia ada di sini, Arfan. Serahkan Zahra padaku sekarang juga, dan aku mungkin akan membiarkanmu mati dengan cepat," ancam Haikal sambil mengarahkan moncong senjatanya ke kening Arfan.
"Kamu harus melangkahi mayatku terlebih dahulu sebelum menyentuh seujung kuku wanita itu," jawab Arfan tanpa gentar sedikitpun.
"Kesetiaan yang sangat menyentuh hati, tapi sayangnya keadilan tidak pernah berpihak pada orang mati," Haikal menekan pelatuk senjatanya perlahan lahan.
Tiba tiba, sebuah ledakan kecil terjadi di sudut ruangan, melepaskan gas air mata yang sangat pekat dan membuat semua orang di dalam markas terbatuk batuk hebat. Arfan memanfaatkan kesempatan itu untuk meraih kursi kayu di dekatnya dan menghantamkannya ke arah Haikal dengan tenaga sisa yang ia miliki. Suasana menjadi sangat kacau, suara tembakan membabi buta terdengar di tengah kabut putih yang menyesakkan napas dan mengaburkan pandangan.
"Tangkap dia! Jangan biarkan pengacara itu melarikan diri!" teriak Haikal di tengah kepulan gas yang menyakitkan matanya.
Arfan merayap di lantai, mencoba mencapai pintu rahasia yang tadi digunakan oleh Fatimah, namun sebuah tendangan keras mendarat di rusuknya. Ia mengerang kesakitan, tubuhnya terlempar menabrak meja besi yang berat hingga kepalanya membentur sudut tajam yang membuatnya setengah sadar. Dalam pandangannya yang mulai kabur, ia melihat Haikal berdiri di depannya dengan wajah yang dipenuhi kemarahan luar biasa.
"Kamu pikir trik murahan seperti ini bisa menghentikanku?" desis Haikal sambil menjambak rambut Arfan dengan kasar.
"Hanya itu... yang kamu punya?" Arfan meludah ke arah sepatu Haikal, sebuah tindakan yang memicu kemarahan sang algojo semakin menjadi jadi.
Haikal mengangkat senjatanya tinggi tinggi, bersiap untuk menghantamkan gagang pistol itu ke wajah Arfan agar pria itu bungkam selamanya. Namun, sebuah suara dari pengeras suara di sudut ruangan tiba tiba terdengar, menghentikan gerakan tangan Haikal yang sudah berada di udara. Itu adalah suara rekaman percakapan yang sangat rahasia, suara yang selama ini disembunyikan rapat rapat oleh dinasti Al-Fahri.
"Haikal, hentikan! Itu adalah suara ayah Zahra!" salah satu anak buah Haikal berseru dengan nada yang dipenuhi ketakutan.
"Bagaimana mungkin rekaman itu bisa ada di sini?" gumam Haikal dengan wajah yang seketika berubah menjadi pucat pasi.
Arfan tersenyum di tengah rasa sakitnya, ia tahu bahwa kartu memori yang nampak asli di meja tadi hanyalah umpan untuk mengaktifkan sistem pertahanan rahasianya. Rekaman suara Pratama yang sedang memerintahkan pembunuhan Luna mulai bergema di seluruh ruangan, menciptakan teror mental bagi para pengejar itu. Haikal tampak sangat gelisah, ia tahu jika rekaman ini sampai keluar, maka seluruh kekuasaannya akan hancur dalam semalam.
"Hancurkan sistemnya! Cepat cari di mana sumber suaranya!" perintah Haikal dengan nada yang mulai kehilangan kendali.
"Sudah terlambat, Haikal. Rekaman ini sedang dikirim secara otomatis ke pusat data yang tidak bisa kamu sentuh," bisik Arfan dengan sisa kesadarannya.
Kemarahan Haikal memuncak, ia tidak lagi peduli pada perintah Pratama untuk membawa Arfan hidup hidup sebagai sandera politik. Ia menarik pelatuk senjatanya dengan penuh kebencian, bermaksud untuk mengakhiri nyawa pengacara yang telah menghancurkan rencana besarnya itu. Namun, tepat sebelum peluru itu meluncur, pintu besi belakang berderit terbuka kembali, menampakkan sebuah bayangan yang membawa harapan baru.
Rahasia yang mulai retak itu nampak semakin nyata saat Fatimah berdiri di ambang pintu dengan sebuah benda tajam di tangannya yang bergetar hebat.