Menikah dengan seseorang yang tumbuh bersama kita sejak kecil—yang rasanya sudah seperti saudara kandung sendiri—namun harus terpaksa menikah dengannya. Itulah yang kualami.
Namaku Alif Afnan Alfaris, seorang arsitek.
Sedangkan dia, Anna Maida, adalah adik sepupuku sendiri. Sepupu, kata ayahku, sudah sah untuk dinikahi—alasannya demi mendekatkan kembali hubungan darah keluarga. Namun sungguh, tak pernah sedikit pun terlintas di benakku untuk menikah dengannya.
Hubungan kami lebih mirip Tom and Jerry versi nyata. Setiap bertemu, pasti ribut—hal-hal kecil saja sebenarnya. Dia selalu menolak memanggilku Abang, tidak seperti sepupu-sepupu yang lain. Alasannya sederhana: usia kami hanya terpaut satu hari.
Anna adalah gadis cerdas yang menyukai hidup sederhana, meski ayahnya meninggalkan warisan yang cukup banyak untuknya. Ia keras kepala, setia, penyayang… dan menurutku, terlalu bodoh. Bayangkan saja, ia mau dijodohkan dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal, di usia yang masih sanga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ann,,,,,,, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bukan lawan sembarangan
Rian menatap Anna lama. Terlalu lama.
Ada sesuatu di mata perempuan itu yang tak pernah ia lihat sebelumnya—ketenangan yang bukan pasrah, melainkan… jarak.
“Kamu berubah, Anna,” ucap Rian akhirnya. Nadanya rendah, tapi tajam. “Akhir-akhir ini kamu aneh. Pulang malam, pergi tanpa bilang, sekarang jawab kamu juga dingin.”
Anna menyilangkan tangan di depan dada. “Aku capek, Mas.”
“Capek?” Rian tertawa kecil, hambar. “Capek apa? Kamu di rumah, anak-anak sekolah. Aku yang kerja di luar, Anna.”
Tatapan Anna mengeras. “Capek bukan cuma soal fisik.”
Rian mendekat selangkah. Jarak mereka kini terlalu dekat.
“Kamu sembunyiin apa dariku?” tanyanya menekan.
Anna menatap balik tanpa gentar. “Aku nggak sembunyiin apa-apa.”
“Kamu bohong!” suara Rian meninggi. “Dulu kamu nggak pernah kayak gini. Kamu selalu cerita. Sekarang? Kamu bahkan nggak tanya aku dari mana!”
“Karena jawabannya selalu sama,” balas Anna pelan. “Sibuk.”
Rian terdiam. Rahangnya mengeras. Ada rasa terancam yang tak ia pahami—takut kehilangan kendali, takut rahasia yang ia kubur mulai retak.
“Kamu jangan macam-macam, Anna,” katanya dingin. “Ingat posisi kamu. Kamu istriku.”
Anna tersenyum tipis.
“Dan kamu suamiku,” jawabnya tenang. “Seharusnya kita saling jujur.”
Nada suara itu… membuat Rian gelisah.
Ia hendak berkata sesuatu lagi ketika—
Klik.
Pintu depan terbuka.
“MAAAA!” suara ceria itu memecah udara tegang.
Ayyan berlari masuk lebih dulu, tas robot astronotnya terayun di punggung.
“Om Alif jemput aku tepat waktu loh!” teriaknya bangga.
Alif menyusul di belakang. Begitu kakinya menginjak ruang tamu, ia langsung menangkap suasana yang tidak beres. Tatapan Rian tajam. Wajah Anna datar. Udara… berat.
Alif menarik napas dalam-dalam.
Tenang, Lif. Jangan meledak.
“Wah… rumah rame amat,” katanya sambil tersenyum lebar, nada sengaja dibuat ringan. “Bang Rian udah pulang? Tumben cepet.”
Rian menoleh, ekspresinya berubah sekejap. “Iya.”
Ayyan berlari menghampiri Anna, memeluk kakinya.
“Ma, aku dapet bintang hari ini! Om Alif lihat sendiri.”
Anna berlutut, mengusap kepala putranya. “Iya, Mama bangga.”
Alif melirik jam tangannya. “An, gue laper nih. Dari pagi jadi sopir sekolah. Masakannya mana? Jangan bilang gak masak, ntar Ayyan protes.”
Ayyan langsung menimpali, “Iya Ma! Aku lapar!”
Sedikit demi sedikit, ketegangan itu retak.
Anna berdiri. “Mama siapkan makan dulu.”
Rian hendak berkata sesuatu, tapi Alif lebih dulu melangkah mendekat, menepuk bahunya ringan—terlalu ringan untuk sebuah peringatan, tapi cukup jelas maknanya.
“Nanti aja ngobrolnya, Bang,” ucap Alif sambil tersenyum, tapi matanya tajam. “Anak-anak ada.”
Rian menatap Alif sesaat. Ia tahu—Alif bukan orang bodoh. Dan kehadirannya… mengganggu rencana apa pun yang barusan ingin ia lakukan.
Rian mengangguk singkat, menahan emosi.
Sementara Alif menoleh ke Ayyan.
“Gimana sekolah hari ini, Kapten Astronot?”
Ayyan tertawa. “Aku hampir terbang, Om!”
Alif ikut tertawa, meski dadanya bergemuruh.
Dalam hati, ia bersumpah:
> Kalau benar Anna disakiti…
kali ini aku nggak akan diam.
****
Rian mengalihkan pandangannya ke Alif, wajahnya kembali dipoles senyum tipis—senyum basa-basi yang terlalu rapi untuk situasi setegang barusan.
“Kapan kamu datang, Lif?” tanyanya seolah santai.
Alif melirik singkat ke arah Anna yang sedang menyiapkan minum di dapur, lalu kembali menatap Rian.
“Semalam. Dadakan,” jawabnya ringan. “Niatnya cuma mau ngejutin sepupu cerewet gue ini.”
Anna mendengus dari dapur. “Kurang ajar. Datang bawa anggur pula.”
Ayyan tertawa cekikikan. “Mama gak suka anggur!”
Alif mengacak rambut Ayyan. “Makanya om bawa, biar mama kamu emosi. Biar rumah rame.”
Rian ikut tersenyum kecil, tapi matanya mengamati Alif lebih dalam. Ia tahu hubungan sepupu itu bukan sekadar dekat—mereka tumbuh bersama, ribut bersama, saling tahu sisi terburuk satu sama lain.
“Aku kira kamu bakal langsung pulang ke Batam,” ujar Rian. “Atau ke Singapura lagi.”
“Rencana awal gitu,” sahut Alif. “Tapi kangen Palu juga. Sama… mereka.” Ia menepuk bahu Ayyan dan melirik ke arah dapur, ke sosok Anna.
Rian mengangguk pelan. “Iya… anak-anak memang selalu nanyain kamu.”
Alif tersenyum, lalu duduk santai di sofa.
“Gimana Bang? Kerjaannya aman?”
“Aman,” jawab Rian cepat. Terlalu cepat. “Seperti biasa. Sibuk.”
Anna meletakkan gelas di meja tanpa menatap Rian. “Minum dulu. Panas.”
“Terima kasih,” ucap Rian, menerima gelas itu. Ada jarak yang jelas—tak ada sentuhan kecil, tak ada tatapan hangat seperti dulu.
Alif menangkap semuanya.
Dalam hati, ia menghela napas.
Bang Rian… kamu nggak sadar ya? Yang berubah bukan cuma Anna. Kamu juga.
Rian meneguk minumnya, lalu kembali membuka suara. “Lif, kamu berapa lama di sini?”
“Belum tahu,” jawab Alif jujur. “Tergantung keadaan.”
Tatapan Rian sedikit mengeras. “Keadaan?”
Alif tersenyum, santai tapi mengandung arti. “Ya… keadaan keluarga. Anak-anak. Anna. Pokoknya semua baik-baik aja.”
Hening sejenak.
Rian bersandar, berusaha tetap tenang. Ia tahu betul—Alif bukan orang sembarangan. Bukan cuma karena kedekatan emosionalnya dengan Anna, tapi juga karena keluarga besar itu.
Keluarga yang selama ini ia anggap sederhana.
Ia lupa satu hal penting:
keluarga Anna bukan keluarga yang ribut di depan, tapi bergerak di belakang.
Almarhum Rusdi Maulana ayah anna—tokoh terpandang.
Dan adiknya, Rusly—anggota Kopassus dari kesatuan elite TNI.
Orang-orang yang tak banyak bicara… tapi sekali bergerak, tak main-main.
Rian tersenyum lagi, kali ini lebih berhati-hati.
“Ya… anggap rumah sendiri aja, Lif.”
Alif mengangguk. “Dari dulu juga gue anggap rumah sendiri, Bang.”
Kalimat itu terdengar ringan.
Tapi di telinga Rian…
itu terdengar seperti peringatan.
semangat thor