NovelToon NovelToon
Belenggu Cinta Kakak Ipar Tampan

Belenggu Cinta Kakak Ipar Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:BTS / Selingkuh / Cinta Terlarang / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Adrina salsabila Alkhadafi

Katanya, cinta tak pernah datang pada waktu yang tepat.
Aku percaya itu — sejak hari pertama aku menyadari bahwa aku jatuh cinta pada suami kakakku sendiri.
Raka bukan tipe pria yang mudah ditebak. Tatapannya tenang, suaranya dalam, tapi ada sesuatu di sana… sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak, meski aku tahu itu berbahaya.
Di rumah yang sama, kami berpura-pura tak saling peduli. Tapi setiap kebetulan kecil terasa seperti takdir yang mempermainkan kami.
Ketika jarak semakin dekat, dan rahasia semakin sulit disembunyikan, aku mulai bertanya-tanya — apakah cinta ini kutukan, atau justru satu-satunya hal yang membuatku hidup?
Karena terkadang, yang paling sulit bukanlah menahan diri…
Tapi menahan perasaan yang seharusnya tidak pernah ada.menahan ahhhh oh yang itu,berdenyut ketika berada didekatnya.rasanya gejolak didada tak terbendung lagi,ingin mencurah segala keinginan dihati.....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11 Membaca Kecurigaan di Matanya

​Aku terbangun setelah hanya tidur selama dua jam. Kepalaku pening, tapi ketegangan semalam membuatku tidak mungkin tertidur lagi. Aku segera mandi, berharap air dingin bisa mematikan semua sensasi dan memori dari ruang tengah.

​Saat aku keluar kamar, suasana rumah terasa sangat sepi.

​Di meja makan, Kak Naira sudah duduk dengan rapi, mengenakan pakaian kerja. Wajahnya terlihat lelah, tapi matanya... matanya sangat tajam pagi ini. Raka belum turun dari lantai atas.

​"Pagi, Lun," sapa Naira. Nada suaranya datar, tanpa kehangatan yang biasa.

​"Pagi, Kak," balasku, berusaha membuat suaraku senormal mungkin. Aku mengambil posisi di kursi yang paling jauh darinya.

​"Kamu kenapa, sih? Semalam katanya haus, tapi mukamu pucat sekali," tegur Naira, meletakkan cangkir kopinya.

​Aku buru-buru menjawab, "Mungkin karena kaget Kakak terbangun. Aku tidak enak hati, takut mengganggu tidur kalian."

​"Bukan itu yang mengganggu," ujar Naira pelan, tapi menusuk. "Aku terkejut melihat kalian berdua berdiri di sana. Berdekatan. Pukul dua belas malam."

​Aku menelan ludah. Ini adalah serangan langsung darinya.

​"Mas Raka cuma panik soal kunci mobil, Kak. Dia cuma minta aku bantu cek sebentar di rak dekat pintu," jelasku, mengulang alibi yang Raka berikan, berharap nada suaraku terdengar jujur.

​Naira menatapku lama, tatapan yang membuatku ingin menghilang. "Ya. Mas Raka bilang begitu. Tapi... kalian berdua jadi sangat aneh sejak kemarin. Kamu tiba-tiba menghabiskan waktu di ruang kerjanya, lalu malam-malam berdiri di ruang tengah. Kalian membicarakan apa, Lun?"

​"Tidak ada, Kak. Sungguh. Kami hanya bicara soal tekanan kerja Mas Raka, dan aku memberinya teh," kataku, kini suaraku terdengar sedikit bergetar karena tekanan.

​Naira menghela napas. "Dengar, Lun. Mas Raka memang sedang stres. Dan aku tahu kamu sayang sama aku. Tapi tolong, jaga jarakmu. Jangan sampai ada kesalahpahaman. Pernikahan ini masih baru."

​Peringatan itu terasa seperti tamparan. Naira tidak menuduh, tapi dia sudah menarik garis merah.

​"Aku mengerti, Kak," jawabku pelan. Perasaan bersalah dan rasa kesal bercampur aduk.

​Tepat saat itu, Raka turun dari tangga. Ia mengenakan setelan jas abu-abu tua, terlihat profesional dan berwibawa.

​"Sudah ramai saja. Aku ketinggalan apa?" tanya Raka, suaranya ceria. Namun, matanya langsung mengirimkan sinyal rahasia kepadaku: Stay calm.

​Dia mencium kening Naira sejenak, lalu duduk di seberangku.

​"Cuma memastikan Aluna tidak begadang lagi, Mas. Aku bilang, lain kali kalau mau bicara, bicaralah di ruang tamu saja, jangan tengah malam," kata Naira, nadanya masih mengandung peringatan.

​"Tentu, Sayang. Maaf sudah membuatmu khawatir," Raka menjawab dengan nada penyesalan yang sempurna. Ia mengambil sepotong roti, lalu tatapannya beralih padaku.

​Kali ini, Raka tidak memuji masakanku. Dia menggunakan metode komunikasi yang lain.

​"Lun, nanti setelah selesai membantu Naira di butik, tolong emailkan aku daftar toko bunga bagus yang kamu tahu di pusat kota, ya? Aku mau belikan bunga untuk Naira sebagai permintaan maaf karena terlalu sibuk."

​Aku terkejut. Email? Ini bukan hal biasa. Dan kenapa tiba-tiba minta maaf dengan bunga?

​"Tentu, Mas," jawabku, memahami. Email adalah cara komunikasi yang Naira tidak akan pernah cek.

​Naira tersenyum, wajahnya tampak senang dengan gesture suaminya. "Oh, Mas Raka! Kamu tidak perlu repot-repot!"

​"Perlu, Sayang. Aku tidak mau kamu khawatir lagi," Raka menjawab, senyumnya kini menyasar Naira, tapi matanya tertuju padaku, mengirimkan pesan lain: Lihat, aku tahu bagaimana memanipulasi situasi.

​Setelah Naira dan Raka berangkat ke kantor (dengan Naira mengantar Raka sampai mobilnya), aku bergegas ke kamar dan menyalakan laptop.

​Aku membuka kotak surat digitalku. Aku tahu apa yang harus kulakukan: membuat alibi yang sempurna.

​Aku membuat draft email dengan subjek: "Rekomendasi Toko Bunga (Permintaan Mas Raka)". Aku mencantumkan tiga nama toko bunga. Lalu, aku mulai mengetik pesanku.

​Aku harus hati-hati. Ini adalah komunikasi rahasia pertama kami yang terstruktur.

​Kepada: Raka

​Subjek: RE: Rekomendasi Toko Bunga (Permintaan Mas Raka)

​Mas, aku sudah masukkan tiga toko bunga yang bagus di sana.

​Soal semalam. Aku minta maaf sudah membuat Mas Raka hampir ketahuan. Aku tidak tahu harus bilang apa.

​(Bagian yang ingin kusampaikan):

​Tapi, Mas. Kenapa Mas Raka bilang aku membuat Mas Raka ingin jadi egois? Aku takut kata-kata itu. Aku tidak mau jadi penyebab masalah kalian. Tolong jangan bilang hal-hal seperti itu lagi. Kak Naira sudah curiga. Aku harus menjaga jarak.

​(Aku ragu. Menjaga jarak? Hatiku menolak itu.)

​(Bagian yang sesungguhnya ingin kubilang):

​Aku tidak tidur semalam. Sentuhan Mas Raka di tangan dan tatapan Mas Raka... aku tidak bisa melupakannya. Aku ingin tahu apa yang akan Mas Raka katakan jika Kak Naira tidak bangun.

​Aku menghapus semua kalimat itu. Terlalu berisiko. Terlalu jujur.

​Aku akhirnya mengetik pesan yang paling aman, tapi tetap mengandung kode:

​Mas, aku tidak akan bertanya soal toko bunga itu lagi kepada Kak Naira. Aku tahu Mas Raka akan membelinya. Aku harap ini bisa meredakan kecurigaannya.

​Tentang hal-hal lain, tolong hati-hati hari ini. Aku... aku tidak ingin ada yang terluka, termasuk Kak Naira.

​[Tambahan Rahasia]: Aku tahu kenapa aku membuat Mas Raka merasa bisa bernapas. Aku rasa aku juga.

​Salam,

​Aluna.

​Aku menekan tombol kirim, jantungku berdebar tak keruan.

​Email itu adalah pengakuan diam-diam. Aku telah mengonfirmasi bahwa aku berada di pihak Raka, di "ruang aman" rahasia kami. Aku telah memilih.

​Aku mematikan laptopku dengan cepat. Aku tahu aku tidak akan mendapat balasan di email. Balasannya akan datang lagi, lewat bisikan, sentuhan, atau pesan tersembunyi. Malam ini.

​Meskipun Kak Naira sudah menarik garis, aku tahu Raka dan aku akan melangkahinya, lagi dan lagi, hingga kami jatuh ke jurang yang sama.

1
kalea rizuky
benci perselingkuhan apapun alesannya sumpah eneg bgg
putri lindung bulan: iya kk, aku juga benci,tapi mau apalagi,nasi sudah jadi bubur
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!