Katanya, cinta tak pernah datang pada waktu yang tepat.
Aku percaya itu — sejak hari pertama aku menyadari bahwa aku jatuh cinta pada suami kakakku sendiri.
Raka bukan tipe pria yang mudah ditebak. Tatapannya tenang, suaranya dalam, tapi ada sesuatu di sana… sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak, meski aku tahu itu berbahaya.
Di rumah yang sama, kami berpura-pura tak saling peduli. Tapi setiap kebetulan kecil terasa seperti takdir yang mempermainkan kami.
Ketika jarak semakin dekat, dan rahasia semakin sulit disembunyikan, aku mulai bertanya-tanya — apakah cinta ini kutukan, atau justru satu-satunya hal yang membuatku hidup?
Karena terkadang, yang paling sulit bukanlah menahan diri…
Tapi menahan perasaan yang seharusnya tidak pernah ada.menahan ahhhh oh yang itu,berdenyut ketika berada didekatnya.rasanya gejolak didada tak terbendung lagi,ingin mencurah segala keinginan dihati.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1,Kenapa Kau Tanya Begitu, Mas?,
Hujan turun deras sejak sore. Udara di luar jendela rumah Kak Naira berembus lembap dan dingin, seolah menyimpan sisa-sisa pertengkaran langit yang belum reda. Aku memeluk jaket tipis, berharap bisa menahan rasa dingin yang entah berasal dari cuaca atau dari dalam dadaku sendiri.
Sudah seminggu aku tinggal di rumah ini.
Kak Naira, kakakku, baru menikah tiga bulan lalu dengan Raka—pria yang dari luar tampak tenang dan sopan, tapi memiliki aura yang sulit ditebak. Ia memiliki tubuh atletis, senyumnya menawan, namun matanya selalu menyimpan jarak.
Aku masih sering kikuk jika berdua dengannya. Mungkin karena dia bukan tipe pria yang banyak bicara, tapi tatapannya... selalu terasa seperti sedang membaca sesuatu yang tidak seharusnya ia temukan.
Sore itu, Kak Naira belum pulang dari butik tempat kerjanya. Rumah terasa sunyi, hanya ada suara hujan menampar atap dan denting halus air yang menetes dari talang.
Aku baru saja selesai menyalakan air panas untuk teh ketika langkah kaki berat terdengar dari ruang kerja.
"Aluna?" Suara itu rendah, agak serak, dan seketika membuat detak jantungku berpacu lebih kencang.
Aku menoleh. Raka berdiri di ambang pintu dapur, mengenakan kemeja abu yang lengannya tergulung hingga siku. Rambutnya sedikit berantakan, dan kacamata yang menggantung di hidungnya menambah kesan dingin. Aku buru-buru memalingkan pandangan, menahan diri agar tidak terlalu lama memperhatikan wajahnya yang cool, hidung mancung, dan... bibirnya yang terkatup rapat.
"Eh... iya, Mas," jawabku cepat, hampir gugup. "Kak Naira belum pulang."
Dia mengangguk pelan. "Aku tahu. Tadi dia chat, katanya macet di pusat kota."
Raka berjalan masuk ke dapur tanpa suara, lalu berhenti di sebelahku.
Bau cologne samar langsung bercampur dengan aroma teh melati yang baru kuseduh. Kehadirannya yang terlalu dekat membuat udara di sekitarku menegang.
Aku menelan ludah pelan. "Mau kubuatkan teh juga, Mas?"
"Kalau tidak merepotkan."
"Tidak, kok. Santai saja."
Aku berusaha terlihat tenang, padahal jantungku berdebar tak karuan.
Setiap kali Raka berbicara dengan nada tenang seperti itu, aku merasa sedang diuji. Ada sesuatu dalam caranya menatap yang bukan sekadar ramah, melainkan ingin menciptakan batas yang sulit untuk kuucapkan.
Dia berdiri di sisi kanan, jaraknya hanya setengah meter.
Aku bisa merasakan hangat tubuhnya di antara hawa dingin hujan yang menyelinap dari celah jendela.
"Kerjaan kantor ya?" tanyaku, mencoba mencairkan suasana.
Raka mengangguk sambil menghela napas. "Iya. Deadline-nya gila. Kalau bukan karena Naira, mungkin aku sudah malas pulang."
Nada suaranya seperti bercanda, tapi ada guratan lelah yang nyata di wajahnya.
Aku menatap sekilas, lalu buru-buru memalingkan pandangan ketika matanya bertemu dengan mataku.
"Masih kerja di ruang itu?"
"Iya. Tapi tadi laptopku tiba-tiba restart sendiri, makanya aku keluar sebentar."
"Oh..." jawabku canggung. "Mungkin kena petir, ya? Tadi hujannya parah banget."
Raka tersenyum tipis. Senyum singkat, namun entah kenapa meninggalkan efek yang panjang di kepalaku.
Dia menatap cangkir teh di tanganku. "Boleh aku minum di ruang kerja?"
"Tentu."
Dia mengangguk, mengambil cangkirnya sendiri. "Kalau kamu tidak sibuk, ikut saja. Aku butuh teman mengobrol sebentar."
Aku terdiam.
Ruangan kerja Raka adalah ruangan yang jarang kumasuki. Aku tahu seharusnya menolak dengan alasan klise, tapi... ada rasa penasaran yang aneh, didorong oleh sebuah keinginan tersembunyi.
"Boleh," jawabku akhirnya.
Kata itu terasa seperti awal dari sebuah keputusan yang tak bisa aku tarik kembali.
Ruang kerja Raka beraroma campuran kopi hitam dan kertas.
Aku duduk di kursi kecil di sebelah meja, sementara dia duduk di seberang. Suara hujan di luar terdengar lebih samar di sini.
"Enak juga teh buatanmu," katanya setelah meneguk sedikit.
Aku tersenyum, menunduk. "Cuma teh melati biasa kok, Mas."
"Biasa, tapi wanginya beda."
Aku tak menjawab.
Senyumnya samar, tapi matanya... menatapku lama. Tatapan yang menelisik, yang seharusnya tidak dilakukan seorang ipar kepada iparnya.
Aku berpura-pura sibuk memperhatikan hujan di balik jendela kaca buram.
"Mas Raka," kataku pelan, "boleh aku tanya sesuatu?"
"Boleh," jawabnya cepat.
"Kamu sama Kak Naira... bahagia, kan?"
Pertanyaan itu keluar begitu saja, tanpa kupikirkan. Dan setelahnya, aku menyesalinya.
Raka menatapku. Tatapannya berubah—tidak lagi tenang, tapi ada sesuatu yang gelap di baliknya. "Kenapa kamu bertanya begitu?"
Aku mengangkat bahu. "Tidak tahu. Cuma penasaran saja. Soalnya Kak Naira akhir-akhir ini sering pulang malam. Aku pikir... kalian lagi ada masalah."
Raka terdiam. Pikirannya entah ke mana.
Lalu dia bicara pelan, seperti takut ucapannya didengar hujan di luar.
"Tidak semua orang bahagia, bahkan setelah menikah, Aluna."
Aku menatapnya, tidak tahu harus menjawab apa. Nada suaranya terlalu jujur, terlalu... menyentuh sesuatu dalam diriku yang seharusnya tidak ikut merasakan.
Kami diam cukup lama. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar.
Perasaan itu tumbuh—halus, samar, tapi nyata. Perasaan aneh ketika seseorang yang seharusnya terasa jauh, justru terasa paling dekat di saat yang salah.
Malam datang perlahan, seperti selimut tipis. Udara masih lembap, aroma tanah basah menembus jendela yang sedikit terbuka.
Raka menutup laptopnya dengan perlahan.
"Kamu sering merasa sendirian, Aluna?" tanyanya tiba-tiba.
Pertanyaannya membuatku terkejut. "Sendirian? Kenapa nanya begitu, Mas?"
Dia bersandar di kursinya, menatap langit-langit. "Cuma kepikiran. Kamu kelihatan kuat, tapi... matamu tidak pernah benar-benar tenang."
Aku terdiam. Kalimat itu rasanya seperti disentuh di tempat yang paling rapuh.
"Kadang aku iri," lanjutnya. "Kamu masih bisa tertawa seolah semuanya baik-baik saja. Aku sendiri kadang berpura-pura bahagia, padahal tidak tahu caranya lagi."
Aku menunduk, menatap jemariku yang gemetar pelan.
"Mas Raka..."
"Hm?"
"Kamu bicara begitu membuatku bingung. Aku tidak tahu harus menjawab apa."
Dia menatapku lama. Bukan seperti orang yang mencari jawaban, tapi seperti seseorang yang akhirnya menemukan seseorang yang mengerti. Pandangan itu membuat dadaku terasa sesak.
Aku memaksakan senyum. "Kak Naira pasti sayang banget sama kamu. Dia sering cerita kok, katanya kamu orangnya tenang dan sabar."
Raka tersenyum miris. "Sabar itu bukan berarti tidak merasa apa-apa, Aluna."
Kata-kata itu menggantung di udara.
Aku berdiri pelan, mencoba mengakhiri percakapan yang mulai membuatku kehilangan arah.
"Mungkin aku balik ke kamar saja ya, Mas. Takut Kak Naira marah kalau tahu aku mengganggu kerjaanmu."
Raka ikut berdiri, tapi nadanya lembut. "Kamu tidak mengganggu. Malah... aku senang kamu ada di sini."
Aku menelan ludah. Jantungku berdetak lebih cepat. Aku ingin lari, tapi di saat yang sama, aku juga tak ingin pergi.
Dia berjalan mendekat, hanya satu langkah. Jarak kami kini begitu intim.
"Maaf," katanya lirih. "Aku cuma... capek. Kadang terlalu mudah berbicara pada orang yang kelihatannya mau mendengar."
"Tidak apa-apa, Mas. Aku mengerti."
Hening lagi. Kali ini berbeda.
"Mas Raka, jangan bicara seperti itu. Aku takut salah paham."
Dia menatapku lagi, dan sorot matanya terlihat begitu jujur, tapi berbahaya.
"Kalau kamu takut, artinya kamu sadar, kan?"
Aku terdiam. Waktu terasa berhenti. Rasanya seperti berdiri di tepi jurang—tahu bahwa sekali melangkah, segalanya akan berubah.
Dan lalu, suara pintu depan terbuka.
Aku langsung menjauh satu langkah. Suara tawa Kak Naira terdengar dari ruang tamu. Suara yang tiba-tiba memecahkan dunia kecil kami yang terlalu sunyi.
"Kayaknya Kak Naira sudah pulang," kataku cepat. "Aku ke depan dulu ya, Mas. Takutnya dia salah paham."
Raka tidak menjawab. Hanya menatapku—dalam, lama—seolah mencoba menghafal wajahku dalam diam.
Baru setelah aku berbalik dan hendak keluar, suaranya terdengar pelan dari belakang.
"Terima kasih, Aluna... sudah mau mendengarkan. Kuharap, omongan kita akan berlanjut ke hal-hal yang lebih pribadi."
Aku tidak menoleh. Aku tahu, kalau aku menoleh, aku mungkin tak akan sanggup menatapnya dengan cara yang sama lagi.
Malam itu aku berbaring di tempat tidur, tapi mataku tak kunjung terpejam.
Aku menggenggam ujung selimut erat-erat.
Aku tahu ini salah. Apa pun yang aku rasakan sekarang seharusnya tidak ada. Tapi semakin aku mencoba melupakannya, semakin jelas wajah Raka di pikiranku.
Dan di antara gelap dan sunyi malam itu, satu hal terlintas di benakku—
Mungkin inilah awal dari sesuatu yang tak seharusnya, sebuah hubungan terlarang yang tak bisa ku kendalikan. Karena aku tahu, diam-diam, aku menginginkan apa yang seharusnya menjadi milik Kakakku.