"Jadi, selama ini anak itu masih hidup?" Suara dingin milik pria paruh baya yang duduk di balik meja mahoni itu sukses membuat orang yang berada di ruangan itu membeku.
"Y-ya, Sir, kami baru mengetahuinya akhir-akhir ini." Pria dengan tubuh gempal itu tergagap menjawab pertanyaan tuannya yang masih tampak santai.
Perlahan pria itu berdiri dari kursi kulit hitamnya dan berjalan menuju jendela kantornya yang menyuguhkan pemandangan kota London dengan kemegahan gedung-gedung khas Eropa yang bersejarah.
"Bukankah seharusnya dia mati dalam kecelakaan itu!" Suaranya mulai bergetar sarat akan amarah yang ditahannya, pandangannya kini beralih dari pemandangan kota London ke arah pria gempal yang berdiri mematung di tengah ruangan.
"Ya, Sir." Wajah pria gempal itu pucat pasi mendengar suara Tuannya yang penuh amarah.
"Jadi, bagaimana mungkin dia masih hidup?!" Teriakan membahana pria itu diikuti oleh suara pecahan gelas yang dia lempar tepat mengenai kepala pria gempal, perlahan darah mengalir dari pelipis kanannya, dengan tangan gemetar dia mengelap darah dari pipinya yang sepucat mayat, wajahnya tampak meringis menahan sakit yang dirasakan.
Pria paruh baya itu kembali duduk, tanganya terlihat memijit pelipis kepalanya, matanya terpejam, sedangkan mukanya tampak merah padam menahan emosi.
"Jadi selama ini dia tinggal di Amerika?" Masih dengan mata yang terpejam pria paruh baya itu kembali bertanya.
"Ya, Sir." Pria gempal itu menjawab dengan suara yang nyaris berupa bisikan.
"Dan dia memiliki kunci untuk membuka berangkas sialan itu?" Suaranya kembali tinggi dan membuat pria gempal itu mundur satu langkah.
"Sepertinya, Kakak anda sudah menyiapkan hal ini sejak lama."
Penjelasan anak buahnya itu sukses menyulut kembali amarahnya yang belum mereda.
"Sialan!" Teriaknya sambil menggebrak meja kerjanya dengan sangat kencang, "Bagaimana mungkin tua bangka itu melakukan ini padaku?" suaranya menggeram, menandakan amarahnya yang memuncak, "Setelah dia menganggapku sebagai ****** pemburunya, dia bahkan memberikan semua warisannya kepada kakakku yang bahkan tidak pernah menggapnya ada!"
Pria itu berteriak, tangannya melemparkan semua barang yang ada di atas meja, kemudian dia menyandarkan badannya kembali ke dalam sandaran kursi, dadanya terlihat naik turun, hidungnya kembang kempis, giginya gemeretak serta napasnya terengah-engah karena emosi.
Pria gempal itu kembali memundurkan langkahnya setelah melihat amarah Tuannya yang memuncak. Hening untuk beberapa saat yang membuat suasana ruangan itu tambah mencekam.
"Apa kau sudah mendapatkan kabar dari Rumah Sakit?" Pria paruh baya itu kembali bersuara.
"Ya, Sir, kondisinya saat ini masih sama," pria gempal itu memberikan laporan mengenai kakak pria itu yang tengah berada di rumah sakit, yang setidaknya membuat tuannya itu sedikit tenang.
"Sir," pria gempal itu tampak ragu-ragu sebelum memberikan laporan lanjutan, "Herry menghubungiku kalau gadis itu telah menghilang dari asrama kemarin malam, dan sampai saat ini kami belum mengetahui keberadaannya."
Seperti yang telah dia perkirakan kalau Tuannya itu akan kembali murka, dia berteriak seperti manusia gua sambil mengacak-acak rambutnya, sebelum akhirnya dia duduk dengan kepala di atas kedua tangannya yang bertumpu di atas meja. Setelah menarik nafas beberapa kali, pria paruh baya itu mencoba menenangkan amarahnya.
"Hubungi Hunter, suruh dia membereskan kekacauan semua ini, tanpa ada kesalahan sedikitpun, aku mau semuanya terlihat rapi. Jangan sampai gagal atau kau akan menyesal, apa kau mengerti?" Perintah yang sarat akan ancaman itu di jawab anggukan semangat oleh pria gempal tadi, yang kemudian dengan secepat kilat berupaya keluar dari ruangan itu.
*****
Apartemen itu tampak sederhana, hanya terdiri dari dua kamar tidur, satu ruang keluarga yang merangkap ruang tamu serta dapur sederhana di pojok kanan ruangan, tapi apartemen itu menjadi tempat favorit bagi kakak beradik Winchester dan para sahabat mereka. Seperti saat ini, di ruangan yang hanya berisi satu set sofa dimana duduk dengan santainya Dylan dan Theo yang tengah menonton pertadingan football di televisi layar datar milik Emily, beberapa kaleng soda, dua dus pizza ukuran sedang dan beberapa bungkus makanan ringan berserakan di atas karpet bergambar tokoh kartun Wini the pooh milik Alexa, sedangkan mejanya telah dipindahkan Dylan ke sudut ruangan.
Ya seperti biasanya, setiap malam minggu apartemen itu selalu ramai dengan kedatangan Daniel, kakak Emily yang tentu saja selalu datang bersama kedua sahabatnya Alex sang detektif dan Gerard sang IT, dan tidak ketinggalan kedua sahabat sikembar Theo dan Dylan, yang salah satu dari mereka sukses membuat Emily uring-uringan selama beberapa hari ini karena kejadian di The Rock yang membuat jantungnya terasa jungkir balik.
Emily berjalan menuju pintu ketika terdengar suara ketukan di pintu apartemennya, dan tentu saja seperti sudah diprediksi, di depan apartemennya kini berdiri tiga pria dengan senyum menggoda menghiasi wajah mereka, Daniel kakak Emily dengan rambut dan matanya yang sekelam malam menatapnya dengan penuh kasih sayang, kemudian mencium pipi adik kesayangannya itu sebelum masuk kedalam apartemen, di susul dengan Alex yang selalu tampak sempurna dengan mata biru yang tajam serta rambut coklatnya yang berantakan menambah kesan seksi pada dirinya.
"Tidak ada ciuman persahatan untukku?" Tanya Alex dengan senyum menggoda dan sorot mata jahil miliknya, yang di jawab Emily dengan pelototan dan sukses membuat Alex tertawa kemudian pergi memasuki apartemen untuk bergabung dengan yang lainnya.
"Aku membawa makanan China," suara lembut milik Gerard sambil melambaikan dua plastik besar yang mengeluarkan aroma sedap didalamnya.
"Oh, Gerard kau selalu menjadi favoritku," ucap Emily sambil mengambil plastik dari tangan pria berkacamata itu.
Gerard seperti halnya kedua sahabatnya dia juga memiliki daya tarik yang luar biasa terhadap kaum hawa. Dengan tinggi 185, rambut coklat kemerahan, serta mata birunya yang terbingkai cantik oleh kacamata minus yang memberikan kesan pintar dalam penampilannya.
Gerard tersenyum dan memperlihatkan lesung pipitnya mendengarkan pujian Emily, sebelum akhirnya masuk ke dalam apartemen dimana terdapat empat pria yang tengah asik duduk di depan televisi, dengan kaleng soda di tangan masing-masing.
"Em, apa kau mendapat kabar dari Lexa?" Daniel bertanya dari seberang ruangan.
"Ya, dia sedang sibuk mempersiapkan fashion show-nya akhir bulan ini," jawab Emily dari dapur sambil mempersiapkan makanan China yang tadi di bawa Gerard.
"Paris, mode dan para model cantik, andai aku bisa berlibur kesana." Alex meminum sodanya sambil membayangkan berada di antara model dunia di kota Paris.
"Ya, dia sangat beruntung bisa meniti karir sebagai designer di sana," lanjut Gerard sambil memakan pizzanya.
"Seharusnya dia mengenalkan kita pada salah satu modelnya itu," ucap Theo yang mendapat gumaman setuju dari semuanya.
"Ya, minimal dia beruntung bisa kencan dengan salah satu model pria di sana tanpa harus berhadapan dengan kalian berlima," perkataan Emily itu sukses membuat semua mata menatap kepadanya.
"Apa?" Tanya Emily sambil mengangkat kedua tangannya.
"Ayolah, Em, kau harus menceritakan kepada kami. Apa Lexa berkencan?" Wajah Daniel tampak serius, ingin rasanya Emily memukul kelima kepala pria itu yang terlalu suka ikut campur urusan mereka berdua.
"Ayolah, kami sudah dewasa ok! Jadi tidak ada salahnya kalau salah satu dari kami pergi berkencan," perkataan Emily itu hanya di sambut oleh tatapan dingin dan menuntut jawaban dari semuanya yang membuat Emily menggeram karena kesal.
"Tidak! Jawabannya Alexa yang malang yang walaupun sudah jauh dari kelima pria bodoh yang selalu ikut campur dalam hidupnya adalah tidak, dia tidak sedang berkencan, ok! Puas?" Perkataan Emily yang menggebu-gebu itu hanya ditanggapi oleh anggukan puas dari kelimanya dan merekapun kembali ke aktifitas masing-masing.
Dengan kesal Emily berjalan memasuki kamarnya dan mengambil jaketnya lalu berjalan menuju arah pintu ketika terdengar teriakan Dylan, "Kau mau pergi kemana, Em?" Emily menghentikan gerakannya ketika hendak membuka pintu.
"Aku rasa aku perlu kafein yang banyak saat ini, aku akan ke kedai kopi dan menghabiskan bergalon-galon kopi."
"Em, bisa kau belikan aku Americano?"
Permintaan Daniel itu sukses membuat yang lainnya ikut meneriakan pesanan masing-masing, dan Emily hanya bisa memutar bola matanya tidak percaya dengan apa yang tengah terjadi, apa para pria selalu sebodoh ini? Apa mereka tidak tahu kalau dia sedang kesal? Emily hanya bisa mengumpat dalam hati.
"Aku akan mengantarmu," Dylan sudah berjalan mendahuluinya keluar dari apartemen dan Emily hanya bisa menggelengkan kepala melihat Dylan yang sudah berdiri di depan lift tengah menunggunya.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
sakura🇵🇸
lagi pengen sendiri biar g direcokin malah yg satu tetep ngintil kemanapun🙊🙉🙈 dah kek jin korin aja
2024-02-14
1
✨Susanti✨
nexttt
2023-03-19
0
❤ yüñdâ ❤
seruuu
2022-01-17
1