“VINO!” teriakan Tami membuat dua orang yang dalam posisi sangat menjijikan itu tersentak kaget.
“Apaan?” pertanyaan dengan nada tenang membuat Tami ingin membunuhnya saat ini juga, apa Vino tidak lihat
tempat? Kalau mau berbuat hal-hal mesum jangan ditempat umum seperti saat ini, dia adalah seorang publik figur. Banyak orang yang ingin mengetahui apa saja yang dilakukan artis itu, terlebih lagi wartawan.
“Lo! Kalau mau ngelakuin hal mesum jangan di depan umum dong, lo gak mikir gimana nantinya gue?” Tami sudah berdiri di depan Vino dengan seorang wanita yang tadi duduk di pangkuan Vino yang menatapnya sinis.
“Aghata, lo pergi!” perintah Vino dengan suara beratnya, terbesit nada marah di dalamnya.
“Memangnya lo kenapa?” tanya Vino melangkah maju mendekati Tami yang perlahan mundur.
“Huh—lo gak bisa apa buat gue tenang sehari aja, gue ngurusin jadwal lo aja sudah mau setres. Gimana nanti kalau ada skandal tentang kejadian tadi? Gue gak mau pekerjaan gue nambah. Tapi, kalau lo mau pecat gue sekarang gue dengan senang hati menerimanya. Lo bisa cari manajer lain yang gak pernah marah-marah ke lo kayak gue dan gue bisa kembali hidup senang. Lo boleh ngelakuin semua hal yang lo sukai, asalkan jangan libatin gue. Lo mau pacaran, buat hal-hal mesum, mau terjun ke jurang pun itu bukan urusan gue lagi. Lo bisa puas-puasin diri lo sama si cewek tadi, sekarang lo bisa pecat gue!” penuturan panjang lebar dari Tami membuat Vino menghembuskan nafasnya.
“Ternyata selain barbar, lo juga cerewet ya. Kuping gue panas dengerin celotehan lo,” celetuk Vino membuat Tami melotot.
“Gue gak akan pecat lo! Gue sudah janji sama Bunda lo, jadi gue terpaksa pertahanin cewek barbar kayak lo,” lanjut Vino membuat Tami mengerutkan keningnya.
“Janji apa?”
“Janji, buat anaknya yang cerewet ini punya pekerjaan. Biar gak jadi pengangguran dan gak nyusahin orang tuanya
terus. Lagian sebagai anak baik, ya gue harus turuti apalagi Bunda lo fans berat gue. Gue kan sayang sama fans-fans gue, gue gak mau buat mereka kecewa termasuk Bunda lo. Dia sudah sekolahin lo sampai sarjana, tapi masih aja minta duit sama orang tua,” pernyataan dari Vino membuat Tami terdiam.
“Apakah gue selalu buat mereka susah, gue juga gak mau jadi pengangguran. Tapi, mau gimana lagi,” gumam Tami
lirih dan air mata membasahi pipinya, Vino tersentak kaget saat melihat Tami menangis. Apakah dia bicara terlalu kasar dan menyakitinya? Pikir Vino.
“Tam—gue—” ucapan Vino terhenti saat melihat senyuman manis Tami terukir di wajah manisnya, Vino sampai terpukau dengan senyuman tulus itu.
“Terimakasih, sudah buat gue sadar. Gue janji akan jadi manajer yang baik buat lo,” ucap Tami seraya membersihkan sisa air matanya dengan kaos Vino. Vino membiarkannya, karena cuma air mata, bukan—“Lo bisa gak sih bersihin ingus jangan di baju gue!” Vino menatap jijik kaosnya yang baru saja di jadikan lap untuk membersihkan ingus dari Tami. Baru saja dia terpukau dengan senyuman manis milik Tami, tapi setelah melihat kelakuan setelahnya Vino menarik semua kata-katanya.
***
Setelah selesai dengan semua pekerjaan dan jadwal-jadwal padatnya hari ini, Vino sedang berbaik hati mengajak Tami untuk pergi makan malam bersama. Bukan apa-apa, dia hanya memberika sedikit apresiasi atas perubahan sikap Tami. Dia tidak perlu menguras tenaganya untuk adu bacot dengan Tami, dia bersyukur Tami dapat menepati janjinya.
“Nah, sebagai tanda ketentraman dalam hidup gue. Lo bias pesan semua yang lo mau! Gue yang bayar,” suruh Vino dengan mengeluar sebuah kartu kredit berwarna hitam.
“Wah, ternyata lo baik juga ya,” puji Tami membuat Vino mendengus, Tami pikir selama ini Vino tidak baik? Semua orang pada tahu sebagaimana baiknya Vino selama hidupnya.
“Makasih,” desis Vino setengah ngegas.
“Biasa aja dong, gak usah pakai ngegas,” sindir Tami setelah selesai memilih menu paling mahal ditempat ini, oh jangan lupa. Tami juga membungkuskannya untuk kedua orang tuanya di rumah, beserta pembantu, tukang kebun dan satpam di rumahnya.
“Gak sekalian bungkus buat se RT?” Tanya Vino menatap Tami tajam, bisa bangkrut dirinya kalau Tami bungkus sebanyak itu. Ingatkan Vino untuk tidak pernah lagi mengajak atau mentraktir Tami di restoran mahal. Seharusnya dia mengajak Tami ke pinggir jalan saja, kalau jadinya seperti ini.
“Kenapa? Gak ikhlas? Katanya orang baik,” sindir Tami setengah dengan nada mengejek, membuat Vino mengepalkan tangannya dan menghembuskan nafas panjang.
“Fine!” tegas Vino membuat Tami mengendikkan bahunya dan menikmati makanan yang sudah datang.
“Lo gak mau pesan sesuatu?” Tanya Tami saat melihat Vino hanya memesan minuman saja.
“Sudah kenyang lihat pesanan lo!” ketus Vino membuat Tami tidak merasa bersalah, malah dia makan dengan senyuman manis diwajahnya melihat wajah masam Vino.
***
Tami sampai di rumahnya tepat pukul sebelas malam, tubuhnya sangat lelah dan dia butuh istirahat untuk mengembalikan tenaganya yang sudah terkuras habis oleh semua jadwal tidak manusiawi milik Vino. Dia menyimpan makanan yang di bungkusnya di lemari es, karena orang rumah sudah terlelap semuanya, kecuali satpam yang masih segar bugar melihat sebuah drama pintu taubat di televisi di posnya, Tami segera memberikan makanan itu yang masih panas. Besok dia akan bilang ke Bundanya tentang makanan itu, dia sekarang sangat lelah. Untung saja, besok Tami libur. Jadwal Vino sudah selesai dan akan dilanjutkan tiga hari lagi. Jadi, Tami bisa menikmati waktu liburnya dengan rebahan dan menonton deretan film yang dia minta dari sahabatnya Shinta tadi siang.
“Haah—segarnya,” desah Tami setelah keluar dari kamar mandi dan tubuhnya sedikit lebih fresh dari sebelumnya.
“Alarm sudah gue non-aktifkan biar tidur gue gak ke ganggu dan lebih lama dari biasanya, ponsel sudah mode pessawat biar gak ada yang ganggu atau ngajak keluar. Kasur sudah memanggil untuk dipeluk,” monolog Tami menatap dirinya di pantulan cermin, setelah menaruh handuk Tami merangkak menaiki kasurnya yang sangat menggoda itu.
“Malam Patrick,” sapa Tami kepada boneka kesayangannya sebelum terlelap.
Tami merasa baru saja dia menutup kedua matanya yang masih terasa berat itu terganggu dengan omelan sang Bunda tepat disamping kasurnya, suara sang Bunda sudah seperti lagu pengantar tidur yang sangat merdu sehingga membuat Tami semakin terlelap. Tami hanya menggeliat saat tubuhnya di guncang dan kembali terlelap sebelum telinganya ditarik begitu saja oleh sang ibunda tercinta. Tami meringis merasa telinga cantiknya ingin putus dari tempatnya. Dia melihat sang Bunda sudah melipat kedua tangannya didepan dada dan menggelengkan kepalanya menatap anak semata wayangnya ini.
“Aw—bunda,” rengek Tami menatap Bundanya dengan wajah memelas dan bibir manyunnya, berharap sang Bunda paham dan mengijinkannya untuk kembali melanjutkan mimpinya yang bertemu dengan pangeran tampan dengan hidung mancung seperti prosotan di taman bermain kompleknya. Tunggu—sepertinya Tami tidak asing dengan wajah sang pangeran yang tidak lain dan bukan adalah artis pujaan sang Bunda. Astaga, kenapa dia bisa memimpikan orang itu? Padahal hari ini dia libur dan tidak akan bertemu dengan Vino.
“Apa?” teriak sang Bunda membuat Tami terdiam, kenapa Bundanya begitu marah? Tami merasa tidak melakukan kesalahan dan biasanya sang Bunda paham kalau Tami tidak menggunakan alarm, berarti dirinya memang butuh istirahat yang cukup agar tidak jatuh sakit.
“Bunda aku masih ngantuk dan lelah,” rengek Tami dengan menggesekkan wajahnya diperut sang bunda, seperti anak kecil yang sedang merajuk untuk dibelikan sesuatu.
“Nanti kamu bisa terusin tidurnya, sekarang waktunya bangun!” perintah sang Bunda membuat bibir Tami semakin maju dan menarik-narik daster yang di gunakan Bundanya.
"Kamu ini masih aja kayak anak kecil, gak malu sama umur? Sudah sana cepat mandi dan beres-beres, satu jam lagi pesawatnya berangkat,” kata sang Bunda membuat Tami bingung, pesawat apa? Perasaan dia tidak memesan tiket atau mau liburan. Kenapa pesawatnya berangkat?
“Ayah mau ke luar kota?” Tanya Tami membuat Bundanya menatap dirinya heran.
“Bukan.”
“Terus?” Tanya Tami lagi.
“Ya—kamu lah, kamu ke Paris selama dua minggu kan?”
“Ke Paris? Enggak kok, kata siapa? Memangnya buat apa kesana? Aku dapat undian? Tapi kok aku gak tahu?” bingung Tami membuat Bundanya gemas dan menampar pelan pipinya.
“Suruh siapa ponsel lo di non-aktifin.” Suara fimilier itu membuat Tami menoleh ke sumber suara dan menangkap sesosok orang yang berdiri tegap dan tersenyum sok manis menatap Tami. Sejak kapan orang itu ada di sini? Sial! Umpat Tami. Tami menatap orang itu dengan horor dan menghirup udara sebanyak-banyaknya, sebelum—
“Lo ngapain disini?” pekik Tami begitu menggelegar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Tita Rosita
visual nya donk thor
2021-03-09
1
Hetty Hea-Chonk Herawati
kocaakk
2020-06-03
0
noname
🖤🖤🖤🖤🖤
2020-05-23
1