Bab 2: MIPA 1

"Gue rasa anak-anak di sini pinter-pinter, deh," ucap Yuli sambil berbisik. Sekarang kami sudah berpindah ke kelas tetap. Kelas X MIPA 1. Seperti yang Yuli tulis, kami sekelas.

Masalah yang sedang aku dan Yuli hadapi adalah fakta jika murid kelas ini pintar-pintar. Dari wajah mereka saja sudah memancarkan aura kepintaran. "Gue rasa juga gitu. Kayaknya kita salah masuk kelas."

Yuli menggaruk pipinya yang mungkin gatal. Wajahnya terlihat lucu jika berbicara bisik-bisik seperti ini. "Tapi tadi gue udah lihat 15 kali dan nama kita berdua memang ada di absen kelas ini, Ti. Masa mata gue bermasalah?"

"Gue rasa enggak. Otak kita yang salah bergaul di sini."

"Emangnya kemarin lo jawab soal tes pakai mikir?" tanya Yuli dan aku menggeleng. Soal tes kemarin? Aku menjawabnya pakai intuisi. "Nyesel gue nyamain jawaban sama lo."

"Mangkannya mikir."

"Lo aja nggak mikir."

Aku terkekeh, lalu seorang wanita berjilbab masuk. Singkat cerita dia membuka dengan perkenalan. Nama beliau Anik, guru bahasa Indonesia sekaligus wali kelas X MIPA 1. Beliau menunjuk 2 orang siswa untuk menjadi kandidat ketua kelas. "Sekarang yang memilih Herman menjadi ketua kelas silahkan angkat tangan."

Beberapa anak sudah mengangkat tangan mereka. Jujur aku tidak tahu harus memilih siapa antara Herman dan Mulia. Namun dari apa yang kulihat, Herman lebih cocok menjadi ketua kelas. "20 suara, berarti ketua kelas kalian adalah Herman."

~•~

"Kalian berdua segugus?" Aku dan Yuli mengangguk. "Wah sama, kita bertiga juga segugus. Seneng punya teman banyak kayak gini."

Aku tertawa lalu meminum es tehku. Ternyata pemikiranku tentang teman-teman baru di kelas salah. Kalau pintar, aku rasa iya karena kami MIPA 1, kelas yang katanya paling unggul. Namun, kukira mereka adalah anak-anak ambis yang tiap hari berkutat dengan buku. Nyatanya, baru hari ini saja aku sudah dibuat ketawa oleh kaum adam dikelasku. Bagaimana aku tidak ketawa. Bukannya mengerjakan tugas yang disuruh oleh guru mata pelajaran PPKN, mereka malah bermain bekel milik Anye di kelas bagian belakang. Yang buat lucu saat Aji berkata, "duh, biasanya gue kalau main bekel pakai bola basket."

"Nah gue, main bekel bukan bolanya yang gue lempar, tapi bijinya."

"Gue tiap hari mainnya engkle sama tetangga sebelah."

Itu hanya sebagian lelucon yang telah mereka buat untuk membuat suasana kelas makin akrab. Aku tidak bayangkan jika 3 tahun bersama mereka. Mungkin ususku akan keluar karena tidak kuat menahan tawa.

"Nanti kalian kalau kelas 12, rencananya mau ambil peminatan apa?" tanya Dita, anak paling kalem, lugu, dan sepertinya kutu buku.

"Yaampun, Dit. Baru aja hari pertama pelajaran, lo udah tanya gitu ke kita. Gue aja rasanya pingin pindah jurusan ke bahasa," jawab Anye, anak paling kocak ke-2 setelah Yuli.

"Udah enak di Ipa, Nye. Ntar kalau lo masuk jurusan bahasa, lo bakal ketemu sama tulisan-tulisan jepang. Kan, lo bilang kalau mata lo bakal buram tiap kali lihat tulisan itu," celetuk Jihan, anak paling cantik yang ada di kelas X MIPA 1. Jihan dan Anye sedikit mirip, sebelas duabelas-lah. Cuma yang membedakan mereka adalah rambut mereka. Jika rambutnya lurus terurai panjang itu berarti Jihan. Tapi jika rambutnya sebahu dan sedikit curly itu berarti Anye. Kadang aku saja masih salah membedakan mereka ber-2.

"Udah-udah, mending sekarang kalian lihat whatsapp. Buka deh, udah gue buatin grup buat kita ber-5," ucap Yuli membuat kami semua segera mengecek hp. Benar saja. Aku ditambahkan pada sebuah grup bernama JYDAT. Keningku berkerut. Namanya aneh sekali. "Ini kenapa nama grupnya jydat pake y?" tanyaku.

"Iya. Nggak kreatif namanya," tambah Anye.

Yuli tertawa membuatku dan lainnya bingung. "Yang sellow, tenang. Jadi guys 'JYDAT' itu kumpulan dari nama depan kita berlima. J untuk..."

"Jihan."

"Yuli."

"Dita."

"Anye."

"Tia."

Kami ber-5 tertawa mengetahui huruf depan nama kami jika digabung membentuk suatu kata yang mungkin aneh bagi orang lain. Tapi menurut kamu, itu nama yang lucu.

~•~

2 minggu sudah aku berada di kelas baru ini. Kelas yang membuatku hidupku lebih berwarna. Di sini, kami tidak memandang fisik, harta, dan kekurangan lainnya. Kami jadi satu walau pastinya kami punya teman yang lebih dekat di kelas ini.

Setiap hari, selalu ada saja kekonyolan dari mereka yang entah kenapa pasti membuat seisi kelas tertawa. Walau hanya dengan wajah Aji yang memang lawak. Atau hanya dengan ucapan garing ketua kelas.

Dibalik kekonyolan dan kerecehan yang mereka tunjukkan, mereka termasuk pintar. Dengan wajah ola-olo saat diberi pertanyaan oleh Bu Lila, guru mata pelajaran Biologi, Aji mendapat tepuk tangan dari seisi kelas karena jawaban asalnya yang ternyata benar.

Kami makin dekat sejak bermain bekel milik Anye di kelas bagian belakang. Lalu di sampingnya beberapa cowok sedang berkutat dengan hp miring dan tak lupa kata-kata mutiara yang keluar jika mereka kalah. Tidak ada buku yang terbuka saat jam kosong. Bahkan tidak ada yang duduk di bangku masing-masing. Semuanya sibuk main bekel, push rank, dan siswi lain yang main tiktok di dekat meja guru.

"Udahlah, gue push rank aja. Besok kalau pake bola basket, gue ikut," ucap Aji kesal karena sedari tadi tidak bisa bermain bola bekel. Cowok itu pun bergabung dengan tim hp miring.

"Habis ini pelajaran apa?" tanya Jihan sambil memainkan bola bekel.

"Ekonomi," jawab Dita yang tak sabar menunggu gilirannya bermain.

"Solob kuy."

Kami berempat menoleh pada Yuli yang mengajak untuk solob. Jujur selama sekolah 11 tahun, aku tidak pernah bolos jam pelajaran. Namun sepertinya akan hambar jika masa sekolahku tidak ada kata solob.

"Gue sih ngikut," ucap Jihan dan Anye barengan.

"Lo?" tanya Yuli sambil menyikut lenganku.

Sedikit ragu untuk menjawab 'ya'. Aku masih takut jika ketahuan oleh guru. Lalu Mama dan Papa tahu, bisa mati aku. Tapi kapan lagi aku jadi anak nakal jika bukan sekarang.

"Bolehlah, buat permulaan."

"Sip," ucap Yuli sambil memberikan 1 jempol kepadaku, "lo ikut kan, Dit?"

Dita yang baru saja mendapat giliran bermain bekel, terpaksa menghentikannya. Mukanya sedikit memancarkan ragu sepertiku. Aku rasa dia akan menolak. Secara Dita adalah anak yang paling alim, lugu, dan pendiem. Dia tidak banyak bicara. Namun sekalinya bicara yang dia bahas adalah pelajaran favoritnya, biologi. Untung saja aku bukan teman sebangkunya.

"Ayo, Dit. Sekali aja. Ntar kalau hari ini ketahuan guru, yah besok-besok kita coba lagi," ucap Yuli dengan wajah merayunya. "Ntar kalau ketahuan gue bakal kasih kode buat lari. Lo lari didepan gue deh. Gimana? Mau kan? Please?"

Beberapa menit hening. Kami sudah menanti jawaban Dita yang sepertinya 'tidak'. Anak itu terlihat lucu jika menimbang-nimbang pilihan.

"Oke deh, gue ikut."

~•~

Terpopuler

Comments

Titik Widiawati

Titik Widiawati

bolos kok berjamaahbpst ketahuan lah....
jd inget waktu kuliah dari.7 cwe yg 6 bolos termasuk aq... tp d absen ad yg ttd... ketauahnlah sma dosen trs didiemin jd ngerasa bersalah sma pak dosen

2020-05-17

1

fauzahs

fauzahs

parah si malah ngebolos

2020-05-05

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!