Obrolan berlanjut di warung teteh
Warung terlihat tak terlalu ramai, deretan kudapan menggugah selera berjajar di atas meja, mata gue tertuju pada lontong dan bala-bala, favorit banget pokoknya mah, mau sarapan atau makan siang bisa masuk ke perut gue.
Selesai memotong lontong dan bala-bala plus sambal kacanng gue menuang segelas air teh hangat, dan menghampiri ketiga sohib gue yang duduk di kursi belakang warung.
"Eh cuy, baru nongol loe." sapa Raya yang sudah menghabiskan hampir setengah mie instan nya.
"Curut...!" Panggil Cacing sambil menjentikan jarinya
"Ri, udah selesai loe nyatetnya?" Tanya Aini.
"Udah cuy."
"Yaudah, nanti gue pinjem catetan loe ya? males banget tadi kebanyakan, gue mau nyalin catetannya di rumah aja."
"Siap." Gue mengacungkan jempol. Sambil duduk di samping Raya, saling berhadapan dengan Aini dan Cacing.
"Eh, tadi tiga serangkai ketakutan banget kayaknya pas Razia." Cacing membuka percakapan.
"Iya, kayaknya banyak banget tuh film dewasanya." Raya menimpali.
"Cing, bukannya dulu loe deket sama Wanda dan Erika ya?" Tanya gue mengorek masa lalu Cacing
"Hm..." Cacing menghela nafas panjang. Mengingat memori kebersamaan dengan Wanda dan Erika, "Itu lah sebabnya gue menghindar dari mereka, dan bergabung sama loe semua."
Gue, Aini dan Raya mendengarkan cerita Cacing dengan seksama, rasa penasaran kami mungkin akan menguap ke udara, karena selama ini masih penasaran kenapa persahabatan mereka bisa pecah
"Gue itu gak selevel sama mereka, terutama dalam hal gaya hidup. Gue gak bisa ngikutin mereka, kalo nggak ngikutin jadi gue yang minder sendiri."
"Emang gaya hidup mereka gimana Cing?" Tanya Raya penasaran.
"Ya begitu deh, pengennya pake barang yang branded, ponsel yang keren, terus keluyuran hangout ke mall beli barang-barang mahal."
"Emang orangtua mereka cukup berada ya Cing?" Kali ini gue melontarkan pertanyaan, karena sedikit tau tentang Erika yang keliatan dari rumahnya sih biasa aja.
"Nah itu dia yang jadi masalah, mereka punya life style yang gak sesuai sama kemampuan."
"Terus... Buat belanja barang mahal duitnya dari mana cing?" Kali ini Aini antusias.
Cacing terlihat berfikir, sepertinya ragu, bahkan enggan untuk mengatakannya, karena biar bagaimana pun dia pernah dekat dengan Wanda dan Erika, bahkan pernah menjadi sahabat baiknya di kelas 10 dulu.
"Gimana ya? Gue gak enak ngomongnya, hem... Tapi janji ya loe semua jangan cerita ke siapa-siapa?" Gue, Aini dan Raya mengangguk pasti.
Cacing membisikan sesuatu ke telinga Aini.
"Serius loe Cing?" Aini tercengang.
Gue dan Raya makin penasaran. Kemudian Cacing membisikan ke telinga Raya.
"Ah yang bener loe?" Dengan ekspresi tidak percaya. Dan gue makin penasaran di buatnya. Kali ini giliran Raya membisikan ke telinga gue.
"Mereka suka jalan sama om-om."
"Ah... Masa sih cing? Sampe sejauh itu pergaulan mereka?". Dan semuanya hampir tidak percaya.
"Syut ...! Jangan keras-keras ngomongnya." Cacing memberi instruksi untuk berbicara setengah berbisik. "kenyataannya emang kayak gitu, itu sebabnya gue menjauh dari pergaulan mereka, gue gak mau ikut-ikutan kayak mereka. Gue masih mikirin orangtua gue."
"Jangan... Jangan ...!" Ucapan Raya terhenti
"Apa?" Gue, Aini dan Cacing penasaran.
"Jangan... Jangan mereka bukan cuma nonton adegan film dewasa tapi... udah pernah praktekinnya juga."
"Astagfirullah hal Adzim, gue dan Aini kompakan mengucap istigfar mendengar pernyataan Raya. Sementara Cacing tidak aneh mendengar pernyataan Raya.
"Ya mungkin bener kata si Raya, soalnya emang pergaulan mereka udah lepas kendali. sering gue denger mereka curhat masalah pribadi yang menjurus kesana, pacaran mereka aja udah gak sehat. Bisa jadi apa yang di bilang si Raya itu bener." Jelas Cacing
"Hush ...! Udah ah ...! Kita jangan bahas itu lagi, gue masih kecil nih, nggak boleh denger yang begituan." Ucap gue mencoba mengalihkan topik pergibahan yang semakin dalam.
"Heh... Sok imut loe, emang loe gak inget kejadian di rumah si Aini waktu kerja kelompok dulu?". celetuk Raya
Cacing dan Aini kompak tertawa, mengingat kejadian enam bulan lalu saat kerja kelompok di rumah Aini. 'Sial ...! kartu gue kebongkar. Itu kan karena kecerobohan gue, minjemin laptop abang gue yang ada isi video dewasanya, si Cacing malah kepo dan akhirnya nonton bersama'
"Sialan loe, ternyata masih inget, anggap aja waktu itu kita khilaf, kita kan cuma pengen tau kan? Nggak sampe pecandu. Lagian jadi orang terlalu polos jangan, terlalu brutal juga jangan, balance aja hidup mah. Kita kan anak akuntansi, harus bisa menyeimbangkan diri, Biar Balance dan gak oleng. hehe". gue nyengir kuda
"Hahaha... Tapi gara-gara laptop yang loe bawa, kita jadi liat itu film." sambung Cacing.
"Heh nyalahin gue, kalo loe gak kepo juga kita gak bakalan nonton, kan?" Sanggah gue.
"Udah ih... Malah pada berantem. Itu kan udah berlalu. emang si Puri yang bawa, tapi kan dia juga gak tau, kalo loe nggak kepo dan maksa juga kita gak bakalan nonton. lagian emang kita semua juga penasaran kan? Bener kata si Puri, toh kita cuma ngilangin rasa penasaran aja, gak sampe kecanduan. Kita ini udah dewasa, harus bisa bedain mana yang baik dan buruk." Aini menengahi
Untuk sesaat keheningan tercipta, masing-masing mengingat kejadian yang lalu.
"Hahaha ... Tawa pecah dari gue dan ketiga sohib gue itu. Emang menggelikan kalo inget kejadian itu, ternyata kita nggak sepolos itu ya.
"Tapi Cuy, tadi di kelas si Erika nangis. Takut di keluarin dari sekolah katanya. Si Wanda juga keliatan takut, yang masih bisa santai gue liat cuma si Chika, kayaknya dia tuh bener-bener nggak ada takutnya ya jadi orang? Dulu aja di labrak sama kakak kelas masih bisa jawab. Padahal mereka bertiga dari paras cantik yes? Keliatannya juga kalem-kalem. Tapi nggak nyangka di luar kelakuan mereka kayak gitu." Gue berpendapat.
"Ya begitulah, kadang orang yang keliatan kalem, pendiem, malah lebih parah kelakuannya. Istilah kata sih, diam-diam menghanyutkan." Raya menimpali.
"Padahal, dulu gue sempet mikir yang bandel itu justru si Cacing lho." Cacing melotot menatap gue. "Jangan marah dulu Cing. gue jujur nih, dulu sempet mikir begitu, karena ngeliat gelagat loe yang kayak cacing kepanasan, makanya gue berfikiran begitu. Tapi ternyata gue salah, loe nggak seperti itu." Gue nyengir kuda menatap cacing.
"Ih curut... Loe mah jahat, sampe mikir kayak gitu tentang gue." Cacing merungut.
"Hehe. maaf cing... Itu kan dulu, sebelum gue kenal loe lebih jauh. Dulu kan kita gak se-akrab sekarang. ternyata bener ya pepatah yang bilang don't judge a book by the cover. Yang keliatannya kalem justru brutal, dan keliatannya pecicilan justru anak baik-baik.
Tring....tring... bel masuk berbunyi
"yah cuy.. keasikan ngobrol makanan gue belom abis nih." sayang baru gue makan sepotong. jangan masuk dulu ya." Pinta gue pada sohib-sohib gue itu
"Yaudah slow aja Curut, gausah buru-buru, kita tungguin kok." ucap cacing
"makasih ya bep." gue merayu Cacing.
"lagian jam terakhir pak hamdi cuy, santai aja lah sama dia mah. kan dia lagi ngecek hp sitaan pas razia tadi kan? siapa tau belom selesai".
selesai makan gue dan ketiga sohib gue membayar jajanan dan langsung bergegas cus ke kelas
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Indah Sari
udh aku boom like yang Thor
2020-03-22
2