“Yah ... warungnya tutup, Ken,” ucap Nada ketika melihat warung ayam bakar.
‘Alhamdulillah,’ pekik dalam hati.
“Ya udah sih, balik yuk. Lu udah kangen kan sama Babe?” tanyaku.
Nada menganggukkan kepala.
Kami melanjutkan perjalanan yang tinggal beberapa meter lagi sampai rumah. Ada raut kekecewaan pada wajah Nada.
“Babe,” ucap Nada yang langsung berlari menghampiri babe Rano. Kek orang yang baru ketemu setelah dua tahun berpisah.
Hah, dua tahun? Hehe bukan dua tahun tapi mereka berpisah baru dua hari.
“Waduh! Tumben, anak Babe meluknye kenceng bener dah ....” ucap babe Rano.
Tidak ada raut wajah babe Rano bersedih. Walau mungkin dalam hatinya ada rasa takut karena penyakit yang bersarang dalam tubuhnya.
Aku melihat pemandangan haru hari ini. Seorang Ayah yang sedang berjuang melawan penyakit kankernya, tanpa memberi tahu kepada anaknya.
mungkin tujuan babe menyembunyikan penyakitnya, agar Nada tidak bersedih. Walau mungkin pada akhirnya akan memberi pukulan hebat pada Nada. Mungkin lain waktu babe Rano akan memberitahu kepada Nada. Entahlah. Hanya babe Rano yang tahu.
“Ken, mari masuk. Di luar aje, Lu!” ucap babe Rano yang masih memeluk putrinya.
“Iye, Be. Ken mau pulang aja. Perut udah laper hehe,” ucapku beralibi.
“Dasar perut karet! Badan kecil tapi doyan makan,” ucap Nada yang berada dalam dekapan sang ayah.
“Biarin! kan tumbuh itu ke atas bukan ke samping,” balasku yang menirukan sountrack iklan.
“Eh malah berantem, entar kalian jatuh cinte,” ledek babe Rano.
“Idih, kagak mungkin Be! Jatuh cinte?” ucap Nada.
“He’em,” ucap babe.
“Sama Die, Be?”
“Iye,” timpal babe lagi.
“OGAH!”
Aku dan babe Rano hanya tersenyum melihat Nada yang ogah-ogahan mendengar ucapan dari babe Rano.
Akhirnya aku meninggalkan babe Rano dan Nada. Memberikan kesempatan melepas rindu antara Anak dengan Ayahnya.
Drett ... Drett ....
‘Ken, datang lebih awal ya? Saya mau mempersiapkan untuk melamar Rere,’ isi WA dari pak Hari.
‘Oke!’ jawabku singkat.
Aku langsung bergegas makan dan mandi. Aku menaiki anak tangga dan mendorong handle pintu untuk melaksanakan Shalat asar.
Buru-buru aku mengganti baju. Aku memakai kaos berwarna putih yang ku double dengan kemeja kotak-kotak berwarna Navy, memakai jelana jeans hitam, memakai topi warna hitam dan tak lupa memakai sepatu kets. Seperti biasa ada jam tangan yang melingkar dan dua gelang benang yang selalu aku pakai untuk perform.
Aku melesat menembus kemacetan kota Jakarta. Beberapa kali aku terjebak lampu merah. Sial! Pekik dalam hati.
Semua karyawan telah berkumpul, kecuali mba Rere.
“Maaf, Pak. Saya terlambat,” ucapku pada pak Hari.
Pak Hari menganggukan kepala.
Semua ruangan didekor cantik. Ada banyak bunga dan lilin yang terpasang disalah satu meja.
Pengunjung pun telah banyak yang datang. Berbagai ekspresi dari wajah customer. Wajarlah, malam ini suasananya begitu romantis.
Mba Rere memang datangnya telat. Sengaja pak Hari meminta di carikan setangkai bunga rainbow rose.
‘Wew, emang ade?’ pekik dalam hati.
Yaa mungkin saja ada. Kita lihat aja mba Rere berhasil atau tidak? Toh bukan itu juga inti dari acara ini.
Bu Hani, adik dari pak Hari juga menghadiri acara ini. Kakinya yang dulu sakit, kini telah sehat. Bahkan menghadiri acara lamaran kakaknya yaitu pak Hari.
‘Ken, Mba gak dapat bunga yang di minta Mas Hari, gimana dong? Bantuin Mba,’ isi WA dari mba Rere.
Aku tersenyum, rupanya berhasil juga pak Hari mengulur waktu mba Rere agar datang terlambat ke tempat kerja.
‘Udah, Lu balik sini aja, Mba. Di sini keteter kurang orang,’ balasku sambil cengengesan.
‘Tapi Mba takut malah kena marah, mana lagi bete lagi sama orang itu,’ balas WA mba Rere yang diselipin emoticon cemberut.
‘Lu juga aneh, malah WA Gue,’ kirim lagi balasan ke mba Rere.
‘Pan, Mba udah bilang. Lagi kesel sama Mas Hari! Gak ngerti juga ni anak! Yawdah, Mba balik sekarang. Bodo amat Dia mau marah, terserah!’ balas WA dari mba Rere.
Tak berapa lama, dari mba Rere mengirim pesan kepadaku. Akhirnya mba Rere tiba di tempat kerja.
“Kenapa gelap? Mati lampu kah?” ucap mba Rere yang bersuara kecil seperti berbisik.
Terdengar langkah kaki yang memasuki ruangan. Dengan sorot lampu kecil yang ia nyalakan dari hand phonenya.
Satu per satu lampu mulai dinyalakan. Wajah mba Rere terlihat masam ketika di depannya terlihat seorang wanita yang ia tahu.
Ia mengetahui wanita itu, wanita yang ia lihat besama kekasihnya di sebuah rumah sakit.
“Hai ....” sapa bu Hani, adik dari pak Hari.
“Kamu siapa?” mata mba Rere membulat.
“Aku Hani, aku mau bertemu Mas Hari, apakah Kamu melihatnya?”
“Eh, Mba. Saya aja baru datang. Ngapain nanyain Dia sama Saya?” ucap mba Rere yang sepertinya menaruh rasa kesal terhadap bu Hani.
Alunan gitar terdengar dari atas panggung. Mata mba Rere kini melihatku. Aku pun bernyanyi.
Demi semua yang aku jalani bersamamu
Ku ingin engkau jadi milik ku
Ku ingin kau disamping ku.
Tanpa dirimu, ku hanya manusia tanpa cinta
Dan hanya dirimu yang bisa
Membawa surga dalam hati ku.
Ku ingin engkau menjadi milik ku
Aku akan mencintaimu
Menjagamu selama hidup ku dan aku 'kan berjanji
Hanya kaulah yang ku sayangi
Ku akan setia di sini menemani.
Sentuhanmu bagaikan tangan sang dewi cinta .Yang berhiaskan bunga asmara
Dan membuat ku tak kuasa.
Ku ingin engkau menjadi milik ku
Aku akan mencintaimu Menjagamu selama hidup ku dan aku 'kan berjanji
Hanya kaulah yang ku sayangi
Ku akan setia di sini menemani.
Ku nyanyikan lagu milik romance band dari atas panggung.
Terlihat mba Rere seperti bingung dengan semua ini.
Tiba-tiba pak Hari mendekati bu Hani. Pak Hari membawa satu buket bunga mawar berwarna putih.
“Maksudnya apa? Kalian mau pamer kemesraan di depan mataku?” ucap mba Rere.
Bu Hani tersenyum. Kami memanggil Bu Hani karena ia merupakan adik dari Pak Hari. Kalau dari usia mungkin tidak terlalu jauh dengan mba Rere.
Seluruh karyawan tersenyum melihat mba Rere.
“Pak, coba jelaskan!” mba Rere mulai berkaca-kaca.
Pak Hari mengeluarkan kotak kecil berwarna merah. Ia membukakan tepat di depan bu Hani dan mba Rere. Terlihat mba Rere semakin bingung.
Pak Hari mengambil cincin dari dalam kotak merah itu. Dengan cepat, bu Hani mengambil benda bulat berbentuk ring dari tangan pak Hari.
Mba Rere mulai mundur sedikit demi sedikit dari hadapan mereka. Sepertinya ia ingin lari. Namun tangan pak Hari menahan tangan mba Rere. Langkah kakinya kini terhenti.
Hening.
Tak ada satu orang pun yang bersuara. Menambah kebingungan bagi mba Rere.
“Re, maukah Kamu menikah dengan ku?” ucap pak Hari memecahkan keheningan.
“What?” mata mba Rere membulat.
Pak Hari tersenyum.
“Apa Pak?” tanya mba Rere lagi.
“Will you marry me?” ucap pak Hari lagi.
“Sekali lagi, Pak?” mba Rere seperti ingin memastikan bahwa ia tidak salah mendengar.
“Mau kagak Lu nikah sama Pak Hari?” ucapku dari atas panggung menggunakan mikrofon.
“KENZOOO!” mata karyawan semua menatapku.
Aku tersenyum dari atas panggung dan mengangkat kedua jariku “Pissss, bro!”
.
“Aku mau menikah denganmu, Mas Hari. Tapi jelaskan dulu, siapa wanita ini?” tanya mba Rere sembari menunjuk ke arah bu Hani.
Pak Hari menceritakan tentang bu Hani kepada mba Rere. Kalau bu Hani itu adiknya. Waktu lalu pak Hari mengantar ke rumah sakit karena bu Hani mesti kontrol kakinya yang waktu itu terluka karena kecelakaan, dan bla bla bla.
Terlihat wajah mba Rere memerah ketika ia memandang bu Hani.
“Bu, maafkan Saya, ya? Saya sudah salah sangka sama Ibu,” ucap mba Rere.
“Ia, enggak papa. Panggil nama aja. Sepertinya kita seumuran kok,” bu Hani tersenyum.
Bu Hani memberikan cincin yang tadi ia ambil dari tangan pak Hari.
Akhirnya, cincin itu tersemat di jari manis mba Rere. Terlihat rona bahagia pada wajah mba Rere.
Sorak sorai dari customer dan seluruh karyawan menjadi nyanyian indah malam ini. Malam yang indah untuk mba Rere dak pak Hari.
Semuanya berjalan lancar. Walau agak sedikit terganggu karena ucapanku yang kesal karena mba Rere terus-terusan menanyakan hal yang sama.
Apakah cewek suka ngedadak budek kalau ia ditembak cowoknya? Pekik dalam hati. Entahlah.
***
Aku pulang membawa si matic. Melewati jalanan yang dinaungi dengan pekatnya malam. Semilir angin malam yang membuat sekujur badan terasa dingin.
Aku memarkirkan motor dan masuk dalam kamar.
“Ken, makan dulu Nak!” teriak ibu dari bawah.
“Iya, Bu.”
Aku menuruni anak tangga, bersiap untuk mengambil sepiring nasi.
“Ken,” ucap Nada yang tiba-tiba ada di belakangku.
UHUKK!
Aku terbatuk. Segera ku raih gelas yang berisi air.
Glek ... Glek ....
Aku minum air dengan terburu-buru.
“Apa sih, Nad? Kebiasaan nongol tiba-tiba kek set*n!”
“Hehe ... Maaf, Ken. Gue gak sengaja. Ni, Gue buatin puding buat Lu,” ucap Nada sambil menyodorkan semangkuk puding.
“Wahh ... Lu sengaja buatin ini Nad?” tanyaku dengan mata berbinar.
“Hem ... Ge’er! Sisa Babe tadi siang. Dari pada gak kemakan ‘yaa mending Gue kasih Lu.”
“Hadehhh!”
Nada tersenyum.
“Besok berangkat kuliah bareng ya? Tungguin Gue,” ucap Nada yang sedari tadi memperhatikanku makan.
“Ya,” ucapku.
“Ken.”
“Hem.”
“Lu ada rasa enggak sih sama mba Rere?” tanya Nada.
“Enggak, kan kata Lu mba Rere ketuaan,” ucapku ngasal.
“Kalau sama anak Ibu kost mba Rere?” Nada terdengar ragu menanyakan hal itu.
Aku memandangnya. Wajah Nada terlihat menunggu jawaban dariku.
“Hehe ....” aku tersenyum seraya memainkan alisku.
“Jawab Kenzo!” Nada semakin penasaran.
“Kalau menurut, Lu?” tanyaku.
“Idih, kan Gue nanya sama Lu. Kenapa Gue juga yang harus jawab?” jawab Nada yang sepertinya bertambah kesal.
“Kepo!”
“KENZOOOOO!” Nada memukul pundakku.
“Dah, pulang sono! Pan besok mau kuliah bareng Gue. Dandan yang cantik yaa?” ucapku yang terdengar merayu.
“Heleh!” ucap Nada sambil ngeloyor pergi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 234 Episodes
Comments
ㅤㅤㅤ🍒⃞⃟🦅ᶠˢ𝑹𝒂𝒉𝒆𝒍𝐀⃝🥀
romantis nya😍
2021-03-08
1
👑sandra Liu💣༺
hehehe
2020-12-20
0
Alfin
💯👍
2020-10-19
0