Langkahku gontai melewati babe Rano. Babe yang ku kenal sebagai orang yang galak namun di balik itu semua ia merupakan seorang pesakitan.
Kanker yang kini telah bersemayam pada tubuh tuanya membuat ia terpukul. Terbukti ketika aku melihat mata yang mulai berkaca-kaca.
Mungkin babe butuh orang untuk menguatkannya. Namun, sepertinya babe Rano tidak ingin membuat orang lain sedih. Terutama Nada, putri satu-satunya babe Rano.
“Ati-ati Lu, Ken!” ucap babe Rano.
Aku menganggukan kepala dan melaju bersama motor matic untuk kembali pulang.
Hari ini tidak ada aktivitas nyanyi di tempat kerja. Seluruh karyawan diliburkan. Aku hanya berencana menghabiskan waktu di rumah.
Setelah Shalat magrib berjamaah di mesjid yang aku singgahi ketika di perjalanan menuju rumah, dan melanjutkan perjalanan menuju kontrakan.
Tok ... Tok ... Tok ....
“Assalamu’alaikum,” ucapku sembari mengetuk pintu rumah.
Hening.
Tak ada jawaban dari ibu ataupun dari Nada.
Rumah pun gelap, malah seluruh rumah tetangga pun gelap. Mungkin mati lampu, pekik dalam hati.
“Astaga! Nada,” aku mengingat Nada karena kata babe Rano, Nada paling takut dengan keadaan gelap dan sunyi.
“Nad, Nada!” aku agak berteriak seraya mengetuk pintu dengan lebih kencang.
Masih sunyi, tak ada jawaban dari dalam.
Akhirnya aku ingat, kunci cadangan rumah aku gabungkan dengan kunci motor. Segera aku merogoh kunci yang ada dalam saku celana. Aku memasukan kunci.
KREKKKK ....
Pintu terbuka. Keadaan di dalam rumah sangatlah gelap. Tidak ada sedikit pun penerangan dalam rumah ini.
Aku ambil gawai yang ada dalam saku celana dan aku menyalakan senter yang memang ada dalam aplikasi hape.
Aku mengecek tiap sudut ruangan. Ternyata, Nada sedang memeluk bantal yang ada di sofa dan menyembunyikan wajahnya di balik bantal itu.
“Nad,” aku mencoba membuka bantal yang menutupi wajahnya.
Terlihat wajah yang basah dengan air mata. Nada memelukku, erat.
“Gue takut, Ken. Takut,” ucap Nada yang masih memelukku erat.
“Memang Ibu kemana?” tanyaku.
“Encing pamit menghadiri pengajian Ibu-Ibu di Komplek rumah,” ucap Nada.
“Ya udah, mana hape Lu?” pintaku.
“Hape Gue lowbatt, Ken. Makanya Gue ngumpet di balik bantal,” ucap Nada terbata.
“Lah, terus Gue nyari koreknya gimana, Nad?”
“Bawa aja hape Lu, tapi Gue ikut ya, Ken? Gue takut dalam kegelapan.”
Aku beranjak dari sofa yang kami duduki. Nada pun ikut bangkit dan memegang ujung jaket yang masih ku pakai.
KLONTRANG!
Bunyi benda yang terjatuh. Mungkin kesenggol tanganku. Spontan, Nada langsung memeluk dari belakang. Membenamkan wajahnya di punggungku.
“Nad, itu hanya benda jatuh,” ucapku yang coba menyadarkan.
“Takut, Ken!”
Nada sepertinya fobia akan kegelapan, entah karena apa? Yang aku lihat malam ini, Nada begitu ketakutan dan wajahnya pun menjadi pucat.
Bukan mau ambil kesempatan, namun ketika aku di hadapkan dengan keadaan ini. Aku benar-benar gugup yang di sertakan desir darah yang mengalir dengan begitu cepat. Membuat jantungku berdeguk semakin kencang.
Dengan cepat aku meraih lilin dan korek, aku menyalakan. Nada terlihat lebih tenang.
“Kamu belum makan, Nad?” tanyaku.
Nada menggelengkan kepala.
“Kita masak mie rebus yuk? Atau kamu mau dimasakin yang mie goreng?” ucapku menawarkan.
“Terserah,” terlihat senyum yang mengembang dalam remang cahaya lilin.
Aku mengambil air yang ku taruh dalam panci. Nada menemaniku dalam gelap malam.
Akhirnya mie instan telah siap.
Siap untuk dimakan maksudnya. Aku membawa dua mangkok mie menuju ruang depan. Nada memegang lilin dan senter dari hape.
Kami makan mie instan dalam kegelapan. Bunyi sendok dan garpu yang beradu menjadi nyanyian merdu di tengah kelaparan.
Sesekali, Nada menarik hidungku yang mancung. Mungkin maksudnya mengajak bercanda. Aku menatapnya dan Nada tersenyum manis lalu kembali menyuapkan mie instan ke dalam mulutnya.
“Ken, tadi habis dari mana?” tanya Nada yang masih menyeruput mie instan yang ada dalam mangkok.
“Dari kost mba Rere,” ucapku sambil menyeruput mie instan dalam mangkok.
UHUKKK!
Nada terbatuk.
Segera aku mengisi air dalam gelas dari dispenser “Minum, Nad,” aku menyodorkan satu gelas air minum untuknya.
Nada meraihnya “Makasih,” ucap Nada.
Aku tersenyum dan melanjutkan makan mie instan.
“Emang mau ngapain ke kost mba Rere?” Nada bertanya dengan wajah masam.
“Idih, kepo!” ucapku.
Bibir Nada semakin mancung ketika aku sebut kepo.
“Ken, Gue gak suka Lu ke kost mba Rere. Mba Rere itu lebih tua dari Lu,” ucap Nada sambil memainkan mie yang masih ada dalam mangkok.
Aku melirik. Melihat wajah Nada yang seperti sedang cemburu. Tapi, apa mungkin Nada cemburu? Karena aku? Pertanyaan yang berputar dalam kepalaku.
“Bukan ketemu mba Rere kok. Gue ketemu anak dari Ibu yang punya kontrakan, dia lebih muda dua tahun dari Gue,” aku terkekeh dengan bualan yang sengaja aku buat.
Nada semakin cemberut dan semakin cepat memutar-mutar mie yang ada dalam mangkok.
“Lu kenapa, Nad? Kok mie nya gak dimakan?” tanyaku.
Aku menahan senyuman melihat Nada yang semakin cemberut dan memutar-mutar mie yang tak berdosa.
“Udah kenyang,” Nada beralasan.
“Nad,” ucapku yang menatap kedua matanya.
Nada mendongak dan memandang balik mataku. Hingga akhirnya kami saling pandang. Aku menggenggam tangannya, terasa hangat. Nada pun diam merasakan genggaman dari tanganku.
“Assalamu’alaikum,” suara ibu yang bersamaan dengan terbukanya pintu.
“Wa’alaikum salam,” ucap kami yang terperanjat.
‘Gagal sudah, rencana nembak Nada malam ini,’ pekik dalam hati.
“Udah pulang, Cing?” Nada menyalami tangan ibu.
“Udah, sayang. Wah ... wah ... udah pada masak mie, kok Ibu gak di buatin, Ken?”
“Ibu, mau? Tar Kenzo buatin,” aku beranjak dari sofa yang sedang ku duduki.
“Enggak, Ken. Ibu bercanda,” ibu terkekeh begitu pun dengan Nada.
Setelah ibu pulang dari pengajian tidak ada kesempatan lagi untuk romantis di kala gelap. Aku melangkahkan kaki ke atas tangga, meninggalkan Nada yang telah asyik mengobrol sama ibu.
Ibu pun terlihat senang apabila ngobrol bareng Nada. Mungkin karena Nada cerewet, itu salah satunya yang bikin mereka cepat akrab.
Membuka kaca jendela seraya melihat rumah Nada dari samping. Mengingatkanku ketika Nada marah terhadap babe Rano.
‘Andai Lu tau keadaan Babe Lu sekarang, Nad,’ pekik dalam hati.
Aku bergegas untuk tidur karena besok mesti berangkat ke kampus.
***
“Ken, bangun!” ucap Nada sambil menggoyangkan tubuhku.
Aku terperanjat, karena aku benar-benar sedang tidur pulas. Aku menarik tangannya hingga ia tertarik tepat di atas dadaku yang sedang terbaring.
Ada raut wajah yang cantik ketika aku membuka mata. Rona yang tiap hari ku lihat, namun tak bosan untuk di tatap. Bahkan hati ini berhasrat untuk memilikinya.
“Ken,” ucapan Nada menyadarkanku.
Aku melepaskan tanganku yang sedang menggenggam tangannya. Ada rasa sesal ketika aku tersadar, karena aku kini telah melepaskan genggaman tangannya.
“Sorry, Nad.”
Nada tersenyum. Lengkungan tipis pada bibirnya membuatku semakin jatuh cinta. Jatuh cinta? Entah.
.
Akhirnya kami berangkat ke kampus di pagi ini. Namun babe Rano belum terlihat ada di rumahnya. Mungkin ia balik petang nanti, pekik dalam hati.
Aku memarkirkan motor ke parkiran yang ada di kampus. Kami berjalan berdampingan. Melihat lengan Nada yang terayun. Ingin rasanya aku menggenggamnya. Namun, rasa takut lebih mendominasi.
“Ken, Lu nyanyi malam ini?” tanya Nada yang menyadarkanku dari lamunan.
“Iya, memang kenapa?” tanyaku.
“Gue ikut, ya?” ucap Nada.
“Mau ngapain? Entar Lu bete cuma liat Gue perform dari atas panggung,” ucapku beralibi.
“Gak boleh, ya?” bibir Nada mengerucut.
Hening.
“Ya udah kalau enggak boleh,” ucap Nada lagi.
“Iya, iya ... boleh, Lu ikut aja.”
“Beneran?” terlihat rona bahagia pada wajahnya.
“He’em.”
.
Waktu terus berputar, jam pelajaran kampus pun telah usai. Kini saatnya untuk bergegas pulang.
“Ken, mampir dulu ke warung yang di pojokan ya? Gue mau beli ayam bakar kesukaan Babe. Kan hari ini Babe pulang,” ucap Nada dengan ekspresi wajah yang sumringah.
“Jangan, ayam bakar deh, Nad,” ucapku melarang.
“Loh, kenapa? Itu pan makanan kesukaannya Babe, Kenzo,” timpal Nada.
Aku tidak dapat bergeming. Aku bingung harus menjawab alasan apa pada Nada. Karena aku pernah baca di internet tentang larangan bagi penderita kanker untuk mengonsumsi dading yang proses pengolahannya dibakar. Aku hanya berharap ayam bakarnya sudah habis atau warungnya tutup biar Nada gak jadi beli. Pekik dalam hati.
Kami melesat menuju arah pulang ke kontrakan. Melaju dengan kecepatan sedang.
“Ayo, Ken. Nanti ayam bakarnya keburu abis,” ucap Nada yang menyuruhku lebih cepat membawa motornya.
‘Emang itu yang Gue harepin, Nad,’ pekik dalam hati.
“Ken, ayo lebih kenceng lagi,” ucap Nada.
Akhirnya laju motor ku gas lebih kencang, namun sial! Ban sepeda motor mengalami pecah ban di perjalanan.
“Alhamdulillah,” ucapku spontan.
“Kok Alhamdulillah?” ucap Nada yang memandang wajahku heran.
Aku tersenyum.
Aku menuntun motorku dan Nada mengekor dari belakang. Hingga akhirnya kami menemukan bengkel kecil di tepi jalan.
Aku dan Nada duduk di bangku yang tersedia untuk customer yang tengah menunggu motornya yang sedang diperbaiki.
Aku menyebrang untuk membeli minuman kaleng bersoda dan membelikan ice cream con rasa strawberry untuk Nada.
“Nad,” aku menyerahkan ice cream con untuk Nada.
“Thank’s, Ken,” Nada meraihnya.
Aku membuka kaleng minuman bersoda yang masih tersegel. Aku meneguk minuman itu, tanpa sadar. Aku melihat mata Nada yang kini telah menatapku.
“Kenapa?” tanyaku pada Nada.
“Gak papa. Sejak kapan Lu suka minuman bersoda?” tanya Nada.
Aku tersenyum.
‘Sejak Gue terluka melihat Lu jalan lagi bareng Fajri, dulu,” pekik dalam hati.
“Emanh kenapa? Gak mabok juga kan?” ucapku sambil mengangkat sebelah alis.
“Iya, sih. Tapi jangan kebanyakan. Gak bagus juga buat kesehatan Lu,” ucap Nada sambil meneruskan memakan ice cream yang aku belikan.
Aku meneguk minuman soda dan Nada menghabiskan ice cream yang aku belikan, hingga akhirnya selesai sudah ban si matic diperbaiki.
Lanjut perjalanan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 234 Episodes
Comments
👑sandra Liu💣༺
adueh gagal,,,
tpi ttp cemumut ken pantang menyerah
2020-12-20
0
Alfin
lanjut 👍
2020-10-19
0
NEISYA
Klu gagal diulang lgi nembak nya,next
2020-10-11
0