Aku dan Nada berangkat ke kampus. Namun, agak sedikit berbeda hari ini. Kami ke kampus naik angkot, motorku di pakai sama Ibu. Sedangkan motor Nada di pakai babe karena motor babe lagi masuk bengkel.
Aku dan Nada berjalan berdampingan, sesekali Nada melihatku lalu tersenyum. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini.
Langkah kami yang terayun, membawa keluar dari jalan sempit menuju ke jalan utama. Kami menunggu angkot, tak lama kemudian. Angkot pun datang.
“Silakan, Nad,” aku menyuruh Nada naik angkot duluan.
Angkot masih kosong, namun tak berapa lama. Angkot penuh bahkan kami seperti ikan pindang di dalamnya. Tak ada lagi celah, hingga pinggul kami saling berdempetan.
Sesak? Pastinya. Namun harus gimana lagi? Namanya juga naik kendaraan umum.
“Ken,” Nada berbisik.
“Apa?”
“Sempit ... Geseran dong,” pinta Nada.
Hingga akhirnya aku mengalah tidak duduk di kursi penumpang sampai kampus.
“Nad,” suara cowok yang memanggil di depan gerbang.
Nada menoleh, wajahnya kini berubah seperti orang yang sedang ketakutan ketika matanya melihat ke gerbang. Kakinya mematung.
“Paan sih, Nad?” aku menanyakan heran.
Tak ada jawaban, malah langkah kaki Nada pun terhenti.
Aku menoleh “Fajri?”
Aku melihat wajah Nada yang semakin pucat.
“Tunggu, Nad!” Fajri mendekat.
“Mau ngapain, Lu?” ucapku.
“Ini urusan Gue sama Nada, bruh! Lu gak usah ikut campur!” ucap Fajri.
“Jangan gangguin aku lagi Kak. Aku udah bilang semalem kalau Kita putus!” ucap Nada dengan suara terbata.
“Enggak Nad! Kakak gak mau! Ucap Fajri menahan tangan Nada yang beranjak pergi.
Genggaman tangan Fajri dihempaskan. Nada bergegas pergi meninggalkanku bersama Fajri.
Aku memilih pergi meninggalkan Fajri menyusul Nada saat itu juga.
Di kelas masih kosong, karena kami memang datang terlalu pagi. Nada yang telah duduk di kursi pojokkan kelas.
Langkahku terhenti, melihat Nada sedang menangis. Nada cerewet ternyata bisa nangis juga, pekik dalam hati.
“Lu kenapa?” tanyaku.
Nada diam, tidak menjawab ataupun sekedar menggelengkan kepalanya seperti biasa. Tatapannya kosong.
“Jangan melamun, nanti pelajaran Pak Dosen Killer loh, Nad,” ucapku mengingatkan.
Namun sepertinya gak ngaruh. Nada tetap melamun. Hingga pak dosen datang, Nada masih melamun. Beberapa kali aku menyadarkan, namun nihil. Nada tetap melamun sampai pak dosen memulai jam pelajarannya.
“Nada,” panggil pak dosen.
“Nada, maju ke depan. Jelaskan yang tadi bapak bahas,” ucap pak dosen lagi.
“Nad,” ucapku sambil menyenggol lengan Nada.
Nada hanya menepis lenganku.
“Nada!” ucap pak dosen dengan suara nyaring.
“Diem, Lu bangkeeeee!”
Suara Nada membuat pak dosen killer mengeluarkan jurus kamehame yang selama ini terpendam.
Nada akhirnya disuruh mengecat lorong kampus yang akan menuju ke toilet di luar jam kampus.
Memang, warna cat di lorong itu telah memudar, bahkan terlihat kusam.
“Sini, Gue bantu,” aku mengambil kuas yang ada pada tangan Nada.
“Sorry ... ya, Ken. Karena Gue, Lu jadi ikutan repot,” pekik Nada dengan suara pelan.
Aku tersenyum.
“Kenapa Lu putusin Fajri, Nad?” tanyaku dengan lengan yang masih mengecat lorong kampus.
“Gue udah yakin, Dia bukan yang terbaik buat Gue, Ken. Ditambah Babe yang tidak merestui hubungan Kami,” ucap Nada sambil duduk selonjoran.
Hingga akhirnya, selesai sudah hukuman yang diberi pak dosen untuk Nada.
“Thank’s ya, Ken. Makan di luar yuk? Nanti Gue yang traktir,” ajak Nada.
“Yaa, Nad. Sorry, Gue mesti gawe malam ini,” ucapku.
“Oh gitu, ya udah next time, yaa?” ucap Nada tersenyum.
.
Akhirnya kami berjalan melewati koridor kampus. Kami berjalan berdampingan dengan tangan Nada yang memegang ujung jaketku, mirip seperti anak kecil yang takut hilang.
“Nad, Kakak gak mau putus sama Kamu,” ucap Fajri.
Hadeuh, pekik dalam hati. Aku bermaksud untuk menjauh dari mereka. Namun tanganku di tarik Nada.
“Tolong, Nad. Waktu itu Kakak khilaf. Kakak janji tidak akan seperti itu lagi,” ucap Fajri meyakinkan.
Nada menggelengkan kepalanya dan lengannya memegang erat bahkan semakin erat menggenggam jariku.
Aku melihat rona wajah Nada yang kian pucat apabila berhadapan dengan Fajri. Seolah Nada minta tolong di jauhkan dari Fajri.
“Udahlah, bro! Jangan ganggu Nada lagi,” ucapku.
“Eh! Lu siapa?” tanya Fajri.
“Gue sekarang cowoknya Nada!” ucapku lantang.
“Hahaha ... Lu lucu, bro!” Fajri tertawa.
“Memang Kenzo pacar Aku, Kak. Kami udah jadian tadi,” ucap Nada.
Aku tidak menyangka. Nada akan menjawab hal itu. Aku kira, ia akan membantahnya. Mungkin, yang ada di pikirannya sekarang hanya ingin jauh dari Fajri. Entahlah, hanya Nada yang tahu.
Fajri mundur. Mungkin hatinya tidak percaya Nada bisa move on dengan begitu cepat.
“Ayo balik, Nad,” aku menggandeng tangan Nada di depan mata Fajri.
Kami menunggu angkot dengan tangan masih bergandengan. Di seberang sana terlihat Fajri memandang kami dengan sorot mata yang entah.
Angkot pun datang, hingga akhirnya Nada dan aku menaiki angkot itu. Aku sadar, tanganku masih menggenggam tangan Nada.
“Maaf, Nad,” aku melepaskan jari nada yang ku genggam.
“Iya, gak papa, Ken.”
Terlihat lengkungan tipis pada bibirnya. Selalu ada debar, apabila Nada sudah bersikap seperti ini. Di mana dia menjelma menjadi sosok yang manis tanpa ada suara cerewet yang keluar dari bibirnya.
***
Sore hari, aku bergegas ke kost mba Rere. Bermaksud sekalian mengecek keadaannya.
Si matic melesat ke arah kost mba Rere. Terlihat gerbang yang terbuka lebar. Aku tancap gas. Memarkirkan motor di halaman kost.
Aku melewati beberapa kamar kost putri menuju ke kamar kost mba Rere.
Terlihat dari kaca jendela, mba Rere sedang duduk diam. Masih dengan rambut yang acak-acakan dan lingkar mata yang menghitam udah kek zombi aja.
“Mbaaa ....” aku mengetuk pintu kamar yang terbuka.
Mba Rere terlihat menarik napas panjang.
“Boleh Gue masuk?” tanyaku.
Mba Rere bangkit dari duduknya. Berjalan dan mendekati aku yang sedang berdiri di depan pintu kostnya.
“Udah, situ aja!” mba Rere menunjuk ke bangku yang ada di luar kamar.
Aku dan mbak Rere duduk di bangku luar.
“Mbaa?”
“Paan?”
“Makan, yuk?” ajakku.
“Ogah, Ken!”
Hening.
“Mbaa?” ucapku memecah keheningan.
“Hemm,” mba Rere mendehem.
“Ee, yuk?”
“Kenzoooo! Jorok banget sih!” terlihat wajah mba Rere yang merah padam.
Mungkin mba Rere sudah muak menghadapiku hingga akhirnya mba Rere menyuruh aku pulang.
Bukan cuma sekali mba Rere nyuruh pulang, berkali-kali ia menyuruh, namun aku masih bertahan.
“Mbaa?”
“Pulang, Kenzo! Mba gak bakal kerja juga. Kamu berangkat kerja sana! Mba mau tidur di rumah.
Mba Rere masuk ke dalam kost. Mba Rere terlihat memainkan botol minuman yang kosong di atas meja.
“Mbaa ....” aku membuka pintu.
SYUUT .... PLAKKK!
Botol kosong itu melayang dan mendarat pas di keningku.
“Apa lagi, Kenzooo? Mba bilang, mba gak mau masuk kerja. Mba udah ijin pak Hari kok.”
“Iya, iya. Gue cuma mastiin kalau Mba gak mau berubah nih? Ikut kerja bareng Gue, yok?”
“Kenzooooo!” mata mba Rere melotot.
Dari pada ada yang mendarat lagi di keningku. Akhirnya, aku berangkat kerja tanpa mba Rere.
Sesampainya di tempat kerja, aku di panggil ke ruang kerja pak Hari.
Tok ... Tok ... Tok ....
Aku mengetuk pintu ruang kerja pak Hari.
“Masuk,” terdengar suara tegas seorang pria dari dalam sana.
Aku membuka handle pintu dan mendorongnya. Terlihat sosok laki-laki yang tengah sibuk dengan laptop di meja kerjanya.
“Duduk, Ken.”
Akhirnya, aku duduk berhadapan dengan pak Hari.
“Ken,” ucap pak Hari.
“Iya, Pak,” jawabku.
“Tolong bantu Saya melamar Mba Rere, ya? Saya tahu. Rere sering cerita sama Kamu,” ucap pak Hari.
“Gimana caranya Saya bisa bantu Bapa?”
“Saya ingin, di malam nanti. Kamu bisa nyanyi lagu romantis dari atas panggung. Saya akan menyematkan cincin pada jari manisnya Rere. Nanti bantu Saya menata rencana Saya ya, Ken?” ucap pak Hari yang sepertinya serius ingin melamar mba Rere.
“Iya, Pak. Sebisa mungkin Saya akan bantu. Good luck ya, Pak.”
“Makasih, Ken.”
Akhirnya aku kembali bekerja. Naik ke atas panggung untuk menghibur para tamu yang datang malam ini.
Drett ... Drett ....
‘Ken, pak Hari nanyain Mba, enggak?’ isi chat WA dari mba Rere.
Hadeuhhhh! dasar cewek, kemarin aja ngamuk-ngamuk. Gak mau ketemu pak Hari. Sekarang nanyain dia atau enggak, pekik dalam hati.
“Gue kerjain ajalah,” ucapku sambil mengetik pesan untuk balasan WA.
‘Kagak, Pak Hari gak ngomongin Lu, Mba.’
Send.
Read.
Gak ada balasan lagi.
‘Mba, are you ok?’
Send.
Read.
Gak ada balasan juga.
Aku menunggu sampai jam kerja selesai, namun tidak ada juga balasan dari WA mba Rere.
Aku coba telpon dan video call pun enggak di angkat. Aku kirim chat lagi.
‘Mba, udah tidur?’
Send.
Read.
“Jiahhhh! Dia ngambek, kek nya.”
Aku tersenyum di depan layar gawai.
Akhirnya jam delapan malam, pak Hari menyuruhku membelikan martabak manis untuk mba Rere.
Kata pak Hari, mba Rere sangat suka dengan martabak manis rasa keju yang di tambah kismis. Dengan segera aku meluncur membelikan pesanan pak Hari untuk mba Rere.
***
“Mbaaa ....” ucapanku yang sepertinya terngiang di telinga mba Rere.
KREKK ....
Pintu kost dibuka.
Masih sama seperti hari hari kemarin. Mba Rere keluar tanpa polesan make up, ada lingkaran hitam pada matanya, kek nya mba Rere begadang dan nangis-nangis sampe bengkak matanya. Penilaian pribadi.
“Mau ngapain, Kenzo? Udah malem ini. Gak enak sama Ibu kost,” ucap mba Rere.
“Gue cuma mau ngasih ini aja kok,” aku menyodorkan martabak manis yang dibungkus dalam kotak dus.
“Paan, nih?” tanya mba Rere yang seperti penasaran.
Aku menyerahkan “Bukalah.”
Mba Rere meraih kotak yang berisi martabak manis dan membukanya. Mata mba Rere mulai berkaca-kaca. Entah apa yang ia rasa saat ini. Mungkin ia terharu? Entahlah.
“Gue gak mau, Ken. Ini mengingatkanku pada Pak Hari,” ucap mba Rere sambil menyerahkan kotak itu.
“Tapi Mba mesti makan, nanti sakit loh. Nanti siapa yang urus? Mau Gue yang urusin Emba? Gue yang nyebokin Mba, gitu?”
“Najis! Gak segitu juga kali Ken! Lu halunya kejauhan!” ucap mba Rere yang seperti kesal sekali melihat tingkah absurdku.
“Makanya, dimakan martabaknya, ya? Atau mau Gue beliin nasi goreng?” aku coba menawarkan.
“Ya udah, ia mba makan martabak aja. Kamu pulang sekarang ya, Ken,” pinta mba Rere.
Mba Rere membuka pintu kost dan melangkah melewati pintu.
“Mbaaa?”
“Apa lagi, Kenzoooo?” mba Rere melotot.
“Gue pulang, ya?” aku nyengir.
“Hadeuh!” pekik mba Rere yang semakin kesal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 234 Episodes
Comments
Ekanurhasanah
Kenzie gombal banget,org galau langsung sehat
2021-01-29
2
👑sandra Liu💣༺
untung ga ditengdang lu bang🤣🤣🤣
2020-12-19
1
Alfin
lanjut
2020-10-19
0