Drett ... Drett ....
Gawaiku yang tergeletak di atas meja belajar telah bergetar. Jam telah menunjukkan pukul empat pagi. Aku bergegas bangkit dari tidurku yang lelap. Duduk di tempat tidur seraya mengumpulkan kesadaranku yang mungkin masih tertinggal dalam mimpi.
Ku melangkahkan kaki dari tempat tidur. Ku ambil handuk yang tergantung di belakang pintu. Membuka handle pintu lalu melangkahkan kaki menuju kamar mandi.
Rasa dingin yang aku rasakan di pagi ini. Pagi yang masih gelap, entah karena mendung.
Aku tinggalkan kamar mandi seraya masuk kembali ke dalam kontrakan sembari mengigil.
“Kenapa, Ken?” tanya Ibu.
“Gak tau Bu. Perasaan pagi ini dingin sekali,” ucapku yang masih menggigil.
“Ya udah, cepetan ganti baju. Nanti ibu seduhkan wedang jahe.”
HWACIMMM ....
Aku terus bersin-bersin dalam kamar. Segera ku memakai pakaian lengkap dan ku double pakai jaket.
Aku masuk dalam selimut setelah aku selesai mengerjakan Shalat subuh.
Tok ... Tok ....
“Ken ....” suara ibu memanggil seraya mengetuk pintu.
“Masuk aja, Bu.”
Terlihat handle pintu yang di buka hingga pintu pun terdorong ke dalam. Terlihat wajah ibu yang membawa satu gelas minuman.
“Semalam pulang jam berapa sih? Ken, sakit?” tanya ibu sambil mengecek keningku.
“Waduh! panas, Ken. Gak usah masuk kampus dulu ya?”
Aku hanya mengangguk tanpa adanya bantahan dari mulutku.
“Minum dulu, Nak. Nanti ibu belikan bubur ayam. Bentar lagi juga lewat. Kenzo istirahat aja, ya?” ucap ibu panjang lebar. Mungkin ibu khawatir dengan keadaanku.
Aku minum wedang jahe yang dibuat ibu. Kembali aku membenamkan tubuh di ranjang ini.
Hingga jam delapan pagi, sepertinya si mamang bubur enggak jualan, sehingga ibu memutuskan pergi ke pasar sekalian beli bahan-bahan dapur yang telah habis. Pamitnya.
Aku menuruni anak tangga sambil membawa bantal dan selimut untuk tidur di kursi ruang tamu dan tak lupa gawai aku masukan ke dalam saku celana.
Baru aku memejamkan mata ternyata ada WA dari mba Rere.
‘Ken, mba ada perlu. Bolehkah mba mampir ke rumahmu?’ isi WA dari mba Rere.
‘Iya,’ ucapku sambil aku share loc alamat kontrakanku.
Tak lama. Akhirnya mba Rere sampai ke kontrakanku. Aku membuka pintu dari dalam rumah.
Terlihat ekspresi kaget pada wajah mba Rere. Mungkin wajahku terlihat pucat.
“Masuk, Mba.”
“Ya Allah, Ken! Kamu kenapa?” tanya mba Rere sambil mengecek keningku.
“Gak papa kok, mba.”
“Kamu panas loh, Ken. Aku beliin bubur ya?”
“Gak usah Mba. Ibu lagi beli bubur kok. Bentaran lagi juga Ibu balik,” ucapku menolak.
Akhirnya setelah lima belas menit menunggu Ibu pun datang dengan membawa stock sayuran dan bahan makanan lainnya.
“Assalamu’allaikum ....” ucap ibu sambil membukakan pintu.
“Wa’alaikum salam,” ucapku dan mba Rere.
“Eh ... ada tamu,”
Ibu tersenyum. Begitu pun dengan mba Rere.
“Ibu tinggal dulu ya, ke dapur,” timpal ibu.
“Silakan, Bu.”
Ibu pun beranjak ke dapur. Mungkin menaruh belanjaan yang dibeli dari pasar. Tak lama kemudian, ibu membawakan semangkuk bubur ayam.
Akhirnya aku makan bubur dan minum obat yang dibeli ibu dari apotek.
Aku akhirnya tertidur. Mungkin karena pengaruh dari minum obat. Ketika aku bangun, aku kaget karena mba Rere sudah tidak ada di sini.
“Ibu, temen Ken udah pulang, ya?”
Terlihat mata ibu berkaca-kaca.
“Ibu kenapa?” tanyaku heran.
“Maafin Ibu ya, Ken. Karena Ibu, Ken harus bekerja,” ucap ibu sambil memelukku.
“Maksud Ibu?”
“Rere sudah menceritakan semuanya. Kamu suka nyanyi untuk mendapat penghasilan. Kamu tabungkan uangnya untuk wisuda nanti. Maafin Ibu, Ken.”
Ibu memelukku erat. Air matanya terus berlinang. Hingga akhirnya pelukkan ibu semakin melonggar dan diakhiri dengan keringnya air mata.
“Bu, lihat wajah Kenzo.”
Ibu menatapku.
“Selama ini, Kenzo yang banyak nyusahin Ibu. Sampai saat ini pun. Kenzo belum bisa kasih apa-apa buat Ibu. Kenzo bahagia hidup bersama Ibu walau tanpa Bapak. Ibu figur heroes buat Kenzo. Orang yang paling tangguh untuk Kenzo,” aku memandang ibu lekat.
“Makasih, Nak. Ibu do’akan apapun yang Kenzo inginkan. Semuanya Kenzo dapatkan. Ya, Nak,” Ibu mengusap kedua pipiku.
“Aamiin .... ”
Terbongkar sudah semua yang aku rahasiakan pada ibu. Alhamdulillah, ibu pun tidak marah.
Akhirnya badanku agak enakan. Aku memutuskan untuk masuk kerja. Masih ada waktu, jam dinding baru menunjukkan pukul satu lewat seper empat. Aku memutuskan untuk sholat zuhur.
Ternyata mba Rere datang lagi ke Rumah. Ekspresiku melongo, heran.
“Ada yang ketinggalan, Mba?” tanyaku.
“Kenzo, ada temen kok tanyanya seperti itu?” jawab ibu.
“Lah ... tadi pan Mba Rere udah ke sini. Ya, Ken kira ada yg ketinggalan makanya nanya,” aku beralibi.
“Enggak, Ken. Mba ke sini mau ngecek keadaanmu aja. Tadi mba pulang, Kamu masih tidur. Oh iya kata pak Hari, gak papa Kamu gak usah masuk hari ini. Kamu libur dulu, istirahat katanya,” ucap mba Rere.
“Makasih ya, Mba. Jadi ngerepotin Gue.”
“Santai aja, oh iya Mba bawa sup nih. Di makan ya, Ken.”
Mba Rere membuka sup yang ia kemas dalam tepak. Suapan demi suapan, sup dari tangan mba Rere akhirnya habis ku makan. Hingga suapan terakhir ada suara pintu terbuka.
KREKKK ....
“Kenzo,” terlihat wajah Nada dari balik pintu.
“Nad,” jawabku.
“Eh,” Nada tersenyum melihatku yang sedang disuapi mba Rere.
“Ada apa, Nad?” tanyaku lagi.
“Ini, buku catatan tadi. Biar Lu bisa nyalin. Gue pamit ya?”
Ucap Nada yang menaruh buku di atas meja dan langsung kabur angkat kaki.
“Sepertinya Nada cemburu, Ken,” ucap mba Rere.
“Haha ... ya enggak mungkin Mba. Dia aja udah punya pacar.” jawabku.
Mba Rere mengangkat kedua bahunya.
Setelah beres menyuapiku, mba Rere pamit pulang karena ia masih harus bekerja.
Aku hanya di rumah dan tidak bisa kemana-mana karena ibu tidak mengizinkan aku melangkahkan kaki ke luar. Walau alasanku hanya untuk membeli nasi goreng.
Ibu yang berjalan untuk membelikanku nasi goreng. Ya Allah, Bu. Semoga ibu selalu diberikan kesehatan, do’a dalam hati.
***
Pagi ini badanku sudah sehat. Aku kembali melanjutkan menuntut ilmu sebagai mahasiswa di kampus ternama di Jakarta.
Ku keluarkan si matic yang dari kemarin hanya terparkir di rumah. Ku lap sebelum berangkat ke kampus dan ku stater.
“Ken, tungguuuu! Gue ikut!” teriak suara si cempreng Nada.
“Ceban dulu ye?” pintaku.
“Hem ... matre Lu!”
“Hahaha” aku tertawa.
Akhirnya, motor ku gas dan melesat pergi meninggalkan kontrakan. Hari ini cuaca mendung. Walau jam menunjukkan pukul delapan pagi, tapi langit masih gelap tertutup oleh awan hitam.
Ku pacu motor dengan kecepatan tinggi. Berharap, sampai kampus tidak kehujanan. Alkhirnya, sampai gerbang kampus. Hujan turun dengan lebatnya.
Aku buru-buru memarkirkan motor dan turun dari atas motor.
“Ken,” ucap Nada.
Aku mengangkat satu alis. Menggantikan ucapan 'apa?'
“Kamu jadian sama Mba yang kerja di southbox?” tanya Nada.
Ingin rasanya tertawa mendengar pertanyaan Nada.
“Emang kenapa?” tanyaku.
“Gak boleh, Eh maksudnya ....” ucapan Nada terputus.
“Gak jelas, Lu! Ayok masuk kelas nanti kita ketinggalan pelajaran Pak Dosen Killer,” ucapku sambil memegang pergelangan tangan Nada.
Kami sedikit berbasah-basahan karena tidak ingin kena semprot pak killer.
Shit! Udah dibela-belain, pak dosen cuma ngasih tugas aja. Gak masuk kelas. Nada duduk tepat di sampingku. Terlihat kekesalan pada wajahnya. Entah karena apa?
“Ken,” Nada kembali merengek.
“Apa?” jawabku tak meliriknya.
“Jawab,” ucap Nada.
“Apanya?” tanyaku yang sok-sokan bingung.
“Yang tadi,” timpal Nada lagi.
“Oh .... “ ucapku.
Terlihat Nada semakin jengkel. Aku teringat kata-kata mba Rere kalau Nada suka padaku. Apa iya sekarang Nada lagi cemburu? Ah, masa sih? Gimana bisa Nada cemburu sama cowok lain yang tak lain itu aku. Sahabatnya.
Entahlah.
Hingga pelajaran kampus berakhir, Nada masih dengan ekspresi wajah yang sama.
Aku mengalihkan pembicaraan pada Nada. Aku menanyakan tentang Fajri pada Nada. Wajahnya seketika berubah seperti orang yang sedang marah. Terlihat pada kulit wajahnya yang semakin memerah.
“Gue gak tau hubungan Gue sama Kak Fajri mau dibawa ke mana,” Nada tertunduk.
“Loh ... Kalian tuh kenapa lagi sih, Nad?” tanyaku heran.
“Nanti aja Gue cerita. Balik kampus nanti Kita ke kantin dulu, ya?” ajak Nada.
Aku menganggukan kepala.
***
Hingga jam kampus selesai. Nada masih saja memperlihatkan wajah membaranya. Hingga akhirnga aku di seret ke Kantin. Mungkin selama ini aku memang cuek padanya. Bahkan tak ingin tahu kebersamaan mereka. Karena aku berpikir Nada telah milik orang lain. Jadi aku memilih mundur, namun sepertinya aku salah telah menjauh dari Nada. Nada malah seperti terpuruk seorang diri.
Hingga kampus sepi, Nada masih saja duduk dalam kantin.
“Nad, mau ngomong apa?. Gue malu nih sama Ibu kantin yang sedang beres-beres,” ucapku.
Akhirnya Nada membayar minuman dan bergegas menarikku ke bangku taman. Terlihat ia menarik napas panjang. Mungkin butuh keberanian baginya untuk menceritakan masalah itu padaku.
“Ken, sebenarnya Gue ingin putus sama Kak Fajri. Gue takut,” pekik Nada yang terdengar bersuara parau.
“Takut kenapa, Nad?” aku menatapnya.
“Sebenarnya waktu lalu Kak Fajri hampir mau mencium Gue, Ken. Gue gak mau malah Kak Fajri hampir melecehkan Gue,” ucap Nada lirih.
“Selama ini Gue mempertahankan harga diri Gue. Di peluk pun, Gue gak mau apalagi dicium,” suara Nada semakin parau.
“Gue takut, Ken. Gue takut!”
Entah apa yang ku pikirkan saat itu. Aku memeluk tubuh Nada yang mungil. Membiarkan Nada menangis di pelukanku.
“Nad, sorry. Sorry, Nad.”
Hanya kata itu yang keluar dari mulutku. Aku merasa bersalah telah memilih menjauh dari Nada dan membiarkan dekat bersama Fajri.
Sekitar sepuluh menit, Nada ada dalam pelukanku. Hingga aku tersadar, akulah yang menarik Nada ke dalam dekapanku.
"Maksih, Ken. Hanya dalam dekapan Mu, Gue tenang. Jangan tinggalkan Gue, Ken. Gue gak mau kehilangan pelukan yang memberi Gue kenyamanan," pekik Nada lirih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 234 Episodes
Comments
🌍ɢ⃟꙰Ⓜ️🎯Fatimahᵇᵃˢᵉæ⃝᷍𝖒❁︎⃞⃟ʂ
Kayaknya Nada mulai punya rasa
2021-07-22
1
Ludiah
pacaran Shah am ken
2021-01-29
0
👑sandra Liu💣༺
hiks hiks😭😭😭
2020-12-19
0