Nada sudah kembali ke kampus. Ia berangkat bersamaku di pagi ini. Sehingga perjalanan macet pun kami lalui bersama. Nada terlihat ceria pagi ini. Namun, aku tidak begitu berharap lagi padanya karena terlalu takut untuk kecewa, walau hati kecil masih terlalu menyayanginya.
‘Nad, andai Lu tau. Sebenarnya Gue sayang banget sama Lu. Entah dari kapan?’ pekik dalam hati.
Langsung ku tepis semua lamunanku karena aku tersadar sedang berada dalam ruangan, sedang sesi pelajaran berlangsung pula.
Untungnya, sampai jam pelajaran kampus selesai aku masih bisa berkonsentrasi. Sehingga tak banyak menguras energi untuk berpikir.
“Ken, aku ikut,” ucap Nada yang mengejarku.
Nada mengekor dari belakang, sedangkan aku melaju ke arah parkiran untuk mengambil motor.
.
“Nad, tunggu,” ucap Fajri di luar gerbang.
“Ada apa lagi sih, Kak?” tanya Nada.
“Aku ingin kita ....” kata Fajri terpotong.
“Gak perlu lagi, ayok Ken, jalan!” perintah Nada.
“Tunggu!” tangan Nada di tarik Fajri.
“Lepasin!” ucap Nada.
“STOP!!!” ucapku. Akhirnya mereka diam.
“Kalian tuh kenapa sih?” tanyaku.
Hening.
“Ya udah. Nad, Lu turun urusin urusan Lu. Lu udah gede. Masalah kek gini kalian masih kek anak kecil aja. Lu juga Fajri, udah kawin lagak Lu masih kek bocah SD,” ucapku yang kesal.
“Ayolah, Nad,” bujuk Fajri.
Akhirnya Nada turun. Entah apa yang mereka bahas. Mulai sekarang, aku tak terlalu ambil pusing, aku menyampingkan perasaanku demi sahabatku.
Aku melesat menembus keramaian kota metropolitan.
Dreett ... Drett ....
Gawai bergetar. Aku hentikan laju kendaraan di pinggir jalan. Ku rogoh gawai yang berada dalam saku celana. Ternyata mba Rere yang WA.
‘Ken, malam ini seluruh karyawan Libur. Mau ada perbaikan tempat kata Pak Hari,’ isi WA dari mba Rere.
‘Oke! Thank’s infonya, Mba.’
Aku kembali memacu motorku. Panas terik disiang ini benar-benar menguras keringatku.
Aku membuka pintu kontrakan, sengaja aku parkirkan motor di teras depan.
“Udah pulang, Nak,” tanya ibu yang sedang menjahit baju.
“Udah, Bu,” ucapku.
“Tuh ... Ada sup buah tadi Ibu buatkan untukmu.”
Terlihat Ibu tersenyum.
“Bu ... Bu ... Asli, paling best lah. Saaaayang, Ibu,” ucapku sambil melingkarkan lenganku di atas pundak ibu yang sedang menjahit.
“Udah, sana gih.”
Tak banyak bicara, aku langsung melesat menuju dapur. Ku buka lemari es dan terdapat sup buah yang di taruh di panci yang cukup besar.
“Wuiihhh .... “
mataku membulat melihat buah yang ku suka. Banyak sekali macam buah di dalamnya terutama ada anggur.
‘Tapi Ibu dapat duit dari mana bisa bikin sup buah dengan macam buah yang harganya agak mahal bagi kami?’ pekik dalam hati.
Aku menikmati semangkuk sup buah buatan ibu di teras depan, sambil melihat lalu lalang kendaraan yang tak terlalu ramai karena di jalanan ini hanya jalanan kampung bukan jalan utama.
Jarak teras ke jalan tidak jauh, mungkin hanya dua meter saja. Tidak ada pekarangan yang luas paling hanya satu meter saja.
Debu jalanan pun sering masuk ke teras kontrakan kami. Tak ayal ibu sering batuk, terlebih kalau kendaraan tua berasap tebal yang melintas.
“Allhamdulillah, nikmat,” aku mengusap perut yang tak juga membuncit.
“Nada?” ucapku pelan.
Terlihat Nada pulang kampus tanpa diantar pulang Fajri. Mata hanya mendelik. Ada rasa heran di dalam sini. Tapi, tidak mungkin juga aku menanyakan ini pada Nada.
Drett ... Dertt ....
‘Ken, ke Monas yuk? Mba udah lama gak pergi ke sana,’ isi WA dari mba Rere.
‘Oke! Gue jemput ke kost Mba Rere?’ balasku.
‘Gak usah, ketemuan di Monas aja.’
Hingga akhirnya, setelah pemberangkatan di rencanakan. Selepas sholat magrib aku bersiap-siap pergi ke monas.
Ada rasa senang, karena merasa ada sosok kakak perempuan yang memperhatikan. Mba Rere sudah ku anggap kakak sendiri begitu pun sebaliknya. Sayangnya mba Rere ke padaku sebatas sayang kakak terhadap adiknya.
Aku tahu, mba Rere sudah punya pacar. Tapi entah, pacarnya yang mana? Tapi aku merasa nyaman terhadap mba Rere mungkin karena pemikirannya yang dewasa.
Sampai tujuan, aku memarkirkan motor. Ku telpon namun gak diangkat. Akhirnya aku memutuskan duduk di atas motorku yang sudah ku parkirkan.
Lima belas menit berlalu akhirnya terlihat motor mba Rere. Motor pun di parkir berdampingan supaya gampang mencarinya waktu pulang nanti.
“Hai ... Ken,” ucap mba Rere.
Aku tersenyum.
“Udah dari tadi?” timpal mba Rere.
“Belum, sekitar lima belas menit Gue tunggu di parkiran,” jawabku.
“Maaf ya, tadi macet parah,” ucap mba Rere memberikan keterangan.
“Iya, sante ae Mba.”
Kami pun masuk ke halaman Monas. Tidak banyak yang kami lakukan, hanya berputar-putar mengelilingi monas kek obat nyamuk.
Setelah capek, akhirnya mba Rere memutuskan untuk duduk di bangku taman yang terang dengan sorot lampu taman.
“Ken, maaf ni kalau Mba lancang,” ucap mba Rere.
“Paan, Mba?”
“Mba perhatiin, sebenarnya Kamu suka ya sama Nada?”
Aku terdiam.
“Ken?”
Masih terdiam.
“Kenzo!” mba Rere menepuk pundakku.
“Itu semua gak mungkin terjadi Mba,” ucapku sambil melihat ke langit malam.
“Kenapa?” tanya mba Rere sambil memberikan sekaleng minuman soda.
Aku menerimanya.
“Karena ia balikan lagi sama mantannya dan gak mungkin juga, karena Gue orang miskin Mba,” ucapku, sembari membuka penutup kaleng yang masih tersegel.
Mba Rere terdiam. Malah jadi dia yang sekarang curhat kalau sebenarnya pak Hari itu adalah kekasihnya. Namun, hal itu disembunyikan karena takutnya karyawan lain menilai enggak profesional kerja. Jadi, jalinan kasih mereka sengaja mereka sembunyikan.
Yang membuat mba Rere bimbang saat ini sama dengan perasaanku. Katanya pak Hari orang berada, ada rasa takut malah nanti dikucilkan apabila nanti mereka telah berumah tangga.
Wajar, memang wajar menurutku. Ada rasa minder.
Mba Rere menyambung. Katanya, pak Hari itu seorang duda belum punya anak. Jadi untuk melangkah hidup bersama pak Hari, ada rasa takut dalam hatinya.
“Ikutin kata hati Mba Rere. Apa yang menurut Mba baik? Belum tentu juga Pak Hari menjadi duda karena kesalahannya. Sekarang yang dapat membantu Mba, hanya hati Mba Rere.”
Mba Rere terdiam.
Sepertinya, mba Rere benar-benar menyayangi pak Hari. Dan pak Hari di mataku juga merupakan orang yang baik walau menurutku orangnya kaku. Mungkin karena usia ku dengannya terpaut cukup jauh atau mungkin itu karisma seorang atasan? Entahlah.
Malam ini langit begitu cerah, cahaya bulan yang hampir bulat sempurna telah menambah indahnya malam. Suasana di Monas sangat ramai, banyak sekali muda mudi yang jalan bergandengan tangan. Mupeng Geu, pekik dalam hati.
Jam di tanganku menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Aku mengajak mba Rere pulang.
“Ken,” ucap mba Rere.
Aku menoleh.
“Thank’s, ya. Atas waktunya malam ini?” timpalnya.
“Iya Mba, sama-sama. Gue juga seneng bisa cerita sama mba Rere.
Mba Rere tersenyum.
Kami berjalan menuju ke parkiran. Aku memarkirkan dulu motor mba Rere, baru aku mengeluarkan motorku dari tempat parkir. Kami melesat dari parkiran menuju rumah masing-masing. Tapi kami masih berdampingan karena masih satu arah.
***
“Ken, Mas Hari,” ucap mba Rere seperti keceplosan ngomong Mas di depanku.
“Mane?”
Mba Rere menunjuk ke arah parkiran dekat rumah sakit. Terlihat, pak Hari menuntun seorang wanita.
“Wanita itu siapa, Ken?”mba Rere turun dari motornya, seketika air mata mba Rere terjatuh.
‘Lah ... Kok nanya Gue? Pan Die pacarnye,’ pekik dalam hati.
Terlihat sekali kalau perasaan mba Rere selembut sifat yang selalu ia perlihatkan padaku. Memang orangnya tidak pernah terlihat emosi. Kalau ia panik paling ia ngoceh sendiri. Malam ini mba Rere menangis, mungkinkah karena kecewa pada pak Hari?
“Mba, are you ok?” aku mencoba menyadarkan mba Rere yang mematung, dengan memegang kedua pundaknya.
Mba Rere memeluk erat tubuhku. Tubuh mba Rere termasuk tinggi untuk ukuran wanita sekitar 170 cm. Tubuh tingginya itu kini berada dalam dadaku.
Tanganku terasa kikuk untuk menyentuh walau tidak ada niat sama sekali untuk mengambil kesempatan. Rasa segan yang lebih mendominasi karena mba Rere sudah ku anggap sebagai kakak ku sendiri.
Aku tak berbuat apa-apa ketika mba Rere menangis di dadaku. Aku menunggu hingga beberapa menit, akhirnya mba Rere melepaskan pelukannya.
“Maaf, Ken. Mba enggak sengaja,” ucap mba Rere yang sedang mengusap air matanya.
Tiba-tiba aku malah teringat Nada yang dulu menangis ketika telah menghadiri acara perkawinan Fajri.
“Iya, gak papa mba.”
Akhirnya aku bermaksud mengantarkan mba Rere pulang ke kostnya. Aku mengekor motornya dari belakang tanpa ia menyadarinya.
Aku khawatir dengan keadaannya saat ini. Hingga sampai di depan gerbang kost mba Rere, ia baru tersadar bahwa aku membuntutinya.
“Loh ... Ngapain Kamu di sini, Ken?” tanya mba Rere heran.
Aku tersenyum.
"Sengaja Gue ikutin, Gue khawatir dengan kondisi Lu saat ini, Mba. Ya udah buru masuk gih,” ucapku.
“Iya. Ya udah, makasih ya, Ken. Kamu langsung pulang ya? Aku juga mau langsung istirahat.”
“Iya, Mba. Gue gak bakal mampir kok. Udah jam sembilan lewat,” aku terkekeh.
“Dasar! Ada-ada aja Kamu,” terlihat senyum tipis pada bibirnya.
Aku berlalu pergi meninggalkan kost mba Rere. Cuaca yang seharusnya membuat hati senang. Tapi, alam seperti tak memihak pada hati mba Rere saat ini.
Ada rasa kasihan padanya. Tapi aku harus bagaimana? Secara tertulis gede banget larangan untuk tamu berkunjung di atas jam sembilan malam.
Hingga tak terasa, aku sudah sampai di depan kontrakan. Aku membawa kunci kontrakan jadi tidak mengganggu istirahat ibu.
Ku masukan motor dan tak lupa mengunci pintu depan setelah aku berwudu untuk menjalankan Shalat isya.
Ku langkahkan kaki ke atas tangga. Satu per satu aku mulai melewati anak tangga sampai terlihat pintu kamar.
Ku raih handle pintu dan ku dorong. Aku mulai mengerjakan Shalat isya dan membenamkan tubuh di atas ranjang. Ku hirup napas panjang lalu ku buang, dengan harapan hati lebih tenang dari sekarang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 234 Episodes
Comments
🍾⃝⃡ ⃯sͩᴀᷝʙͧɴᷠᴀͣ•᭄͜͡
Ken kamu sama aqu aja yaa pasti ga akan kecewa kalo sama aqu.🤣🤣🤣
2021-03-10
2
RN
maaf abg udah lama baru mampir aini🙏🙏🙈
2021-01-04
0
👑sandra Liu💣༺
babang ken aq jga mau pinjam pundak mu boleh,,,, pen nangis tpi modus🤣🤣🤣
2020-12-19
0