Drett ... Drett ....
Gawai bergetar di atas meja belajarku. Aku meraihnya dan membaca pesan dari Nada.
(Ken, makasih ya bajunya.)
Nada mengirimkan fotonya yang sedang memakai baju yang ku berikan tadi.
(Sama-sama,) ucapku dan ku selipkan emoticon tersenyum di dalamnya.
.
Hari ini, aktivitas hanya ku habiskan dalam kamar. Paling ke luar rumah untuk mengantarkan jahitan baju-baju ibu yang telah selesai.
Aku kembali masuk ke dalam kamar. Kamar yang sempit dan terkesan acak-acakan. Ku mengisi waktu untuk membereskan kamar yang semrawut. Ku tata ulang barang-barang yang semrawut dan ku pisahkan barang yang sudah tak terpakai untuk ku buang.
Terdengar langkah kaki yang mengarah ke arah sini. Aku menoleh.
“Nada?”
Terlihat Nada mendekatiku. Ia berjalan ke arahku.
“Lagi ngapain, Lu? Tumben rajin,” ucap Nada.
Aku tersenyum.
Terlihat keringat mengucur dari keningku. Nada mengusap pelan dengan tangannya.
“Udah, istirahat dulu, yuk. Entar gue bantuin,” ucap Nada.
Nada mengeluarkan wadah kecil dari kantong plastik.
“Makan dulu nih.” Nada memberikan semangkok puding.
“Tapi tangan Gue kotor, Nad.” Aku beralasan.
“Manja, Lu! Kan makannya pakek sendok, bangke.”
Aku memainkan alis, kasih kode agar Nada mau menyuapiku.
Akhirnya Nada menyerah melihat tingkahku yang mungkin menyebalkan di hadapannya. Puding pun meluncur ke mulutku. Aku tersenyum dan memandangnya.
Aku terus memandang Nada hingga pada akhirnya aku kepergok ketika aku memandang dan tersenyum melihat wajah Nada.
“Apa Lu liat-liat? Lu baru sadar kalau gue cantik?" ucap Nada sambil menyendok puding yang ada di mangkok.
Aku memandangnya, merapi kan rambutnya yang yang sedikit berantakan. Nada memegang sendok yang berisikan puding. Namun suapannya tertahan tatkala ia sadar ketika aku menatapnya.
Netra kami saling bertatapan. Detak jantung semakin mengencang. Terlihat semburat memerah di pipi Nada. Entah ia malu atau gerogi ketika ku menatapnya.
“Nad, jangan sedih lagi, ya,” ucapku berbisik di telinganya.
Nada mengangguk.
Suapan demi suapan telah Nada berikan, hingga tak terasa, puding yang ada di mangkok telah habis ku makan.
“Ayok, mulai lagi beres-beresnya, gue bantuin deh,” ucap Nada yang bergegas bangkit setelah menyuapiku.
Akhirnya aku mulai membereskan kamar yang berantakan. Poster-poster lama juga akhirnya ku turunkan. Terlihat Nada naik ke bangku tinggi yang aku ambil dari bawah. Bangku itu bergoyang hingga Nada hilang keseimbangan.
“Awas, Nad!”
Hampir saja Nada terjatuh, untunglah. Aku sigap menangkapnya dari bawah.
Tubuh Nada bergetar saat berada dalam gendonganku. Mungkin ia syok telah terjatuh dari bangku barusan. Berkali-kali netra kami saling memandang. Berkali-kali juga detak jantungku mengencang seiring netra saling bertatap. Aku menurunkan tubuh mungil Nada.
“Lu gak papa, Nad?”
Nada menggelengkan kepala.
“Ada yang luka gak?”
“Enggak ada.”
Nada beringsut pergi dan kembali membereskan kamarku. Aku memperhatikannya. Namun sepertinya Nada malah jadi salah tingkah, terlihat ia membereskan barang yang sudah tak terpakai malah ia balikin lagi ke tempat semula.
“Nad, itu pan udah di pisahin mau Gue buang,” ucapku menyadarkan Nada.
Sepertinya Nada tersadar ketika ia melihat barang yang mestinya di buang malah ia acak-acak lagi.
Nada nyengir. “Maaf, gue lupa, Ken.”
“Ya udah, yang ini yang mau di bakar pan? gue bakarin di luar, ya?” Nada kembali mengemas barang dan berlalu pergi menuruni anak tangga.
Aku memperhatikan Nada dari atas jendela kamar. Oh iya, mungkin kalian heran dengan posisi kamarku dan Nada yang bersebelahan. Aku mau menjelaskan, kamar Nada itu di bawah. Sedang kamarku berada di atas. Kenapa bisa bersebelahan? Karena tanah pada bangunan rumah Nada berada di atas. Sedangkan tanah pada kontrakanku berdiri di bawah. Jadi kamarku yang berada di lantai dua sejajar dengan kamar Nada yang berada di bawah.
***
“Ken, Kak Fajri ngajakin ketemuan. Gue harus gimana?” tanya Nada yang berada di sudut ruangan kampus.
“Serah, kalau Lu merasa kuat kagak nangis lagi, yaa temuin aja,” ucapku.
“Tapi gue butuh teman, temenin gue ya?” Wajah melasnya dipasang.
“Hmm ....” Aku mendehem.
“Kok hmm ... sih? Ya, Ken? Temenin Gue plisss ....”
“Ya udah, kapan?”
“Nanti, sepulang dari kampus di restoran. Oh iya, Lu pakai baju couple yang kemarin Lu beli, ya?” Nada merapatkan kedua tangannya seperti isyarat memohon kepadaku.
Akhirnya, sepulang dari kampus. Aku dan Nada melesat pulang karena permintaan Nada yang mengharuskanku memakai baju couple.
Ada perasaan gak enak sebenarnya, karena aku merasa akan terseret dalam masalah Nada dan Fajri. Tapi whatever lah, toh mereka juga udah putus ini. Itu terjadi juga karena ulah si Fajri, pekik dalam hati.
Akhirnya, Nada menyusul ke kontrakanku. Memberikan kabar kalau kita berangkat siang ini dengan alasan agar sore hari aku masih bisa perform alias ngamen di southbox.
Setelah sampai di restoran, terlihat Fajri melambaikan tangan. Kami mendekat, menghampiri meja Fajri.
“Nad,” ucap Fajri yang terlihat kaget ketika Nada menggandeng lenganku.
Nada tersenyum. Lalu kami duduk di kursi tanpa diminta Fajri.
“Ada apa Kakak menyuruhku datang kemari?” ucap Nada.
“Ada yang mau aku omongin, Nad. Tapi hanya empat mata,” ucap Fajri yang terkesan mengusirku.
Aku beranjak dari kursi yang aku duduki. Namun, tangan Nada menahanku. “Jangan pergi,” ucap Nada.
“Aku gak mau bicara kalau Kenzo pergi, mending Aku gak usah ngomong sama Kakak!” Nada beranjak dari tempat duduknya.
“Oke, oke! Ya udah, kalian duduklah.”
Aku dan Nada kembali duduk di kursi dalam satu meja. Fajri mulai bercerita, ia menceritakan bahwa dirinya di jebak oleh Nadia. Nadia memang hamil, tapi bukan olehnya. Pengakuan dari Fajri membuatku geram.
“Tau dari mana, kalau janin yang ada di perut Nadia bukan anaknya Kakak?” tanya Nada heran.
“Terakhir aku melakukan hal itu 2 bulan yang lalu. Tapi Nadia bilang udah telat tiga bulan, pliss ... maafin Kakak, Nad. Kakak masih sayang sama Kamu.” Fajri memohon.
“Aku udah maafin Kakak kok, tapi maaf. Aku enggak bisa kembali pada Kakak, hatiku kini menjadi milik Kenzo.” Nada menatapku dalam.
Entah ini rekayasa atau bukan. Yang jelas aku merasa senang mendengarnya, walau pada ahkirnya aku yakin Nada akan memberikan klarifikasi setelah jauh dari Fajri.
Whatever lah Nad, yang jelas Lu bahagia. Gue seneng, pekik dalam hati.
.
Benar saja, ketika Fajri keluar dari restoran. Nada memberikan klarifikasinya kepadaku.
“Ken, sorry ya. Gue ngaku-ngaku udah jadian sama Lu,” ucap Nada.
“Udah gue duga, kok. Tenang aja.”
“Bukan gitu, Ken. Gue tau Lu orang baik. Tapi saat ini, gue belum mau membuka hati untuk laki-laki lain, gue masih trauma,” ucap Nada tertunduk.
Aku mengusap rambutnya seraya berbisik tengil padanya, “Emang gue mau pacaran sama Lu? orang tergalak yang pernah Gue temui.”
“Kenzoooo!” Nada mencubit lenganku.
“Aduh, sakit Nad.”
“Biarin! Kan gue orang yang galak kata Lu.”
***
Selesai sudah, aku mengantar Nada bertemu Fajri di siang ini. Saatnya aku ngamen mencari dana untuk kuliah.
Kami bergegas ke parkiran untuk melanjutkan perjalanan pulang mengantarkan Nada. Motor berjalan dengan kecepatan sedang menuju rumah Nada.
Tepat di depan rumahnya, motor aku rem. Namun Nada masih duduk di atas motorku.
“Turun, Lu! Masih mau beduaan sama Gue ... hah?” Aku mengangkat satu alis.
“Kepaksa, dari pada gue di rumah sendirian,” ucap Nada.
“Wah ... Lu belajar bohong sama gue ya, sekarang.”
“Enggak, kata sapa gue bohong?”
“Barusan, gue yang bilang. Emang benarkan Lu bohong sama gue. Buktinya, noh babe lu keliatan dari sini,” ucapku sambil menunjuk ke rumah Nada.
“Pokoknya hari ini gue mau sama lu, bukan sama babe, Kenzoooo!” Terdengar suara kesal Nada.
Aku tersenyum. Bahagia.
Kembali ku pacu motor maticku melesat ke tempat biasa aku bersenandung yang menghasilkan pundi-pundi rupiah.
Ketika aku menunggu waktu datangnya perform, di sudut sana aku memperhatikan mba Rere yang memperhatikan kami, entah apa yang ia pikirkan. Mba Rere tersenyum.
Hingga datang waktunya, namaku dipanggil dari atas panggung. Aku pamit pada Nada seraya berlalu darinya dan naik ke panggung yang tidak terlalu besar.
Lagu demi lagu aku dendangkan. Terlihat di meja sana, Nada tersenyum dan sesekali mengikuti lagu yang ku nyanyikan. Bahagia hati ini, melihat sudah tak ada air mata pada wajah Nada. Tak ada air yang menetes dari matanya.
.
Kami melanjutkan perjalanan pulang. Seperti biasa, Nada minta jatah ice crem padaku. Aku pun memarkirkan motor tepat di depan mini market.
“Ayok turun!” Ajak Nada.
“Kagak, gue tunggu sini aja, ya? Gue laper pengen makan bukan ice cream,” ucapku yang menahan rasa lapar.
“Oh ... Lu lapar? Ya udah, cari nasgor, yuk? Gue juga lape.” Nada nyengir.
“Ya udah, lu beli ice creamnya dulu sana!”
“Gak jadi, gue mau makan aja sama lu.”
Akhirnya, kami kembali menelusuri jalan dengan pekatnya malam. Tiba-tiba, hujan turun dengan sangat lebat. Terpaksa Aku memarkir motor sembarang agar Nada tidak kehujanan.
“Nad, rehat di sini dulu ya?” Aku mengelap wajahku yang basah dengan telapak tangan.
Nada meraih tas kecilnya dan menahan tanganku yang sedang mengusap wajah yang basah ini. Nada mengeluarkan sapu tangan yang ada dalam tas nya. Ia menyeka lembut wajahku yang basah.
Aku terdiam, merasa canggung dengan keadaan ini. Bibir pun tak mau berucap apa-apa. Seperti tak ingin mengakhiri momen ini. Berharap dalam hati, hal ini selalu terjadi. Tanpa tersadar, aku melihat kedua mata Nada telah memandang wajahku yang sedang memperhatikannya. Buru-buru aku membuang muka setelah sadar, Nada juga sedang melihatku.
“Nad, makan di situ, yuk?” Ajakku sambil menunjuk ke arah samping.
Aku menunjuk ke tenda yang berdiri di pinggir jalan, di sana terpampang tulisan pecel lele.
“Yah, Ken. Gue gak suka lele,” ucap Nada.
“Yaelah, lu pesen yang lain lah. Pan ada juga tuh ayam bakar sama bebek bakar. Apa mau Fajri yang gue bakar?” Aku terkekeh.
“Sialan lu!”
Akhirnya Nada mengekor dari belakang. Aku memesan nasi sama lele penyet. Sedangkan Nada memesan ayam bakar.
Kami makan sambil menunggu hujan reda. Kelar makan, giliran mataku yang diserang ngantuk. Ditambah hujan yang memberikan efek dingin membuat semakin kuat perasaan ingin cepat-cepat naik ke atas ranjang untuk tidur.
Hujan mulai reda, kami melanjutkan perjalanan pulang. Namun, aku merasa heran karena Nada memelukku erat ketika di atas motor. Padahal dia sudah memakai jaket. Naon maksudnya ieu? (apa maksudnya ini?) pekik dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 234 Episodes
Comments
Inne Saptadji
Bahasa Sunda ibunya terlalu halus untuk bicara dengan anaknya... Karena ada b.Sunda ada tingkatannya, untuk yg lebih tua, untuk yg sebaya, untuk diri sendiri, dan untuk yg lebih rendah..
2021-11-16
1
ㅤIt's Kenzie_ㅤㅤ
sepertinya persahabatan cowok dan cewek menyenangkan
2021-03-03
0
🦐 Avi 🐾🐾
next
2021-01-21
0