Kami menempuh perjalanan sekitar satu jam. Aku membawa motor dengan kecepatan sedang. Hingga membuat kepalaku selalu kena toyor Nada. Untung gue pakek helm jadi anman deh kepala, pekik dalam hati.
“Buruan, Kenzo! Sini, Gue yang bawa!” ucap Nada.
“Jangan, Lu gak punya SIM.”
“Kate sape?”
“Kate Gue barusan.”
Lagi-lagi kepalaku kena toyor Nada.
“Pinggirin motornya,” ucap Nada sembari lengannya mengarahkan lenganku agar motor menepi di pinggir jalan.
“Bahaya, Nada!”
“Makanya pinggirin!”
Terpaksa, akhirnya motor yang sedang melaju dengan kecepatan sedang ini aku pinggirkan, sesuai dengan perintah Nada.
“Turun, Lu!” ucap Nada.
Aku turun. Nada memperlihatkan SIM-nya kepadaku. Dan didekatkan tepat di'kedua mataku.
“Nih, SIM Gue!”
“Bukan itu yang Gue maksud.”
“Terus?” tanya Nada bingung.
“Surat Ijin Mencintai,” ucapku.
Ea ... Ea ...
Namun, gombalan recehku enggak mempan untuknya. Tetap saja motorku diambil alih Nada. Nada memacu kecepatan yang lumayan kencang. Aku memilih diam dari pada kena toyor terus oleh Nada, pasrah.
Sesampainya di resepsi pernikahan, Nada sudah menatap Fajri yang berada dalam pelaminan. Aku melihat kedua netra Nada kini berkaca-kaca, seakan-akan tinggal menunggu satu kedipan. Air mata itu telah luruh ke pipinya.
Nada, kenapa sih Lu ngeyel setengah mati? Kenapa Lu sakiti diri Lu sendiri dengan cara seperti ini? pekik dalam hati.
Nada melangkahkan kakinya ke halaman, tempat di gelarnya resepsi pernikahan Fajri dan pasangannya. Nada mengisi buku tamu dan bergegas naik ke panggung resepsi. Wajahnya kini terlihat seperti tak ada beban atau pun kesedihan. Nada terlalu pintar menyembunyikan perasaan sedihnya. Namun, aku tahu hatinya telah hancur berkeping-keping.
“Selamat, ya.”
Nada memberikan selamat sembari berjabat tangan dengan Fajri dan mempelai wanitanya.
Di sini juga ada panggung kecil bagi yang mau menyumbangkan suaranya untuk kedua mempelai. Setelah Nada turun dari panggung resepsi, Nada mengajakku bernyanyi.
“Ken, nyumbang lagu yuk?” ajak Nada.
“Sape? Gue?”
“Kita,” ucap Nada.
“Emang Lu bisa nyanyi?” Aku meledek.
“Bisalah, bangke! Tapi, Gue pengennya Lu yang main gitar. Gue yang nyanyi. Bisa?” Ajak Nada.
Aku sedikit curiga, pasti dia mau curhat lewat lagu. Aku terlalu takut Nada malah mewek di panggung. Kalau cuma mewek, kalau si Doremi pingsan, gimana? Aku perang bathin.
“Woy! Malah ngelamun.” Nada mengagetkanku.
“Ogah! Gue gak bisa maen gitar!" Aku beralasan.
“Plissss ... Ken.” Nada mulai memohon dan memasang wajah melas.
“Ya udah, ayok!”
Aku terpaksa menuruti keinginan Nada, walau dalam hati aku tak rela. Tapi mau gimana lagi? Aku bukan apa-apanya Nada. Mana mungkin bisa atur-atur dia? Aku hanya sahabatnya. Akhirnya, aku meminta ijin untuk Nada menyumbangkan lagu ke MC yang ada di panggung. Hingga akhirnya, aku dan Nada naik ke atas panggung.
Nada tidak mengucapkan apa-apa kepada tamu-tamu yang menghadiri pesta perkawinan Fajri. Nada menatap kedua netraku, dan menyebut judul lagu yang mau ia nyanyikan. Akhirnya, aku memainkan gitar dengan terpaksa. Dan menyiapkan tenaga seumpama Nada pingsan.
JRENGGG ....
Ku 'tak bahagia, melihat kau bahagia dengannya
Aku terluka, 'tak bisa dapatkan kau sepenuhnya
Aku terluka, melihat kau bermesraan dengannya
'Ku 'tak bahagia, melihat kau bahagia.
Harusnya aku yang di sana, dampingimu dan bukan dia
Harusnya aku yang kau cinta dan bukan dia
Harusnya kau tahu bahwa cintaku lebih darinya
Harusnya yang kau pilih bukan dia.
Suara Nada lembut terdengar. Air mata pun tak tertumpahkan di panggung ini, mungkin Nada ingin menujukan pada Fajri tentang kekecewaannya dan ia tidak mau larut dalam tangis. Makanya Nada berusaha tegar tidak menitikan air mata di atas panggung ini hingga selesai perform.
***
Nada berlalu pergi melangkahkan kaki dari pesta yang masih digelar. Ia ke luar dari gerbang yang menjulang tinggi. Aku mengejarnya. Terlihat, Nada sedang berdiri menyenderkan punggungnya ke pintu gerbang yang menjulang tinggi.
Wajahnya ditutup dengan kedua tangannya, hingga hanya terlihat sedikit pipinya saja. Aku mendekat.
Entah kenapa, hatiku hancur melihat sahabatku menangis seperti itu. Aku bisa merasakan perasaannya saat ini. Aku berdiri tepat di depan Nada yang sedang menangis.
“Nad.”
Nada masih menutupi wajahnya. Masih terdengar tarikan napas yang terputus-putus karena menangis.
“Hey ....” Aku mencoba membuka kedua tangannya.
Terlihat air mata yang membasahi wajahnya. Tiba-tiba Nada membenamkan wajahnya ke dadaku.
“Nad,” ucapku
“Diem, Lu. Gak usah ganggu gue. Gue malu, Ken!” ucap Nada yang masih ada di dadaku.
“Malu kenapa?” tanyaku.
“Gue lupa gak pakek eyeliner waterproof, Bangke!”
“Wew.”
Memangnya, kalau cewek nangis masih memperhatikan penampilannya, gitu? Pekik dalam hati.
Aku tahu, itu hanya alasan Nada supaya aku tidak mengkhawatirkannya. Nada terlihat membersihkan air yang membasahi wajahnya dengan tisue yang ia ambil dari tas kecilnya. Air mata yang telus meluncur menjadikan matanya menjadi sembab.
“Ken,” ucap Nada.
“Hem.”
“Balik, yuk?”
“Lu yakin baik-baik aja?”
Nada tertunduk.
“Lu sih, ngeyel! Kan Gue udah bilang, gak usah datang. Maksa sih! Gue tau, kalau sebenarnya Lu terluka. Lu lagi berusaha menyembunyikan kesedihan Lu dari semua orang. Tapi Lu gak bisa sembunyiin dari Gue, Nad,” ucapku dengan nada lantang.
Aku bicara lantang semata-mata gak mau kalau Nada sampai terluka, ini semua sudah terjadi. Walau kesedihannya ia simpan dengan rapi terhadap Fajri. Namun, tidak dapat membohongiku. Aku terlalu mengenal dia. Bahkan, tanpa sadar aku kini belajar mengenal pribadinya.
“Jangan banyak bicara, Ken.” Nada membekap mulutku dengan tangannya.
Hening.
Mataku terbelalak, mulutku rasanya terkunci tak dapat lagi mengucapkan kata-kata. Kelu.
Masih hening dan tangan Nada masih membekap mulutku.
Tiba-tiba Nada memeluk erat tubuhku ketika netra telah saling memandang. Tangan yang tadinya membekap mulutku, kini telah melingkar di punggungku. Ada degup yang semakin kencang di dalam sini tiap kali Nada memandang. Air matanya tertumpah, dan aku mematung dengan perasaan yang entah.
***
Sepanjang jalan, nada memeluk seraya menyenderkan wajahnya di pundak’ku.
Nad, seandainya Lu tau. Dengan keadaan Lu yang seperti ini, Gue rasanya pengen balik lagi ke pesta itu dengan lengan yang terkepal dan memberikan hadiah bogem mentah untuk Fajri, pekik dalam hati.
Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibir Nada. Mungkin, ini merupakan salah satu hal terburuk di hidupnya. Hingga tak terasa, kami telah sampai di depan rumah Nada dengan penuh kebisuan.
“Lu balik gih, Gue mau istirahat di kamar,” ucap Nada.
“Ya udah, gue balik ya?”
Nada menganggukan kepala.
.
Hingga sore hari, akhirnya Aku berangkat ke southbox untuk perform di sana. Sepi rasanya ketika Nada tidak di sini bersamaku. Lagu demi lagu telah ku dendangkan.
Akhirnya Aku pulang dengan membawa fee yang telah diberikan. Ku parkirkan motor di mini market. Aku membeli ice cream dan coklat untuk Nada.
Tok ... Tok ... Tok ....
Jendela rumah Nada aku ketuk.
KREKKK ....
Nada membuka jendela kamarya.
“Ngapain Lu malem-malem dateng ke mari?” Suara Nada pelan seperti sedang berbisik.
Aku mengeluarkan ice cream con rasa strawberry dan coklat.
“Wahh ... ice cream,” ucap Nada sambil mengambil ice cream.
Nada langsung membuka bungkus ice cream dan langsung menjilatnya. Lahap.
“Lu, tuh galau apa lapar sih, Nad?” ucapku heran.
“Dua-duanya.” Sambil terus menjilati ice cream.
“Bagi, dong!”
“Ogah!”
“Pelit Lu!”
“Biarin.”
Hening.
“Ke luar, yuk?” Ajakku.
“Mau ngapain? Udah malem, Ken.”
“Bentaran doang, yuk.”
Akhirnya, Nada mau jalan bareng malam ini. Aku senang karena kini Nada terlihat jauh tenang. Aku memasukan motor ke kontrakan. Kami jalan kaki melewati beberapa rumah untuk sampai ke tujuan.
“Mau kemana sih, Ken?”
“Makan nasgor, lapar gue,” aku beralasan.
Kami berdua jalan berdampingan dengan ditemani sorot lampu taman di sepanjang jalan. Sepi. Karena memang waktu yang terlalu malam.
Hening. Mungkin karena penghuni rumah sudah tertidur.
“Bang, nasgor dua, ya? Makan di sini,” ucapku.
“Tinggal satu porsi, Bang,” ucap abang yang jual nasi goreng.
“Yah ... gimana, Nad?”
“Ya udah gak papa, pesan aja.”
Kami menunggu nasi goreng dengan silir angin malam yang mulai terasa dingin. Hingga akhirnya nasi goreng sudah tersaji di atas meja.
“Punya Gue!” Kami rebutan kulit daging ayam suir yang ada dalam nasi goreng.
Hingga akhirnya aku pasrahkan kepada Nada.
Ya Allah, rasa ini kok jadi melow gini, ya? Umpat dalam hati.
Gerimis pun turun, seakan menambah sahdu di malam ini.
Jiahhh! syahdu, ntar masuk angin Loh!
Kami memaksakan pulang setelah makan. walau gerimis melanda di malam ini.
Aku membuka jaket untuk menutupi kepala kami. Coba kalau ada daun pisang. Kek nya Gue bakal nyanyiin lagu Memori Daun Pisang dah.
wkwkwkwk..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 234 Episodes
Comments
🌍ɢ⃟꙰Ⓜ️🎯Fatimahᵇᵃˢᵉæ⃝᷍𝖒❁︎⃞⃟ʂ
kok ngakak ya
2021-07-22
1
💐⃞⃝⃟⍣⃝🌺﷽🆅🅸🅽🅰❶﷽⍣⃝కꫝ🎸᭄꧂
kenapa aku suka jalan ceritanya 🤭🤭
2021-06-30
0
🦐 Avi 🐾🐾
semangat bang othor💪💪
2021-01-21
0