“Bisa enggak, Lu gak usah tiba-tiba muncul di hadapan gue, Doremi?” ucapku sambil mengusap baju yang basah karena air minum yang tersembur.
“Lah ... kalau Lu gak ngelamun. Kagak ada yang kek gini, bangke. Lagian, apa sih yang Lu pikirin?” ujar Nada sembari menatapku.
“Gak ada.”
Aku melangkahkan kaki dan menuju tangga. Ku tapaki anak tangga satu per satu hingga tak terasa telah sampai tangga yang terakhir.
Ku buka handle pintu dan masuk ke dalam kamar. Ku benamkan tubuh ini ke atas ranjang setelah berhasil menghindari Nada.
Aku takut, kalau Nada sampai tahu perasaan yang mulai tumbuh. Entah, dimulai sejak kapan?
Aku memejamkan mata.
“Bangke!” ucap Nada.
Aku masih memejamkan mata seraya hati bergumam, palingan ini hanya mimpi.
“Bangke! Bangun!” Nada mengoyangkan tubuhku.
Aku terperanjat! tidak sengaja menarik tangan Nada hingga Nada terjatuh di dadaku. Akhirnya aku membukakan mata.
“Maaf, Nad. Gue gak sengaja,” Aku menjauhkan Nada dari dada ku.
Nada terdiam, entah apa yang ada dalam perasaannya saat ini. Nada yang dari tadi cerewet, saat ini membisu seribu bahasa.
Hening.
Aku terima kalau memang Nada marah atas ke’tidak sengajaan yang telah aku perbuat barusan.
“Enggak apa-apa, kok.” Nada tersenyum.
Terlihat, Nada seperti canggung dengan keadaan ini.
“Ya ... udah, gue pulang dulu, ya?”
Nada ke luar dari kamarku, dengan langkah kaki yang gontai. Entah apa yang Nada rasakan saat ini?
Aku di sini sedang merasakan degup yang semakin kencang. Perasaan yang membingungkan, entah dimulai sejak kapan?
Aku melihat Nada dari jendela kamar, terlihat Nada yang akan memasuki pagar rumahnya. Sesekali ia terlihat menggenggam kedua tangannya lalu tersenyum.
“Nah ... loh! Tuh si Doremi kenapa?” aku menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. Heran.
“Ken, Kenzo! Bantu Ibu, Nak,” suara ibu yang memanggil dari lantai bawah.
Aku bergegas menutup jendela, melangkahkan kaki untuk menuruni anak tangga. Ku hampiri ibu yang sedang berada di depan mesin jahitnya.
“Aya naon, Bu? (Ada apa, Bu?)”
“Punten pang ngajajap’keun ieu ka bu Meri, nya? (Tolong antarkan ini ke Bu Meri, ya?)” ibu menyodorkan baju yang telah selesai dijahit kepadaku.
Tanpa banyak tanya, aku segera meraih barang yang ibu kasih dan meluncur ke alamat yang telah ibu tulis.
Aku merasa, beberapa hari ini order menjahit ibu mulai menurun. Gimana caranya aku meminta uang untuk bayar uang semester? yang tinggal beberapa hari lagi mesti sudah dibayar.
Drett ... Drett ....
Gawai dalam saku celanaku bergetar, namun aku biarkan karena aku harus mencari alamat rumah ibu Meri. Aku menanyakan ke ibu-ibu komplek malah digodain, hadeuhhhh!
Hingga akhirnya, aku menemukan jalan buntu dalam gang kecil ini, aku memutarkan motor ke halaman rumah warga karena jalan yang terlalu sempit.
“Nyari siapa, Nak?” tanya seorang Ibu paruh baya.
“Rumah Ibu Meri, bu. Mau mengantarkan pesanan,” ucapku.
“Oh ... itu rumahnya, yang ada di ujung jalan sana,” sambil menujukan ke rumah yang berada di ujung jalan.
“Ya, udah. Saya titip motor sebentar ya, bu? Saya jalan kaki aja ke rumah Bu Meri.”
“Silakan ....”
Aku bergegas menuju ke arah rumah bu Meri dan meninggalkan motorku. Setelah selesai, aku kembali ke rumah yang tadi ku titipkan motor. Aku pamit dan cepat-cepat keluar dari gang sempit itu.
Aku baru teringat, tadi ada pesan masuk yang belum sempat ku baca. Ku ambil handphone, dan ku sentuh layarnya hingga terlihat pesan dari WA.
(Bang Kenzo, Aku Rere waitrees yang di southbox. Aku ada tawaran nyanyi nih. Bisa ketemuan enggak? Aku tunggu di southbox.) Isi WA.
(Oke, Mba. Gue OTW sekarang.)
Aku langsung meluncur ke southbox. Setelah aku membalas WA dari mba Rere. Segera ku parkirkan si matic dan bergegas masuk menemui mba Rere.
“Sore, Mba. Maaf, tadi Gue telat balas WA Mba. Nanggung lagi di jalan,” Aku beralasan.
“Iya ... enggak apa-apa, Ken,” ucap mba Rere.
“Terus, Gue mesti gimana, Mba?”
“Ini, dibaca dulu aja, Ken.”
Mba Rere memberikan selembar kertas, yang berisi surat perjanjian kontrak. Yang di dalamnya tertulis untuk menegaskan, selama kontrak kerja di southbox, vocalis tidak boleh nyanyi di tempat lain. Dan menyertakan Fee/gaji yang akan di dapat tiap kali perform.
Seketika mataku terbelalak melihat nominal sekali manggung, beda dengan fee yang kemarin ketika nyanyi jadi vocalis pengganti. Mungkin karena di luar kontrak. Aku menyerahkan kertas isi kontrak itu ke mbak Rere.
“Gimana? Tertarik gabung di sini bersama kami, Ken?”
“Iya, Mba.”
Akhirnya, aku disuruh ke ruangan kerja pak Hari. Katanya, pak Hari ini orang yang bertanggung jawab di sini. Pak Hari terlihat sibuk, ia hanya menyuruhku untuk tanda tangan kontrak kerja.
“Selamat bergabung bersama Kami, Ken!” ucap pak Hari sambil menyodorkan tangannya.
“Makasih, Pak.” Aku meraih tangannya dan kami bersalaman.
.
Setelah sholat isya, datanglah perusuh abadi. Siapa lagi kalau bukan Nada? Aku bergegas mengunci pintu, karena biasanya Nada nyelonong masuk tanpa permisi.
“Bangke!”
Terdengar suara Nada yang sedang mencoba buka handle pintu.
“Paan?” jawabku dari dalam kamar.
“Buka!” Sambil mengetuk pintu.
Hening. Aku tidak menjawab.
“Napa sih, Lu? Rusuhin Gue aja hidupnya?” tanyaku.
“Ayok, nanti Kita telat!” Nada menggeret tanganku.
Tanganku kini telah berada dalam cengkraman Nada. Kami menuruni anak tangga.
“Cing, Kita berangkat dulu, ya?”
“Iya, hati-hati!”
Seperti biasa kami melalui perjalanan malam ini dengan menunggangi motor matic. Motor kami mengurai kemacetan dengan menyelip-nyelip di antara kendaraan.
Hingga akhirnya, Fajri terlihat sedang menunggu di tepi jalan. Nada bergegas turun dan menghampiri Fajri.
“Udah dari tadi, Kak?” tanya Nada.
“Lumayan,” jawab Fajri ketus.
“Ya udah, Kita mau ke mana?” Nada bertanya.
“Ke laut aja, yuk?”
“Sebentar, ya Kak.“
Nada menghampiriku dan meminta mengikuti mereka dari belakang. Tanpa jawaban apa-apa lagi, akhirnya aku mengikuti dari belakang.
Aku sengaja memarkir motor agak jauh dari Nada dan Fajri. Aku takut mengganggu mereka. Aku melihat dari belakang, tangan Fajri mulai melingkar di pinggang Nada. Namun, dengan cepat Nada melepaskan tangan Fajri.
Akhirnya, aku mendekat ke pinggiran pantai. Namun, masih menjaga jarak dari mereka.
Aku memandang langit malam dan terlihat banyak bintang. Ombak yang tidak terlalu besar, iramanya sangat menenangkan. Semilir angin pantai yang membuat sejuk ke tubuh ini. Namun, tak bertahan lama. Kini, hawa dingin yang aku rasa.
Aku ambil hape dalam kantong celanaku. Ku sentuh layar hape lalu mencari play list music. Ku pasang earphone dan mencoba mendengarkan beberapa lagu. Hingga akhirnya, hati merasa bosan. Aku kembali duduk di atas motor.
Jam telah menunjukan pukul setengah sepuluh malam. Akhirnya, aku kirim pesan.
(Lu mau balik, enggak? Gue balik duluan, ya? Udah malem.)
Send.
(Iya, tunggu bentar lagi ya?)
Aku menunggu. Tak lama, sekitar sepuluh menit Nada menghampiriku. Namun aku melihat motor Fajri sudah tidak ada.
“Cowok lu mane?”
“Udah pulang.”
Aku melihat raut kesedihan di wajah Nada.
“Kenape lagi, Lu?”
“Enggak papa, ayok pulang, Ken.”
Tanpa menunggu komando, Nada langsung naik di jok belakang motorku. Aku menstater dan meluncur, melaju dalam kecepatan sedang.
Nada melingkarkan tangannya di pinggangku, entah apa maksudnya. Menyenderkan kepalanya ke punggungku. Aku memarkirkan dan mengerem motor.
“Nape, Lu?”
“Enggak apa-apa.” Nada terlihat murung.
“Jujur sama gue!”
Tiba-tiba Nada menangis. Sontak, aku heran dan langsung turun dari motor. Aku memandang wajahnya yang sedang tertunduk sembari ditutup dengan kedua tangannya.
“Nad ... hey?” Aku mencoba membuka kedua telapak tangannya.
Nada malah tambah nangis seraya memeluk’ku. Aku mengusap lembut rambutnya walau agak kaku karena ragu.
Akhirnya, Nada bercerita tentang apa yang membuat ia menangis. Nada meminta pada Fajri untuk ngomong sama babe’nya kalau mereka pacaran. Tapi, Fajri belum siap. Kalau Nada tetap memaksa, Fajri mengancam minta putus sama Nada.
“What?” ucapku.
Seketika, darah ini mengalir deras dan mendidih di titik suhu yang paling panas. Ingin rasanya kepalan ini menonjok wajah Fajri.
.
Masih terlihat raut kesedihan pada wajah Nada. Yang biasanya cerewet sekarang berbalik menjadi membisu seribu bahasa.
Kami berangkat ke kampus. Hingga, dalam kelas pun, sangat terlihat kalau Nada tidak konsen mengikuti mata pelajaran kampus. Terlihat tatapannya kosong, walau raganga sedang duduk di sini. Namun, jiwanya melayang entah ke mana.
“Nad. Sorry, ya? Mulai entar malam, Gue enggak bisa temenin Lu."
Nada mentapku, “kenapa?”
“Gue nyanyi di southbox, entar malem Gue mulai perform."
“Gue ikut ya, Ken?” terdengar dari suaranya kini tak seceria dulu.
***
Nada duduk di salah satu meja. Aku mulai bernyanyi. Satu per satu lagu ku dendangkan. Ku melihat, Nada masih menikmati lagu-lagu yang ku bawakan. Hingga pada lagu penutup, ada seorang pengunjung yang datang dan request lagunya bang Judika.
******! Nada bakal mewek enggak, ya? pekik dalam hati. Dengan terpaksa, aku menyanyiakan lagu ini.
Telah lama kau tinggalkan ku
Sempat sia-siakan aku
Pergi jauh titipkan perih
Tak sedikitpun peduli
Seandainya kamu merasakan
Jadi aku sebentar saja
Takkan sanggup hatimu terima
Sakit ini begitu parah
Pergi jauh titipkan perih
Tak sedikitpun peduli
Seandainya kamu merasakan
Jadi aku sebentar saja
Takkan sanggup hatimu terima
Sakit ini begitu parah
Seandainya kamu merasakan
Jadi aku sebentar saja
Takkan sanggup hatimu terima
Sakit ini begitu parah
Riuh suara teriakan dan tepuk tangan dari pengunjung yang sekaligus menjadi penonton. Ketika suaraku melengking menyanyikan nada tinggi dari lagu bang Judika.
Di sisi lain, ada Nada yang tertunduk dengan kedua telapak tangan yang masih menutupi wajahnya. Tak lama kemudian, Nada pun bangkit dari tempat duduk dan memberikan tepuk tangan.
Nada masih bisa menyembunyikan kesedihannya demi mensuport penampilanku malam ini. Nad, gue berjanji. Gue akan selalu ada buat lu! Pekik dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 234 Episodes
Comments
🍾⃝⃡ ⃯sͩᴀᷝʙͧɴᷠᴀͣ•᭄͜͡
aaiih kog aqu mewek baca nya yaa..mlh ikut masuk ke dalam alur cerita nya 😭😭😭
2021-03-09
0
Nhya HA💜RM
teman laki2 dan teman cewe itu pasti ada tp sahabat cewe atau cwo itu ga ada...
pasti slah satux ada Baper 🤭🤭🤭
2021-01-30
0
N four B
next dan cemangat
2021-01-03
0