"Apa? Putus? cuma gara-gara itu kita putus?" tanya Virgo sengit.
"Iya! Kenapa? Gak suka? Yasudah!" ucapku tanpa jeda.
Kembali ku lanjutkan langkah yang sempat terhenti, berjalan meninggalkan Virgo sendiri.
"Tunggu!" Virgo kembali menarik pergelangan tanganku.
"Hanya karena aku bicara sama Aura, kamu mau kita putus? Gak masuk akal, Tamy. Kamu gak masuk akal," ucap Virgo kesal.
"Kamu bilang gak masuk akal? Coba bayangin, seandainya aku yang seperti itu sama lelaki lain, apa kamu gak akan marah?" tanyaku ketus.
Sejenak Virgo terdiam, bel sekolah berbunyi. Ku lepaskan pegangan tangan Virgo.
"Gak bisa jawab kan? Kalau begitu, bye!" ucapku mengakhiri.
"Kamu pikir bisa semudah itu saja lepas dari aku?" Virgo menarik lengan tanganku.
"Jangan harap kamu bisa lepas dari aku, Tamy. Ikut aku!" tarik Virgo keras.
"Eh ... tapi aku mau masuk kelas, Virgo!" panggilku.
Namun Virgo tak mendengarkan ucapanku, ia terus menarik pergelangan tangan sampai ke belakang sekolah. Melepaskan cengkraman tangannya di belakang sekolah.
"Apa-apa an kamu Virgo? Bel sudah berbunyi, aku gak ada waktu buat ngomong sama kamu."
Kembali aku melangkah pergi, namun Virgo menarik kembali pergelangan tangan, menempelkan badanku ke badannya.
Ku hempaskan tangan Virgo dengan kuat, menatap mata Virgo lekat-lekat.
"Apa yang kamu lakukan?" tanyaku sengit.
"Kita butuh ruang untuk bicara, biar aku jelaskan."
"Hoh, sorry tapi aku gak punya waktu." Ku kibaskan rambut dan membalikan badan dengan cepat.
Lebih cepat Virgo menarik kembali tanganku, menyeret badan untuk merapat ke dinding pagar sekolah dan mengurung badan dengan kedua tangannya.
"Dengarkan aku!" ucap Virgo sedikit menekan.
Ku pandangi wajah Virgo yang berubah menjadi sedikit sinis. Menatap tajam dengan bola matanya yang agak kecokelatan itu.
"Kamu hanya salah paham, Tamy."
"Mau salah paham atau enggak, aku gak peduli. Aku mau putus!" ucapku jutek.
"Aku gak mau!" balas Virgo menekan.
"Terserah!" Ku hempaskan kedua tangan Virgo yang tertumpu pada dinding.
Karena kehilangan tumpuhan, badan Virgo jatuh kedepan, sampai ujung hidungnya menyentuh ujung hidungku.
Pandanganku tak bisa lepas dari wajah Virgo, kurasakan deguban jantung yang berdebar kencang saat hangat napas Virgo menyentuh kulit pipi.
Tak lama Virgo tersadar dan menarik badannya agak kebelakang.
"Senang, kalau bisa begini?" tanya Virgo sedikit tersenyum.
"Jangan mimpi!" Ku hentakan kedua kakiku dan berjalan kembali memasuki koridor sekolah.
Sedikit berlari, memasuki ruangan kelas yang masih berisik suara anak-anak. Berarti guru belum masuk.
Ku ambil napas yang memburu dengan kencang, entah karena berlari atau karena menatap Virgo sedekat itu. Entahlah, yang pasti saat ini wajahku memerah padam karena grogi.
"Tamy, gak ganti baju?" tanya Shela memecahkan lamunanku.
"Eh, kenapa ganti baju?" tanyaku tak fokus.
"Hais, jangan bilang kamu salah lihat jadwal. Pagi ini kita kan olahraga."
"Hah, bajuku ketinggalan di mobil Ayah."
"Tumben diantar Ayah?" tanya Shela kembali.
"Sudahlah, lagian aku juga gak bisa olahraga kenapa harus pusing. Ayo," ajakku pada Shela.
"Enak banget ya jadi kamu."
Ku gandeng tangan Shela dan berjalan bersamaan menuju lapangan olahraga. Melihat pak Andi sudah ada di tengah lapangan dengan dua bola di tangannya.
"Ayo, cepat, cepat kesini semua!" perintah pak Andi.
Anak-anak yang lain berlari saat mendengar ucapan pak Andi. Aku berjalan dan duduk di kursi pinggir lapangan, melihat teman-teman berbaris dan melakukan perenggangan sebelum memulai permainan.
"Hey ... Virgo, Mike, Donny, masuk kelas sana!" perintah pak Andi saat melihat sekumpulan kakak kelas itu masih bermain futsal di lapangan.
"Kami gak ada guru, Pak. Biarin kami olahraga pagi," jawab Kak Mike enteng.
"Mau ada, mau enggak, saya gak peduli. Cepat masuk! Lapangan mau saya pakai!" perintah pak Andi kembali.
"Bapak mau ambil nilai kan? kalau gitu suruh mereka bertanding sama kami saja," ucap Virgo sambil tersenyum manis.
"Hais dasar, seperti itu bagaimana bisa menjadi ketua osis dulu? Nakal," ucapku geram.
"Saya gak butuh kalian, sudah pergi sana!" pak Andi mengambil bola futsal yang sedang mereka mainkan.
Seketika permainan mereka pun selesai. Virgo berjalan mendekatiku dan duduk di sisi.
"Tamy, gak olahragakan? makan bareng aku yuk!"
"Gak laper!" jawaku ketus sambil menyisir rambut pirang kebelakang.
"Walaupun gak lapar, temani aku makan saja ya."
"Jauh-jauh deh, bau tahu gak," jawabku sinis.
"Ciye, ada yang rumah tangganya lagi berantakan ini," ledek kak Donny pada kami.
"Tumben banget pasutri ini, bertengkar? Jangan sampai cerai sajalah ya," sambung kak Jerry memanasi.
"Sudah bubar," balasku sengit sambil berjalan menjauh, mendekati pak Andi.
"Ada apa Virgo? tumben Tamy jutek begitu?" sekilas aku masih mendengar pembicaraan mereka.
Ku hela napas dan berjalan mendekati pak Andi yang sedang mengabsen siswa.
"Tamy, kamu boleh ke UKS dulu, atau ke kantin," ucap pak Andi lembut.
"Haish, enak banget jadi Tamy pak. Dari dulu gak pernah dia olahraga," ucap salah seorang siswa di dalam barisan.
"Ssttt, diam. Tamy sudah dapat izin untuk gak mengikuti olahraha selama tiga tahun. Jadi kalian gak boleh ribut."
"Tapi kenapa, Pak?"
"Itu urusan pihak sekolah dan keluarga Tamy saja. Yang lain jangan banyak protes."
Aku hanya tersenyum dan duduk di belakang pak Andi. Memperhatikan teman-teman yang bermain dan berolahraga dengan semangat.
Dari dulu kesehatanku memang tidak baik, fisik yang sedikit lebih lemah dari pada anak seumuran yang sama denganku, membuat Ayah menjadi overprotectif padaku.
Ku pandangi Shela yang saat ini sedang bermain voli dengan raut wajah yang mulai kelelahan. Tanpa sadar bibir ini tersenyum tipis, memandang Shela dengan pandangan kosong.
"Kalau mau mencoba gak apa-apa, saya akan batasi kamu," ucap pak Andi sambil duduk di sebelahku.
"Gak apa-apa, Pak. Begini saja masih cukup baik," jawabku sendu.
"Tamy, lakukan saja yang ingin kamu lakukan selagi masih berada di SMA. Sedikit nakal itu, biasa."
Ku lepaskan senyum dan menyisir rambut kebelakang.
"Saya gak mau jadi nakal, Pak. Kasian Ayah, hanya punya saya, satu-satunya keluarga dia."
Pak Andi tersenyum dan menganggukan kepalanya.
"Kamu anak yang baik, dan juga cantik," ucap pak Andi lembut.
"Terima kasih," jawabku lembut.
"Aura, kondisinya juga kurang baik," sambung pak Andi lembut.
"Oh ya?" tanyaku sambil mengalihkan pandangan ke Aura yang sedang duduk di jejeran siswi lainnya, menunggu giliran untuk tanding dengan yang lainnya.
"Iya, saya hanya bisa membatasi geraknya, tapi dia ingin menjadi seperti yang lainnya," jelas pak Andi lembut.
"Memang Aura sakit apa, Pak?" tanyaku penasaran.
"Aura gak sakit, hanya saja dia ...." pak Andi menggantungkan kalimatnya dan memandang kearahku.
Ku naiki sebelah alis mata, menunggu pak Andi menyelesaikan kalimatnya yang masih menggantung.
"Aura hanya punya satu ginjal," ucap Pak Andi lemah.
"Eh ...."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Rani
Aku gak koment,....
Eh tapi malah komen....
2020-06-29
0
☠⏤͟͟͞R⚜🍾⃝ ὶʀαͩyᷞαͧyᷠυᷧͣ🏘⃝Aⁿᵘ
begitulah..kita jangan menganggap diri kita yang paling menderita.. padahal masih ada orang yang lebih menderita dibandingkan kita.. tapi yang membedakan semangat nya..
2020-03-12
4