"Syarat?" tanya Elsa dengan dahi mengerut.
"Ya, aku punya syarat untukmu agar bisa bersamaku."
Pikiran Elsa menerawang, menebak sendiri apa maksud laki-laki itu. "Katakan saja!" ucapnya walaupun terselip keraguan di sana.
Willy beranjak menuju meja dan membuka laci. Ia mengeluarkan sebuah album foto dari sana lalu memberikan pada Elsa. Ragu-ragu gadis itu membuka album foto dimana ada banyak foto Shanum.
"Apa yang harus kulakukan dengan foto ini?" Elsa terlihat bingung.
"Dia adalah satu-satunya wanita yang ku sukai. Syaratnya adalah kau harus bisa menjadi seperti dia."
"Tapi bagaimana aku bisa menjadi sepertinya? Kami dua orang yang berbeda. Aku tahu dia sangat cantik. Tapi ..."
Menghela napas panjang, Willy menatap Elsa lekat-lekat. "Hanya itu syaratnya. Kalau kau tidak bisa maka lupakan."
Elsa diam membatu. Dalam pikirannya ada sekelumit pertanyaan, apakah Dokter Willy meminta semua mantan kekasihnya untuk berdandan dan berperilaku seperti Shanum. Dan jika tidak bisa, maka ia akan meninggalkan begitu saja.
"Apa tidak ada syarat lain?"
Willy meletakkan gelas yang berada di genggamannya, kemudian berpindah dan duduk di sisi Elsa. Refleks gadis itu menggeser posisi agar menjauh dari sang dokter. Kini ia berada di sudut lain di sofa itu dan meletakkan kembali buku album di pangkuannya ke meja. Namun, sepertinya Willy benar-benar ingin menakuti Elsa. Ia semakin menggeser posisinya mendekat.
"Ma-mau apa kau?" tanya Elsa dengan suara gemetar.
"Syaratnya lainnya adalah bersedia melakukan apapun yang ku mau."
Memberanikan diri, Elsa menatap manik hitam laki-laki itu, matanya bahkan membulat karena terkejutnya. "Apapun?" Pikirannya sudah menjelajah kemana-mana. Tentu saja kata 'apapun' yang dimaksud Willy adalah sesuatu yang tak terbatas. Elsa yang cerdas dapat menangkap dengan cepat.
"Kalau kau tidak bisa, maka lupakan saja dan pergi dari sini." Willy bangkit, dan meraih kunci mobil miliknya yang berada di atas meja. "Kau boleh menggunakan mobilku untuk pulang."
Gadis itu diam membisu, menatap kunci mobil yang masih menggantung di tangan Willy. Namun, ingatannya terus tertuju pada seseorang bernama Dimas. Bagaimana cara melupakan laki-laki itu agar dapat terbebas dari rasa sakit yang semakin hari semakin dalam. Elsa menatap punggung tegak laki-laki yang sedang beranjak menuju pintu, lalu berkata, "Bagaimana kalau aku menyanggupinya?"
Willy menghentikan langkah kakinya, lalu berbalik menatap Elsa. Senyum tipis yang begitu menggoda terbit di sudut bibirnya.
"Kau yakin?"
Tak sanggup menjawab dengan kata-kata, Elsa hanya merespon dengan anggukan kepala pelan, sehingga Willy segera mendekat padanya. Ia duduk di sisi gadis yang baginya masih terlalu muda untuknya itu.
"Kau pasti akan menyesal. Lagi pula kau masih sangat muda dan masa depanmu masih panjang. Jadi lebih baik kau pulang sekarang. Lupakan tentang apa yang telah ku katakan."
"Bukankah kau yang sudah menawarkan kesepakatan itu padaku? Sekarang kenapa kau malah memintaku untuk pergi?" lirih Elsa seolah menuntut penjelasan.
Willy menarik napas dalam, kemudian menghembusnya pelan-pelan. Sorot matanya kini kembali tertuju pada wajah gadis muda itu. Walaupun dirinya enggan peduli pada perasaan wanita yang ia tinggalkan dalam tiga bulan, namun Willy sadar bahwa Elsa berbeda. Ia tidak seperti teman kencan Willy selama ini. Sehingga tidak ingin membuat gadis itu terluka lebih dalam. Ditambah Trio Azkara, yang sudah pasti akan menentang hubungan itu.
"Elsa, aku belum pernah menjalin hubungan dengan gadis polos sepertimu. Kau pasti akan terluka lebih dalam lagi. Kakakmu benar, kau harus menjauh dariku. Jadi pergilah."
"Aku mau mencobanya."
Willy terkekeh pelan. Ia mulai merasa Elsa adalah seorang gadis keras kepala yang rapuh. Sebabnya ia tak ingin memulai permainan dengannya. "Tapi kau tidak akan mampu memenuhi syaratku."
"Kau kan belum menyebutkan syaratmu," ujarnya seolah syarat yang akan diajukan Willy dengan mudah ia penuhi.
"Baiklah, kalau kau memaksa." Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Willy menangkup wajah Elsa dan membenamkan ciuman di bibir gadis itu. Elsa yang terkejut hanya memelototkan kedua bola matanya, dengan irama jantung yang tak menentu. Ini adalah ciuman ke empat kali yang direbut laki-laki itu secara tidak terduga. Willy mulai menggerakkan bibirnya, memainkan bibir bawah Elsa, dan sesekali memberi gigitan lembut di sana.
Anehnya, Elsa sama sekali tak dapat bergerak atau pun berusaha melepaskan diri, walaupun dalam benaknya sadar, apa yang dilakukan Willy adalah salah.
"Kenapa diam? Kau bahkan tidak membalas ciumanku. Lalu bagaimana kau bisa menjalaninya. Seperti inilah aku, bahkan bisa lebih dari sekedar ciuman saja," ucap Willy sesaat setelah melepaskan ciumannya. "Sekarang pergilah dari sini." Willy berdiri dari posisinya. Saat akan melangkah, Elsa menarik tangannya sehingga langkah Willy terhenti.
"Aku tidak masalah." Dengan tatapan sendu, ia mendongakkan kepala. Willy bahkan dapat merasakan tangan Elsa yang gemetaran. "Aku bisa memenuhi syaratmu kalau hanya berciuman saja."
"Apa kau sedang menantangku?"
"Anggap saja begitu."
"Baiklah." Kali ini Willy tidak memberi Elsa sebuah pilihan. Ia tiba-tiba meraih tubuh gadis itu dan menggendongnya menuju kamar. Lagi-lagi Elsa terdiam, memikirkan apa yang akan terjadi padanya.
"Mau apa kau?" tanya Elsa gelagapan. "Turunkan aku!"
"Kau bilang mau mencobanya." Willy membaringkan Elsa di ranjang empuknya, lalu membuka kaus berwarna abu yang ia kenakan. Ia menarik selimut tebal yang coba diraih oleh Elsa, lalu melemparkan ke lantai. Secara reflek, Elsa mencoba untuk bangkit, namun Willy segera memposisikan tubuhnya di atas Elsa. Sungguh apa yang dilakukan Willy benar-benar gila bagi Elsa.
Dengan rakus dan menuntut, ia kembali memberi ciuman yang benar-benar membuat Elsa gugup, malu dan marah. Namun Elsa tidak dapat berbuat apa-apa, karena Willy benar-benar menguasai tubuhnya. Satu tangan Willy bahkan sedang membuka kancing piyama yang dikenakan Elsa, satu-persatu, dengan bibirnya yang kini menelusuri lekukan leher gadis itu.
Cairan bening pun menggenang di matanya. Memikirkan kesuciannya yang mungkin akan direbut paksa oleh seseorang yang baru ia kenal. Ketakutan Elsa berbanding terbalik dengan Willy yang semakin liar memperlakukan gadis itu. Hingga beberapa saat kemudian, Willy menghentikan cumbuannya saat menyadari ketakutan gadis itu. Sepertinya pelajaran itu sudah cukup untuk menakuti dan membuatnya jera.
Dalam posisi yang masih di atas tubuh Elsa, Willy berbisik, "Kau lihat, kan? Kau tidak akan bisa memenuhi syaratku. Baru juga ciuman, kau sudah menangis. Bagaimana kalau aku benar-benar melakukannya? Kau akan apa? Diam, memukuliku, atau menikmatinya?" Ia turun dari posisinya setelah itu, lalu memakai kembali kaus yang tadi terlempar ke lantai. "Sekarang pulanglah."
Setelah dirasa cukup untuk menakuti Elsa, Willy mengayunkan langkah meninggalkan kamar itu. Sementara Elsa masih terdiam di tempat tidur.
🍁🍁🍁🍁🍁
"Jadi kau akan pulang?" tanya Willy sesaat setelah Elsa muncul dari balik pintu kamarnya. Melihat mata Elsa yang sembab, timbul rasa bersalah dalam diri Willy, namun cara ekstrim inilah satu-satunya yang dapat ia tempuh untuk menakuti Elsa, agar berubah pikiran dan memilih menjauh dari dirinya.
"Kalau aku bilang aku sanggup memenuhi syarat itu, apa kau akan membantuku?"
Raut wajah Willy pun berubah, saat mendengar ucapan gadis di depannya. Ia menatap wajah Elsa lekat-lekat, lalu menepuk tempat kosong sisinya agar gadis itu segera mendekat dan duduk di sana.
"Maafkan perbuatanku tadi. Mungkin aku menyesal sudah menawarkan kesepakatan bodoh ini. Tadinya aku pikir kau sama seperti gadis lain di luar sana." Willy mengusap rambut panjang Elsa dengan lembut. "Karena itu lah, aku putuskan untuk tidak terlibat kesepakatan apapun denganmu."
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Lilisdayanti
🤦🤦 AU ah lieerrrrr 🤭
2023-12-08
1
Enung Samsiah
ngebahas kesepakatan smpi 3 bab blm kelar, aduuhh,, 😇
2023-11-16
0
Lutha Novhia
ayolah wil
kalian pst bisa slg mmbantu n mnguntungkan tentunya
2022-12-10
0