Di perjalanan pulang dari café Love dalam mobil Seno, Nisa kembali larut dengan novelnya. Seno sudah beberapa kali berdeham untuk memulai obrolan, tapi Nisa tetap khusyuk tenggelam dengan cerita yang ia baca. Mulai jengah dengan situasi, akhirnya Seno angkat bicara.
"Rasanya gue mulai cemburu sama novel itu. Lo udah berapa kali nyuekin gue gara-gara novel itu," kata Seno sebal.
"Berisik lo! Ini novel bagus tauk! Lo mau baca juga?"
"Enggak deh, makasih." Seno makin sebal.
Tidak tahu kenapa rasanya Seno tidak suka Nisa membaca novel itu. Ini semacam feeling, firasat, atau apalah Seno tidak mengerti, novel itu seperti akan membawa Nisa jauh darinya.
"Karya siapa emang?" tanya Seno. Nisa melihat sampul novel. "Karya Vee Alledro. Kayaknya dia novelis baru."
"Gue gak suka baca novel. Mending maen game, deh."
"Itu elu, gue enggak."
"Gue gak nyangka lo mau naik motor sama Yuda ke café Love. Seorang Nisa mau naik motor sama bocah ingusan? Wow, itu benar-benar sesuatu," tutur Seno mengalihkan pembicaraan. Terlihat bibir Nisa sedikit tertarik ke atas lalu ia mulai menutup novelnya. Seno senang Nisa menutup novel itu.
"Gue juga gak tahu, gue kayak kehipnotis sama dia."
"Bukan kehipnotis, tapi lo emang terpikat sama bocah itu, makanya lo mau."
"Hehehe lo bener, Sen."
"Eh Nis, lo dapet WA dari Lala, gak?"
"WA apaan?"
"Dia ngundang kita untuk syukuran rumah barunya. Masa gak ada, sih?"
"Bentar-bentar gue cek hape gue dulu," kata Nisa sambil mengobrak-abrik tasnya mengambil hape.
"Bener nih, ada. 'Danisa sayang, nanti hari minggu datang ke syukuran rumah baru gue ya, nih alamatnya : The Garden Village, jalan Merpati no 20. Pokoknya gue harus liat lo ada di sana jam lima sore gak boleh enggak, TITIK.' Sen, titik nya pake huruf capital semua. Bales gak nih?"
"Bales aja. Gue mau dateng," ujar Seno.
"Oke deh."
🌸🌸🌸
Sudah tiga hari sejak kejadian di café Love, Yuda mulai bersikap biasa lagi pada Nisa, ia juga mulai menemani Nisa kerja luar lagi, tapi ketika hubungan mereka kembali membaik tiba-tiba ada keputusan dari perusahaan yang mengharuskan Yuda pindah bertugas ke luar kota.
Nisa memandangi sebuah amplop putih berisi SK pegawai Yuda, sebulan lebih ini Nisa senang sudah mengenal Yuda, seorang pria muda tampan dan seorang pekerja keras. Siapa pun pasangannya nanti, Nisa yakin dia adalah wanita paling beruntung di dunia.
Karena Nisa tahu Yuda adalah orang yang bisa melakukan apapun untuk wanita yang ia cintai.
Nisa memanggil Yuda ke ruangannya, ia mengetuk pintu ruangan Nisa, dan Nisa mempersilahkannya duduk.
"Ada apa, Bos?" tanya Yuda. Nisa berdeham sambil membolak-balik amplop putih panjang di tangannya.
"Yuda, kamu masih ingat sama ucapanku waktu kita makan setelah kerja luar?"
Yuda mengerutkan keningnya nampak mengingat-ingat.
"Aku enggak ingat, Bos," katanya. Nisa tersenyum. "Aku bilang kinerjamu bagus, kalau kinerja kamu tetap dipertahankan seperti ini sampai masa percobaanmu selesai, perusahaan enggak akan mempertimbangkan lagi untuk mengangkatmu sebagai karyawan tetap. Dan hari ini, di saat masa percobaanmu belum selesai, perusahaan sudah mengangkatmu sebagai karyawan tetap. Selamat ya ...," tutur Nisa. Wajah Yuda langsung semringah.
"Serius, Bos?"
"Iya serius," kata Nisa sambil tersenyum lebar.
"Ini SK-mu." Nisa menyodorkan amplop itu pada Yuda. Dengan semangat Yuda membuka amplop itu lalu membacanya, saat membaca SK, tiba-tiba raut muka Yuda berubah sedih.
"Aku ditempatkan di Bandung, Bos?" Yuda memastikan lagi. Dengan berat Nisa mengangguk. Yuda menunduk, lalu berkata,
"Tapi aku mau di sini Bos, bekerja denganmu membuatku nyaman. M_ maksudku, aku tidak mau jauh dari ...."
"Hm__Yuda," potong Nisa. Nisa tahu betul apa yang akan dikatakan pria itu. "Kamu tahukan ini kesempatan bagus buat kamu? Kamu diangkat ketika masa percobaanmu belum selesai, dan ini sangat langka, selama aku bekerja di sini kejadian seperti ini baru pertama kali terjadi. Kamu tahu perusahaan sangat menghargaimu, dan aku yakin karirmu kedepan akan lebih baik dariku," tutur Nisa, tapi nampaknya Yuda masih belum terhibur.
"Yuda, dengarkan aku! Kalau kamu berat ke Bandung hanya karena aku, baiklah, aku akan bersikap buruk padamu seperti kemarin. Kamu mau?" Yuda menggeleng.
"Makanya ... kamu masih muda, pintar, dan kamu pekerja keras. Jangan sia-siakan semua modal itu hanya karena wanita tua sepertiku. Aku sudah tua, kamu tahu, kan?"
Yuda bergeming.
Nisa mendekatkan wajahnya pada Yuda lalu berkata lagi, "Hei, di Bandung ceweknya cantik-cantik loh, serius aku enggak bohong! Dengan modal wajah tampanmu itu, pasti kamu mudah mendapatkan wanita manapun yang kamu mau. Hm__tapi kalau kamu kangen, nanti kalau proyek MRT atau kereta cepat selesai, perjalanan dari Bandung ke Jakarta akan ditempuh cukup tiga puluh menit aja. Cepet, kan?" Perlahan Yuda mulai menyunggingkan senyumnya.
Astaga, Nisa seperti sedang menyenangkan seorang anak SD saja!
"Oke deh, aku mau ke Bandung. Kebetulan di Bandung aku punya teman lama, jadi kayaknya aku enggak akan terlalu kesepian di sana."
Nisa menghela napas lega sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi.
"Baiklah, aku ke mejaku dulu, Bos. Terima kasih." Yuda bangkit berdiri, diikuti Nisa sambil mengulurkan tangan. Yuda menjabat tangan Nisa.
"Semoga sukses di tempat baru kamu, Yud," kata Nisa. Yuda tidak langsung melepaskan tangan Nisa, ia malah menatap Nisa dengan dalam, lalu berkata, "Walaupun kemarin kamu menolakku, tapi kamu tetap ada di hati aku. Kamu harus ingat itu!" Nisa tersentak dan mendadak hatinya mendung lagi. 'Oh my little boy ....'
Nisa cuma bisa mengangguk sambil menahan air matanya agar tidak sampai keluar.
🌸🌸🌸
Nisa mengambil ponselnya yang berdering di atas meja rias. Ia melihat siapa yang menelefon. Seno. Nisa tidak mengangkatnya, ia tahu Seno menelepon untuk memberi tahu bahwa ia sudah menunggu di depan. Nisa masih sibuk berdandan. Hari ini rencananya mereka akan menghadiri syukuran rumah barunya Lala.
"Sabar dikit dong, Ndut, bentar lagi, nih." Celoteh Nisa sendirian sambil sibuk membubuhkan maskara ke bulu matanya. Selang sepuluh menit Nisa selesai berdandan.
Karena ini adalah acara syukuran, Nisa memakai baju yang tertutup dengan memakai baju lengan panjang dipadu celana kulot, serta tidak ketinggalan handbag kesayangannya bermerk Louis Vuitton. Nisa tidak berbeda dengan wanita-wanita lain yang menyukai barang-barang mewah, tidak sedikit juga koleksi tas bermerk yang ia miliki, di kamarnya ada sebuah lemari khusus untuk menyimpan koleksi tasnya, Nisa punya tas merk Gucci, Prada, Armani, DKNY, bahkan Hermes yang harganya selangit itu. Karena kata orang, status sosial seorang perempuan dilihat dari tas apa yang mereka gunakan. Gaya busana gadis itu pun tergolong selalu stylish, bukan apa-apa, karena secara tidak langsung Nisa selalu ingin menunjukan pada Nadya bahwa ia lebih unggul darinya.
Nisa menyemprotkan minyak wangi pada bajunya sebelum berangkat. Saat ia membuka pintu, benar saja, Seno sudah menunggunya dengan muka kesal.
"Lama banget sih, lo!" Nisa menyeringai. "Sorry, deh," katanya.
"Ayo cepetan, kita udah telat, nih," kata Seno sambil ngeloyor ke lift.
🌸🌸🌸
Meski jalanan ibu kota minggu sore ini tergolong lancar, tapi entah mengapa Seno tidak merasa senang. Dari kemarin suasana hati pria itu sedang tidak enak. Ini seperti firasat, tapi tidak tahu ini sebuah firasat apa. Mungkin nanti dia akan mendapat jawabannya.
Sejam perjalanan mereka sampai di rumah baru Lala. Dari depan sudah banyak berjejer mobil mewah, maklum yang punya rumah anaknya pejabat. Melihat itu, Nisa dan Seno sedikit sungkan mau ke dalam, tapi nampaknya empunya rumah sedang menunggu mereka di teras, Lala melihat Nisa dan Seno berdiri di antara kerumunan orang-orang.
"Nisa ... Seno ...!" panggil Lala sambil melambaikan tangan. Nisa dan Seno menoleh ke arah suara. Senyum Nisa langsung meluncur pada Lala, lalu berjalan menghampirinya.
"Wah gila, jadi serame ini ya, syukuran rumah barunya seorang menantu pejabat," kata Seno. Lala tertawa. "Maklumlah, keluarga kita banyak banget soalnya, tapi dari banyaknya orang yang hadir sekarang, cuma lo berdua yang paling gue tunggu."
"Ah, bisa aja lo," kata Nisa. Lala menyeringai.
"Ya udah, kita masuk, yuk. Kita ngobrol-ngobrol dulu sama Brian. Sekalian kenalan sama temen-temennya."
Rumah Lala tidak terlalu besar, tapi tata ruangnya sangat pas. Tinggal di kompleks elit seperti ini tentu itu impian semua warga Jakarta. Lala salah satu segelintir orang yang beruntung bisa tinggal di sana.
Lala mengajak Nisa dan Seno ke kerumunan cowok-cowok yang tengah asik berbincang-bincang.
"Hei, kenalin ini sahabat-sahabat aku, ini Nisa, ini Seno." Dengan lantang Lala langsung mengenalkan Nisa dan Seno pada kerumunan itu, tanpa memerdulikan Nisa dan Seno kikuk dibuatnya. Kerumunan itu sontak menoleh pada dua makhluk yang kikuk itu.
Saat itu Nisa merasa waktu berhenti berdetak, bumi berhenti berputar, bahkan udara seperti lenyap seketika. Saat kerumunan itu satu persatu menoleh padanya, ada satu dari mereka yang sangat dikenalnya. Demi Tuhan ia sangat mengenalnya. Bagaimana ia tidak mengenalnya, orang itu, wajah itu, yang hampir sebelas tahun selalu menghantuinya kembali ia lihat. Sangat jelas. Walaupun ia terlihat lebih dewasa dari yang terakhir ia lihat, tapi Nisa masih sangat mengenalnya. Ia adalah Sang Zahir. Viko.
Saat melihat Viko, senyum Nisa langsung lenyap, ia sungguh syok. Seno nampaknya bisa merasakan gadis di sebelahnya sedang tidak nyaman. Seno melihat mata Nisa tertuju hanya pada satu orang, ia melihat orang yang sedang ditatap Nisa.
Seno bingung, apakah Nisa mengenal orang itu? Seno menyenggol lengan Nisa.
"Heh, lo kenapa, Nis?" bisik Seno. Nisa tidak menjawab. Ia masih syok. Saat itu juga Nisa ingin berlari. Berlari sejauh mungkin seperti waktu itu. Sungguh ia tidak mau melihat wajah itu lagi, tapi kenapa Tuhan malah mempertemukan mereka lagi?
Di sisi lain Viko juga sama syoknya dengan Nisa. Viko syok sekaligus senang bisa melihat Nisa untuk yang kedua kalinya di waktu yang tidak terduga. Pertama waktu di resepsi pernikahan Brian dan sekarang di acara syukuran rumah barunya Brian. Apakah Tuhan sengaja mengatur ini untuk mereka? Apakah ini jawaban dari doa-doanya selama sebelas tahun? Apakah Tuhan memberinya kesempatan untuk mengucapkan kata maaf yang belum sempat ia ucapkan sejak kejadian sebelas tahun yang lalu?
Dengan hangat Brian menyambut Nisa dan Seno lalu menyuruh mereka duduk bergabung dengan mereka. Dengan canggung Nisa duduk tepat di depan Viko.
"Mereka adalah temanku waktu kuliah di Singapura," tutur Lala. Viko tersentak, pantas setelah kecelakaan itu Viko sangat susah mencari keberadaan Nisa, ternyata Nisa dikirim oleh kedua orang tuanya ke Singapura.
"Nis, lo kenapa?" tanya Lala ketika melihat wajah Nisa yang tiba-tiba terlihat pucat.
"La, sorry, kayaknya gue ngedadak sakit, deh. Gue balik aja, ya?" kata Nisa. Seno langsung memandang Nisa dengan cemas.
"Nis, lo sakit?" tanya Seno. Nisa ngangguk.
"Bukannya tadi lo baik-baik aja?" tanya Lala bingung.
"Iya. Gak tahu nih, kayaknya maag gue tiba-tiba kambuh. Gue pulang ya, La. Sorry," ujar Nisa lalu berdiri.
"Nis, gue punya obat maag," kata Lala.
"Enggak deh, makasih, gue pengen pulang aja. Sen, kalo lo mau tetap di sini, gue pulang naik taksi aja gak apa-apa," kata Nisa.
"Naik taksi gimana, lo sakit gini. La, sorry kayaknya gue juga balik aja ya, kapan-kapan kita ngumpul lagi yang lebih niat."
Lala terlihat bingung sekaligus cemas. "Ya udah, deh. Lo pulang istirahat, Nis," ucap Lala, Nisa ngangguk lalu pergi diikuti oleh Seno.
Viko menggigit bibir, bingung antara mau mengejar Nisa atau tetap duduk bodoh seperti ini. Ia tidak boleh kehilangan lagi, ini kesempatan baik. Akhirnya setelah perang dengan batinnya sendiri Viko tiba-tiba berdiri lalu berlari ke luar. Kerumunan itu terheran-heran melihat Viko berlari keluar mengejar Nisa dan Seno.
"Ko, mau kemana?" seru Brian. Viko tidak menoleh maupun menjawab. Saat Nisa akan masuk ke mobil Seno, Viko memanggilnya.
"Danisa ...!" panggil Viko. Dengan kompak Nisa dan Seno menoleh pada suara. Jantung Nisa terhenyak mendengar suara itu memanggil namanya lagi. Viko mendekat pada Nisa dan Seno dengan canggung.
"H__hai apa kabar, Nis?" Viko mencoba basa-basi sambil mengulurkan tangannya. Seno menatap mereka dengan bingung, ternyata benar mereka saling kenal, tapi kenapa Nisa tidak pernah menceritakan soal pria itu? batin Seno. Sebenarnya Nisa selalu menceritakan soal Viko pada Seno, tapi Seno belum tahu wajah Viko. Nisa hanya bisa menceritakan masalah Viko pada Seno, bahkan Lala tidak tahu sama sekali.
Nisa tidak menyambut uluran tangan Viko, ia malah berucap, "Sorry, gue sakit, mau pulang." Dengan kikuk dan sedih Viko kembali menurunkan tangannya.
"Ayo, Sen!" kata Nisa sambil menarik gagang pintu mobil, dengan cepat Viko menahan tangan Nisa hingga pintu mobil itu kembali tertutup.
"Kamu jangan berlagak enggak mengenalku, Nis. Aku mohon, aku ingin bicara sama kamu," kata Viko. Nisa mendelikan mata pada Viko dengan penuh kebencian.
"Mengenalmu? Bicara? Menurut gue semua itu udah enggak ada gunanya, basi tahu gak! Gue akan senang kalau lo enggak bersikap seperti ini. Jadi gue mohon jangan ganggu gue lagi, sebaiknya kita pura-pura enggak kenal aja. Melihat lo aja hari ini gue langsung sakit."
Viko menelan ludah getir, ia tidak memungkiri, luka yang sudah ditorehkan untuk Nisa sangat dalam, dari itu ia sangat menyesal dan tersiksa. Viko menganggap semua itu adalah hukumannya, tapi apakah hukuman ini belum bisa berakhir? Viko tidak menginginkan lebih, ia hanya ingin dimaafkan.
Tatapan Viko beralih pada Seno. Apakah pria ini pacarnya Nisa? Atau mungkin suaminya? Kayaknya Viko harus bertanya pada Lala.
Seno yang tahu sedang ditatap Viko, ia melemparkan senyumnya pada Viko, walau senyuman itu terlihat sangat kaku.
"Ayo, Sen," kata Nisa sambil masuk ke mobil. Dan kali ini Viko tidak berusaha menahannya lagi. Saat ini Nisa sedang tidak baik. Mungkin ada saatnya nanti ia bisa bicara lagi dengan Nisa.
Seno mengangguk sopan pada Viko sebelum masuk ke mobil.
🌸🌸🌸
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
CebReT SeMeDi
tembak aja seno keburu diambil yg lain 😀
2020-12-06
1
Mela Rosmela
suka
2020-05-21
0