Warga yang kelihatan kesal dan marah itu hampir saja main hakaim sendiri. Untung saja Pak Kades datang menghentikan warga.
"Berhentiii !!!," teriak Pak Kades menghalau warga desa, melindungi Latika dan Afriadi.
"Minggir Pak, jangan halangi kami!," teriak salah seorang warga memecah keributan, wajahnya tergambar galak giginya mengeretak bengis.
"Jangan lindungi mereka, minggir Pak," teriak salah seorang warga, bersiap untuk menghajar Latika dan Afriadi.
"Tenang saudara-saudara jangan pakai emosi kita selesaikan masalah ini baik-baik." Pak Kades tetap bertahan, menenangkan para warga.
"Pak, minggir Pak jangan halangi kami !!!," teriak salah seorang warga memecah keributan.
Pak Imam datang menerobos pertahanan warga, menghampiri Pak Kades ikut menenangkan warga, "tenang saudara-saudara kita selesaikan masalah ini dengan kepala dingin bukan dengan kepala panas, selesaikan masalah ini baik-baik jangan main hakim sendiri."
"Tenang bagaimana, Pak? Nanti desa ini bisa terkena bencana gara-gara ulah mereka yang biadap ini." salah seorang warga menghadap Pak imam, suaranya lantang.
"Iya iya tapi, kan harus-" Pak Kades menahan emosinya.
Afriadi menarik lengan baju Pak Kades, memotong parkataannya, "Pak lepaskan kami, kami tidak bersalah itu hanya kecelakaan Pak."
Pak RW dan warga yang berpengaruh menerobos pertahanan warga, mereka menghampiri Pak Kades dan Pak Imam.
"Wah, alasan saja kau, halaaaah..." warga yang panas itu, sikit hari lagi menghajar Afriadi, untung saja Pak Kades menangkis serangan warga itu.
"BERHENTIII !!!," teriak Pak Kades urat tegangnya kelihatan, "kita dengarkan penjelasan dari mereka, jangan sibuk dengan mulut kalian saja."
"Kecelakaan? Maksudnya?," tanya Pak Imam.
"Kami dibegal Pak..." Afriadi menjelaskan semua kejadian yang mereka alami bebrapa jam lalu Pak Kades, Pak imam, Pak RW, dan waraga yang berpengaruh di desa mendengarkan penjelasan Afriadi.
Warga desa terdiam mengangguk, tapi sebagian dari mereka tidak percaya menganggap itu hahya sebuah alasan.
"Alah... Bohong itu, alasan saja. Bilang saja mau kabur dari tanggung jawab, kecelakaan kecelakaan. Banyak sekali Afriadi kau." Pak Hansip menghardik mereka.
"Hukum mereka." sorak warga suara merrka riuh sekampung.
"Astaghfirullah. Pak Bu kami tidak akan melakukan perbuatan yang keji seperti itu." ucap Latika nada suaranya menaik.
Ibu-ibu yang berada dekat dengan Latika, membalas Latika dengan perkataan yang terlalu.
"Alah sok alim lo..."
"Sok suci lo, padahal penzina."
"Penzina hukum mereka berdua."
"Pakai jilbab hanya untuk menyembunyikan kebusukan saja."
"Merusak nama baik agama saja, untuk apa kau pakai jilbab jika perbuatan busuk, lebih baik kau buka saja jilbabmu itu."
"Hooo..."
"Dasar wanita busuk."
Mulut para Ibu Ibu itu sangat tajam, perkataan mereka menusuk sekali.
"Hooo... Hukum mereka," sorank warga desa.
"Tenang Bapak Bapak Ibu Ibu, tenang. Kita selesaikam masalah ini baik-baik jangan pakai emosi," suara lembut Pak imam menenangkan warga yang memanas tadi.
"Pak, mau diselesaikan baik-baik bagaimana? Sedangkan saya melihat dengan mata kepala saya, mereka melakukan zina." bantah Pak Hansip di depan Pak Imam menunjuk kedua matanya, ia terlihat gagah, yakin dengan apa yang ia lihat.
"Tidak Pak, kami tidak melakukan itu, " Latika menangis air matanya membasahi pipinya.
"Pak, saya dan warga di sini melihat mereka berdua peluk-pelukan di tanah dan parahnya lagi mereka melakukan itu, Pak..." Pak Hansip mengatakan apa yang ia lihat di tambah dengan bumbu-bumbu ceritanya, "Betul tidak !!!," teriak Pak Hansip meninta suara dari warga.
"Betul..."
"Betul..."
"Betul..."
Sahut para warga, suara mereka mengguncang balai desa.
"Kami melihat sendiri mereka melalukannya Pak," ucap salah seorang warga yang ikut mempergoki Latika dan Afriadi bersama Pak Hansip.
"Bohong Pak, kami tidak melakukan itu," bantah Latika.
"Hey! Kau, apa kau sadar saat dia melakukannya, sedangkan kau saja pingsan. Bagaimana kau bisa tahu? Kami sendiri yang melihat dia melakukannya." Pak Hansip membentak Latika.
Tubuh Latika gemetar, perkataan Pak Hansip ada benarnya juga.
'Saat itu aku sedang pingsan, tapi Bapak jatuh pingsan lebih dulu, bisa saja dia sadar saat aku pingsan dan dia benar melakukannya' pikir Latika.
Latika melangkah mundur dari Afriadi.
"Latika, aku tidak melakukan itu padamu , percayalah padaku Latika," ucap Afriadi meyakinkan Latika.
"Kenapa kau baru meyadari sesuatu, baru sadar," ucap Pak Hansip penuh percaya diri.
Latika ingat kalau tadi bajunya terbuka dan Afriadi menindihnya, Latika menatap Afriadi tidak percaya.
"Astaghfirullah, Latika. Jangan percaya perkataan mereka, mereka bohong." Afriadi mecengkram bahu Latika mengharap ia percaya kepadanya, namun nyatanya Latika menggeleng tidak percaya, Afriadi melepas cengkramannya dari bahu Latika.
"Pak, Bapak lihatkan wanita itu saja sadar." Pak Hansip menunjuk Latika.
"Pak, percaya sama saya Pak, saya tidak melakukannya." Afriadi menghadap Pak Kades.
"Pak, lihat Pak pakaian mereka berantakan sekali, kotor, lihat si wanita kancing bajunya saja pada hilangan pasti di paksa buka oleh dia, mana ada kecelakaan seperti itu." Pak Hansip memperkuat argumennya.
"Iya juga ya." warga yang berpengaruh mengangguk merasa perkataan Pak Hansip ada benarnya juga, Pak Imam tidak sepenuhnya percaya.
"Wah... Berarti benar itu."
"Hooo..."
"Hukum mereka..."
"Hukum mereka..."
"Hukum mereka..."
Para warga kembali ribut.
"Hiiiss... Diaaam!!! Dari tadi teriak minta hukum mereka-minta hukum mereka-minta hukum mereka. Emangnya kalian mau menghukuk mereka bagaimana? Kalian pikir ini arab, disini aceh mau menghukum mereka dengan di rajam, kalian mau dera di cambuk lalu di asingkan gitu. Hey!!! Negara kita negara hukum..." Pak Kades marah, semua warga menciut tidak berani membuka mulut.
"Tenang Pak. Beucap Pak, Astaghfirullah halazim." Pak Imam menenangkan Pak Kades mengusap-usap punggungnya.
"Begini saja, para warga lainnya silahkan pulang ke rumah masing-masing, dan warga yang melihat kejadian itu tetap di sini." Pak Rawi salah orang yang disegani di desa turun tangan mengusir warga, walaupun diusir hanya sebahagian yang pergi sambil bersorak dan sebahagianlainnya tetap di sana melihat.
Latika Afriadi dan para saksi di bawa masuk ke dalam Balai Desa, kebetulan juga di luar hujan turun.
"Siapa yang melihat kejadian itu dengan jelas? Bagaimana ceritanya? Bagaimana ia melakukannya?," tanya Pak Imam.
"Saya Pak." Pak Hansip mengangkat tangan maju menghadap Pak Imam, "Saya dan warga lainnya melihat dengan jelas Pak, kejadian itu. Awalnya kami meronda seperti biasa berpencar saya di temani dengan Mas Asep, tidak lama kami keliling-keliling-keliling-keliling ketika kami sampai di ujing desa kami mendengar teriakan perempuan, Pak. Kami terkejut, langsung saja Mas Asep memukul kentongan memanggil yang lainnya ... Kami mencari-cari suapa teriakan yang menghilang, sekian lama kami mencari, akhirnya kami menemukan mereka di dalam semak melakukan itu, Pak.
Begini Pak... Begini Pak... Begini lagi Pak... Terus begini Pak..." Pak Hansip menjelaskan sambil meperagakan, dibenarkan warga yang menjadi saksi. Tentu saja cerita itu sudah di tambah bumbu-bumbu cerita.
"Bohong Pak..." Afriadi membantah apa yang dikatakan Pak Hansip, "Itu semua bohong saya tidak terima dituduh seperti ini, saya mau panggil pengecara. Saya terima dituduh seperti ini."
"Pengecara... Kau takut kejahatanmu terbongkar gitu, kau tidak mau nama baikmu rusak, orang sepertimu ini hanya bisa seperti itu mengandalkan pengacara, berlindung dibalik mereka, orang lemah seperti kau ini hanya mengandalkan harta kekayaan mengancam kami dengan yang lemah ini dengan itu. Sungguh aku tidak takut dengan itu..." Pak Hansip menantang Afriadi.
"Kau-" emosi Afriadi bergejolak, matanya tajam menatap Pak Hansip.
Pak RW memotong perkataan Afriadi, "Tuan, tenang dulu. Anda sekarang diam dulu kami ingin mendengarkan penjelasan dari mereka."
"Saya tidak terima Pak, saya ingin masalah ini diselesaikan di kantor polisi." nada suara Afriadi meninggi.
"Enak saja kau, kau yang membuat masalah didesa kami, selesaikan dengan kami. Urusan polisi itu nanti." Pak Hansip memancing Afriadi, "Orang sepertimu memiliki otak yang bulus, kotor."
Afriadi mengepal erat tangannya bersiap kapan saja untuk menyeranga, karena emosi Afriadi di pancing-pancing terus, hasilnya tampa memberi kode lagi Afriadi menyerang Pak Hansip, ia bergerak cepat tiba-tiba saja kepalan jambu sudah ada di depan muka Pak Hansip, Pak Hansip yang kaget teriak seperti wanita, hampir saja kepalan jambu itu menghantam wajah Pak Hansip untungnya saja warga terlebih dahulu menghentikannya.
"Tuan, anda bisa tenang tidak!." Pak RW mebentak Afriadi.
Wajah Afriadi tergambar ganas, menatap tajam Pak Hansip, "Kau ingat ini baik-baik. Allah berfirman dalam Al-Qur'an surah An-Nur ayat 23 ‘sesungguhnya orang yang menuduh wanita baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan di akhirat dan bagi mereka azab yang besar.’
Pelaku Qa'zaf menurut Al-Qur'an tergolong orang yang fasik dan kesaksiannya tidak boleh diterima selamanya." nada suara Afriadi gemetar, lantang disertai keadaan di luar sana langit mengeluarkan cahaya kilat dan guntur semakin menjadi.
Semua warga yang ada di sana terdiam, perkataan Afriadi menusuk tajam sampai ketulang.
"Alaaah, jangan bawa-bawa Al-Qur'an, sok paham sekali kau dengan Al-Qur'an padahal penzina, jangan mekotori Al-Qur'an dengan mulutmu." ucap Pak Hansip, tidak takut sama sekali dengan apa yang di ucapkan Afriadi.
Afriadi kembali diam, ia tidak mau beradu mulut dengan dia, takutnya situasi semakin parah, percuma juga melawan orang seperti itu.
Pak Hansip menjelaskan kembali semua kejadian yang ia lihat, dan ketika diminta kejelasan dengan para warga yang menjadi saksi juga menceritakan hal yang serupa.
Malam yang dingin menjadi panas, panas sekali warga yang berada di luar terus bertambah menjadi ramai lagi, padahal sudah diusir. Salah satu waraga yang jahil membuka pintu, mengintip isi dalam dalai desa, warga lainnya yang ikut-ikutan penasaran saling berebutan ingin mengintip, karena saling dorong mendorong, akhirnya pintu terbuka lebar sehingga para warga terjatuh, penghuni Balai Desa terkejut melihat itu. Pak Kades menatap tajam mata warga sudah paham dengan sifat warganya itu, para warga hanya bisa tersenyum bengkit ketika ingin menutup kembali pintu, namun naas pintunya rusak hasilnya pintu Balai Desa tidak di tutup, warga yang ada diluar bisa melihat keadaan di dalam sana, mereka asik sekali seperti menonton drama.
Hujan turun membasahi desa, dingin dan sajuk, Afriadi melihat Latika kedinginan diselimuti rasa ketakutan, membuka jasnya memasangkannya kepada Latika, Afriadi menenagkannya, "Tenanglah jangan takut, kalau kita tidak bersalah Insaallah tidak akan terjadi apa-apa, yakinlah Allah selau melindingi hambanya."
"Hiks... Hiks... Hiks... Tapi, Pak aku takut." nada suara Latika bergetar.
"Tidak apa, jangan takut Allah selalu melindungi hambanya," ucapan Afriadi mebuat Latika sedikit temang.
Warga yang berada luar maupun yang ada di dalam melihat mereka berdua.
"Lihat mereka masih saja mesra-mesaraan...."
"... Tidak tahu malu."
"Sedangkan di sini saja seperti itu..."
"Wah, tidak salah lagi ini, berarti yang dikatakan Pak Hansip benar..."
"Iya... Iya..."
Bisik-bisik warga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 168 Episodes
Comments
Wiwin Inarah
pusing ,,,, bisaaaaannn ,,
sebener y seru to bertele-tele
2021-10-15
0
Hajra Joll
terlalu bertele-tele, jadi malas bacanya. ..👎👎👎👎👎👎
2021-03-08
1
Nanie Effendie
wkt pemilian hansip aku ga dateng lho..aku golput ya 🤣🤣
2021-03-04
0