Selamat membaca!
Hujan yang deras masih mengguyur setiap inci ruas jalan yang dilewati. Setelah bergelut dengan padatnya Ibukota, Rina akhirnya tiba di rumah. Tanpa berlama-lama, wanita itu pun langsung keluar dari mobil dan membayar tarifnya. Tak lupa Rina juga memberikan tips dan mengucapkan terima kasih pada sang pengemudi.
Kini sebelum memasuki rumah, seperti biasanya Rina mulai memasang wajah kamuflasenya. Ia tidak ingin Vara atau Bi Imah sampai khawatir dengan melihat kesedihannya.
"Aku harus terlihat tegar, aku enggak boleh lemah," gumam Rina sambil mengusap sisa air mata di kedua pipinya.
Bi Imah tampak membukakan pintu. Kepulangan Rina disambut hangat oleh Bi Imah yang sudah menunggunya.
"Bi, Vara udah makan belum bi?" tanya Rina begitu memasuki rumah.
"Alhamdulillah Mba, tadi Neng Vara sudah makan setelah telepon Mba Rina, sekarang dia tidur Mba," tutur Bi Imah memberikan jawaban.
"Syukur kalau begitu, Bi. Makasih ya, Bi. Bibi sudah menjaga adikku dengan baik," ujar Rina mengungkapkan rasa terima kasihnya pada Bi Imah.
"Iya Mba, Bibi sudah anggap kalian seperti keluarga sendiri Mba. Jadi ini sudah tugas Bibi," ujar Bi Imah dengan penuh ketulusan.
"Iya, Bi, makasih banyak ya. Bibi itu udah seperti pengganti Mama buat aku Bi," ucap Rina penuh haru seraya memeluk Bi Imah.
Bi Imah sangat bahagia mendapat pelukan dari Rina. Pada sorot matanya yang tiba-tiba sendu, tersirat sebuah kenangan dari masa lalu yang tak bisa dikatakan oleh wanita paruh baya kepada Rina. Saat ini, BI Imah hanya mampu untuk memendamnya. Setidaknya sampai ada waktu yang tepat. Walaupun ia sendiri tidak tahu, apa hal itu akan terjadi atau tidak.
"Ya udah Bi, aku ke kamar dulu ya."
Bi Imah memandang dengan penuh cemas saat melihat wajah Rina yang seperti menyimpan beban pikiran yang begitu berat.
"Mba, Bibi buatin teh hangat ya?" tawar Bi Imah yang sudah dapat memahami perasaan sedih Rina saat ini.
"Iya Bi, terima kasih ya," sahut Rina seraya menuju kamarnya.
Selesai mengganti pakaian dan merapikan diri, Rina pun langsung menuju kamar Vara. Di sana Rina melihat Vara sudah tertidur lelap. Dengan perlahan wanita itu mulai melangkah dan memilih duduk di tepi ranjang, tepat di samping Vara.
"Kakak sayang, Vara," gumam Rina seraya mengusap rambut Vara dan mencium kening sang adik.
Saat Rina bergegas meninggalkan kamar Vara, matanya terhenti ke arah meja belajar. Rina melihat suatu gambar di sana. Ia pun menghampirinya, lalu dengan perlahan mengambilnya.
"Gambar ini," batin Rina.
Hati Rina bergetar melihat gambar yang dibuat Vara.
"Ini Mamah," lirih Rina pelan seraya memegang gambar tersebut.
Piluh hatinya begitu sesak. Membayangkan rasa rindu yang begitu besar yang dirasakan Vara terhadap ibunya saat ini. Rindu yang tak mungkin dapat hilang dengan pertemuan karena Sarah telah pergi untuk selama-lamanya.
Dengan perlahan Rina mulai mengambil gambar itu.
"Rina sayang, Mama. Maafin Rina, Mah," gumam Rina dengan lirih seraya memandangi wajah Mamanya pada gambar itu.
Rina kembali meletakkan gambar itu di atas meja belajar dan menuliskan sesuatu di sana.
Setelah selesai dengan hal itu, Rina pun meninggalkan kamar Vara untuk kembali ke kamarnya. Ternyata di dalam kamarnya sudah tersedia secangkir teh hangat yang dibuat oleh Bi Imah. Rina pun duduk terdiam sambil menyeruput teh hangat dengan segala pikiran yang kalut karena memikirkan kesedihan adiknya.
...🌺🌺🌺...
Waktu terus beranjak. Kini matahari sudah tampak gagah menyinari semesta. Menghangatkan apa pun yang disinarinya. Saat ini, terlihat Bi Imah dan Rina yang sedang sibuk menyiapkan sarapan pagi.
"Bi, hari ini aku ingin membawa Vara ke makam Mama dan setelah itu, aku juga akan mengajak Vara berenang di Waterboom. Aku mau menghibur Vara, Bibi mau ikut?" tanya Rina menawarkan.
"Mba, Bibi lagi gak enak badan, Bibi di rumah aja ya, Mba," jawab Bi Imah dengan wajah yang sedikit pucat.
"Bi Imah sakit? Ayo kita ke rumah sakit dulu berobat Bi?" pinta Rina terlihat cemas mengkhawatirkan Bi Imah.
"Enggak apa-apa, Mba. Mungkin Bibi cuma kecapekan. Nanti istirahat sebentar juga udah sembuh, Mba enggak usah mikirin Bibi ya!" pinta Bi Imah berusaha menenangkan Rina.
"Ya udah kalo begitu, Bi. Pokoknya Bibi istirahat saja ya. Enggak perlu melakukan apa-apa!" titah Rina penuh perhatian.
"Iya baik, Mba," sahut Bi Imah seraya menata sarapan pagi hasil masakannya di meja makan.
Setelah itu, Bi Imah pun bergegas menuju kamarnya untuk istirahat.
Sementara itu, di kamar Vara, cahaya mentari mulai menerobos masuk dari celah-celah ventilasi jendela kamar. Detik waktu sudah menyapa Vara lewat alarmnya yang berdentum. Namun, Vara pun mulai terbangun untuk menyambut pagi dan memulai harinya.
Vara beranjak dari tempat tidur menuju kursi meja belajarnya. Vara duduk dengan memandangi gambar yang ia buat semalam, gambar sketsa wajah Ibunya. Namun saat itu, ia melihat satu kalimat pada gambar yang bertuliskan, "Kakak sayang Vara, Vara masih punya Kakak."
Melihat itu, mata Vara mulai berkaca-kaca. Hatinya terasa bergetar jika mengingat segala pengorbanan Rina untuk menjaganya. Terlebih saat dua bulan setelah Ibunya meninggal Vara sempat masuk rumah sakit dan selama dirawat Rina-lah yang selalu ada untuk menjaga dan menemani Vara.
"Kakak aku juga sayang Kakak, terima kasih ya Kak," lirih Vara mengungkapkan perasaannya.
"Kakak juga sayang Vara," sahut Rina yang ternyata sudah sejak tadi berada di belakang Vara tanpa ia sadari.
"Kakak." Vara benar-benar terkejut dan langsung menghamburkan pelukannya. Ia tidak menyangka bahwa Rina ternyata sudah memperhatikannya sejak tadi.
"Iya tadinya Kakak mau bangunin kamu, eh ternyata pas Kakak masuk ke kamar, kamu sudah bangun. Sekarang jangan sedih lagi ya, hari ini Kakak mau ngajak kamu ke makam Mama terus kita berenang di Waterboom," ujar Rina dengan tersenyum.
"Asyik berenang." Vara mulai menghapus air matanya. Kini terlihat sebuah senyuman manis di wajahnya.
"Ya sudah, Kak. Aku siap-siap dulu ya," imbuh Vara dengan raut wajahnya yang sudah berubah kembali ceria.
"Kakak tunggu di bawah ya, habis itu kita sarapan dulu baru kita berangkat." Rina pun pergi meninggalkan Vara yang mulai bergegas menyiapkan diri untuk pergi.
...🌺🌺🌺...
Setelah berziarah ke makam Sarah, kini Vara sudah jauh lebih tenang dari sebelumnya. Di sana, ia meluapkan rasa rindunya dengan menangis dan bicara kepada di makam ibunya. Hal satu-satunya yang bisa dilakukannya untuk mengobati rasa rindu Vara terhadap sang ibu.
Kini keduanya sedang dalam perjalanan menuju sebuah Waterboom yang jaraknya tidak terlalu jauh dari makam Sarah. Hanya butuh waktu 30 menit, mobil yang membawa keduanya berhenti tepat di pelataran Waterboom.
Rina pun bergegas dengan langsung berbaris dalam antrian di depan loket untuk membeli tiket. Namun, langkah Vara tertinggal dari Rina karena terus memandangi sekeliling Waterboom. Tempat yang memang sering dikunjungi bersama ibunya. Pandangan Vara yang tidak fokus membuat tubuhnya menabrak seorang pria. Pria tampan berusia 30 tahun dengan potongan rambut rapi, berbadan tegap, dan memiliki tubuh yang proposional.
"Aduh," keluh Vara kesakitan.
"Kamu enggak apa-apa gadis kecil?" tanya pria bernama Angga Wijaya.
"Iya aku enggak apa-apa, Mas. Maaf ya aku tadi enggak liat," ujar Vara meminta maaf.
"Iya enggak apa-apa. Lain kali jangan ceroboh ya!"
"Sekali lagi aku minta maaf, ya sudah ya Mas aku mau pergi ke Kakakku di sana." Vara mengakhiri pertemuannya dengan Angga seraya melangkah menuju ke arah Rina berada.
"Iya hati-hati ya, gadis kecil."
Setibanya di dekat Rina yang telah selesai membeli tiket masuk ke Waterboom, mereka pun bergegas masuk dan bersiap-siap untuk berenang.
Setelah berganti pakaian keduanya langsung menuju tempat penyewaan ban. Namun sesampainya di sana, sudah tampak antrian panjang yang mengular hingga membuat kedua merasa sangat jenuh. Di tengah kejenuhan yang mulai mereka rasakan, terdengar suara memanggil dari antrian depan. Vara yang mendengarnya langsung menoleh dan melihat ke arah sumber suara itu.
"Hei, gadis kecil," sapa Angga dengan suara yang hampir membuat semua orang dalam antrian itu menoleh ke arahnya.
Begitu Vara tahu ia pun izin kepada Rina untuk maju ke depan menghampirinya. "Iya Mas, kenapa?" tanya Vara.
"Kamu mau sewa ban juga?"
"Iya, tapi antriannya panjang banget." Dengan wajah cemberut, Vara mengatakan hal itu.
"Ya sudah aku sewakan sekalian, biar kamu gak usah antri lagi."
"Ini laki-laki baik banget, apa jangan-jangan dia penculik? Wah, aku harus hati-hati," batin Vara mencurigai dengan sorot mata yang tajam.
"Kamu tenang aja gadis kecil, aku bukan penculik. Kalau aku mau menculik kamu, itu sudah aku lakukan tadi saat kamu menabrakku," ujar Rangga seolah bisa membaca pikiran Vara.
"Iya Mas, enggaklah. Memang siapa yang mikir Mas itu seorang penculik." Vara menjadi malu dan salah tingkah dibuatnya.
"Baguslah kalau begitu, sekarang kamu ke sana kasih tahu Kakak kamu ya!" titah Angga.
"Oke mas, aku kasih tahu Kakak aku dulu ya."
"Laki-laki itu emang aneh seperti penyihir, tahu semua pikiranku, bahkan dia bisa tahu kalau aku bersama Kakakku," gumam Vara heran sambil melangkah ke arah Rina.
Setelah sampai di samping Rina, Vara pun membisikkan sesuatu.
"Kakak sudah enggak usah ngantri lagi. Sekarang ayo kita ke depan!" bisik Vara agar tidak terdengar orang lain.
"Lho kenapa?" tanya Rina penuh heran.
Vara menarik tangan Rina untuk keluar dari antrian, lalu Vara mengajak Rina menghampiri pria yang sudah mau menolongnya. Sesampainya di sana, tampak pria tersebut sudah menyewakan ban untuk Vara.
"Hai gadis kecil, ini bannya untuk dua orang."
"Iya Mas, terima kasih banyak ya. Ini kenalin Kakak aku, Rina dan aku Vara."
"Halo, Rina, aku Angga."
Rina yang melihat pria itu entah kenapa mulai terkesima dengan ketampanannya.
"Wah ganteng banget laki-laki ini, udah gitu baik lagi," gumam Rina masih terus menatap dengan kagum wajah Angga.
Sesaat Rina terdiam. Namun, lamunannya pun akhirnya pecah setelah Vara menyenggolnya lengannya hingga Rina tersadar.
"Eh iya, terima kasih ya." Rina mengatakannya dengan terbata setelah lepas dari lamunannya.
"Bukan hal yang penting kok. Jadi santai saja."
Rina dan Vara pun melanjutkan keseruan mereka di Waterboom. Sementara Angga masih terdiam menatap ke arah Rina yang beranjak menjauhinya.
"Aku pasti akan bertemu kembali dengannya," gumam Angga seraya memikirkan cara agar pertemuannya dengan Rina saat ini tidak jadi pertemuan mereka yang terakhir.
...🌺🌺🌺...
Bersambung✍️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Cher Ganbate
Angga jd apa ya nti
2023-07-06
0
Wirda Wati
Visualnya thort
2023-01-17
0
Liana Noviyanti
apa yang disembunyikan bisa Imah ya🤔🤔
2021-07-26
0