Karena Kamulah Yang Tuhan Takdirkan
Disebuah Café di pagi menjelang siang ini, seorang perempuan muda melangkah dengan membawa buku kecil untuk mencatat pesanan sang pelanggan menghampiri satu meja dimana baru saja di isi oleh dua orang pelanggan yang memang sudah dirinya lihat beberapa kali datang ke Café ini.
“Permisi, mau pesan apa?” tanya Rara ramah pada pelanggan yang baru saja memasuki café miliknya.
“Vanilla Latte satu, Espresso satu sama Red Velvet satu,” pelanggan tersebut menyebutkan pesanannya.
“Baik, tolong tunggu sebentar,” kata Rara0 lalu pergi ke dapur untuk menyiapkan pesanan
Aera Aulia Zahra yang akrab dipanggil Rara itu adalah gadis manis yang kini telah berusia 25 tahun. Salah satu pemilik café sederhana yang dirikan dari hasil kerja kerasnya bersama sahabatnya, Tania Anasya Marwah.
Café yang baru berdiri sekitar dua tahun lebih ini terletak tepat di depan rumah sakit swasta yang cukup besar. Hari-harinya ia habiskan di café bersama sahabatnya. Memiliki sebuah café, memang sudah menjadi impian Rara dan Tania sedari dulu, maka dari itu tak jarang Rara dan Tania bergantian turun tangan untuk melayani pelanggannya.
Meski mempunyai beberapa karyawan, tapi Rara maupun Tania selalu siap membantu jika mereka tidak sedang banyak kerjaan, itu juga mereka lakukan semata-mata ingin mengetahui siapa dan seberapa banyak pelanggan yang berkunjung ke cafenya, sekaligus menanyakan kepuasan atas hidangan maupun pelayanan yang café ini berikan.
Dan sejauh ini Rara juga Tania bersyukur karena belum mendapatkan kritikan yang buruk dari setiap pelanggannya, melainkan sebuah pujian yang mereka dapatkan. Rara dan Tania merasa bersyukur karena banyak yang mendukung. Bahkan ada juga pelanggan yang terang-terangan membantu mempromosikan cafenya kepada teman dan kerabatnya, hingga membuat café ini menjadi lebih banyak yang mengenal.
Rara dan Tania tahu bahwa ini barulah awal, perjalanannya masih panjang dan mungkin usahanya ini tidak akan selalu dalam kelancaran. Namun itu sudah sangat di pertimbangkan oleh keduanya.
“Ini pesanannya. Silahkan dinikmati,” ucap Rara dengan ramah.
“Terima kasih."
««««««
Ditengah kesibukannya membuat kopi Rara di kejutkan dengan kedatangan Tania yang tiba-tiba, membuat tangan Rara hampir sana mengenaik air panas di mesin pembuat kopi.
“Kamu ngagetin aja sih, Tan!” kesal Rara.
“Hehe, maaf deh,” jawab Tania cengengesan.
“Tumben kamu sudah datang?” heran Rara karena tidak biasanya Tania datang sepagi ini.
Café memang buka pukul 07:30 dan ini baru jam 09:15 sedangkan Tania biasanya datang selalu pukul 10:00 karena harus mengurusi Suami dan juga Anaknya.
“Iya karena sekarang suami aku gak ada, lagi ke luar kota. Jadi aku bisa berangkat pagi kesininya.” Jawab Tania seraya meneguk Coffe yang barusan Rara buat.
Mendengar itu membuat Rara menjadi murung. Rara merasa iri dengan sahabatnya yang sudah memiliki keluarga kecil bahagia, suami yang menyayanginya dan anak yang lucu membuat Rara iri .
Tania memang sudah menikah dua tahun yang lalu dan sudah memiliki seorang putri yang kini berumur 1, sementara Rara, ia baru saja gagal menikah karena mantan tunangannya itu telah menghianatinya dengan menikahi perempuan lain.
Dua minggu lagi seharusnya pernikahan akan berlangsung, tapi lima bulan yang lalu ia baru saja memergoki tunangannya berada di rumah sakit depan Café miliknya bersama seorang perempuan yang sedang hamil. Wanita mana yang tidak sakit hatinya jika melihat laki-laki yang dicintainya sedang bersama wanita lain? Awalnya Rara sempat mengira wanita itu adalah sepupu dari tunangannya yang meminta diantar untuk cek-up, hingga dengan senyum lebar Rara menghampiri mereka.
“Devan kamu disini? Nganterin sepupu kamu cek-up?" tanya Rara tersenyum ramah kearah wanita hamil di depannya.
“Hah, sepupu? Siapa?” wanita yang berada di samping Devan menaikan sebelah alisnya bingung, sedangkan Devan masih terdiam dengan keterkejutannya. Terlihat jelas dari raut wajah dan tubuhnya yang menegang.
“Kamu sepupunya Devan, kan?” tanya Rara kepada wanita hamil itu.
“Ra .. itu, emm…” ucap Devan gelagapan.
“Devan suami saya,” ucapan wanita hamil itu sukses membuat Rara membulatkan matanya tak percaya.
“Kamu istrinya, Devan? Sejak kapan Devan menikah?” Rara masih tidak percaya dengan apa yang diucapkan wanita tersebut. Rara melirik kearah tunangannya mencari jawaban. Namun Rara hanya melihat tunangannya itu menunduk.
“*Devan, apa benar kamu sudah menikah? Kapan?” tanya Rara menahan air mata yang sedari tadi sudah ingin keluar.
Devan tidak menjawab, laki-laki tampan yang menggunakan kemeja biru tua itu masih saja bungkam dan menunduk. Mata tajam itu kini terpejam, enggan menatap sang tunangan yang kini tengah memergokinya*.
“Satu tahun yang lalu.” Wanita hamil itu yang menjawab, dari raut wajahnya terlihat jelas bahwa kebingungan menyelimutinya.
Mendengar jawaban wanita itu membuat Rara menolehkan wajahnya menatap wanita hamil itu dengan air mata yang sudah tidak bisa ia tahan lagi. Mata bulat indah itu kini sudah dibasahi oleh air yang mengalir bak sungai melewati pipi chubynya.
“Tidak mungkin! Bahkan aku dan Devan sudah berpacaran dari empat tahun yang lalu, dan sudah tunangan dari setahun yang lalu. Dan kami akan menikah lima bulan lagi,” ucap Rara lirih seraya menggelengkan kepala, menolak untuk percaya. Rara menatap wanita hamil itu yang kini terlihat kaget dengan ucapannya.
“Apa ini bercandaan? Devan ini sungguh tidak lucu!” bentar Rara. “Jawab aku berengsek? Apa kau sudah benar-benar menikah?” tanya Rara emosi, masih dengan air mata yang semakin deras mengalir. Melihat anggukan Devan membuat hati Rara sakit dan ia benar-benar merasa kecewa pada tunangannya itu.
“Kenapa kamu tidak pernah jujur padaku ,Devan? Kenapa kamu menyakitiku seperti ini? Apa salahku kepadamu, hingga kamu setega ini padaku?" Rara berucap pelan, kecewa juga sakit hati.
“Maafkan aku, Ra. Maafkan aku telah menyakitimu. Ini bukan keinginanku, sungguh!” Devan buka suara. Terlihat jelas dari matanya yang memancarkan luka dan penyesalan.
“Apa maksudmu?” Rara bingung dengan aps yang dikatakan Devan. Ia beralih menatap wanita hamil yang kini menunduk dan air mata wanita itu pun menetes.
“Jawab aku, Devan!!” tuntut Rara.
“Orang tuaku menjodohkan aku dengan Shasha, seminggu setelah pertunangan kita.
Maafkan aku yang tidak jujur kepadamu. Aku sungguh tidak bermaksud menyakiti hatimu. Waktu itu aku bingung bagaimana menjelaskan semuanya kepadamu, aku tidak cukup berani untuk berterus terang kepadamu. Aku sangat mencintai dan menyayangimu, tapi aku juga tidak bisa membantah orang tuaku, maafkan aku, Ra maafkan aku.” Sesal Devan. Terlihat jelas kejujuran dari matanya yang memancarkan luka.
“Lalu... lalu pernikahan kita yang akan terlaksana lima bulan lagi bagaimana Devan? Apa yang harus aku ucapkan kepada keluargaku?” tanya Rara lirih.
“Aku akan menjelaskannya kepada keluargamu. Aku akan mendatangi keluargamu, aku janji!”
“Maafkan aku telah merusak kebahagian kalian. Maaf karena telah hadir di tengah-tengah kalian. Aku akan melepaskan Devan, karana memang aku lah yang salah telah hadir di antara kalian. Lanjutkan rencana pernikahan kalian, aku akan mengihklaskannya,” ucap Shasha membuat Rara dan Devan menatap tak percaya kearahnya. “Aku tahu, kalian saling mencintai, maka dari itu aku akan merelakannya. Kalian berhak untuk bahagia. Maafkan aku telah menghancurkan kebahagian kalian berdua.” lanjutnya dengan tulus.
“*Aku memang sangat mencintai Devan, tapi aku tidak setega itu untuk membiarkan Devan meninggalkanmu, apalagi keadaanmu yang sedang hamil anak Devan. Biarkan aku yang mengalah, biarkan aku yang mengihklaskan Devan untukmu. Kamu yang saat ini lebih berhak atas Devan. Kamu yang sudah sah menjadi istrinya, maka bertahanlah biarkan aku yang melepaskan Devan,“ucap Rara dengan tulus kepada Shasha.
Masih dengan air mata yang mengalir, Rara menatap wanita hamil bernama Shasa itu, dan perlahan jemari Rara terulur untuk menyentuh perut buncit wanita yang tengah mengandung darah daging dari tunangannya itu*.
Setelah mengelus pelan perut buncit itu kini Rara beralih menatap Devan. "Jaga istrimu dan calon anakmu. Sayangi mereka dengan tulus, aku akan mengihklaskanmu,” ucap Rara tulus kepada tunangannya itu, ralat mantan tunangannya. Ia akan belajar untuk mengihklaskan, walau ia tahu bahwa itu tidak akan mudah.
“Boleh aku memeluk suamimu untuk yang terakhir kalinya?” izin Rara kepada Shasha, dan hanya di balas dengan anggukan oleh wanita cantik yang tengah hamil itu. Melihat persetujuan dari Shasha, Rara langsung berhambur memeluk mantan tunangannya dengan erat yang di balas tak kalah erat oleh Devan.
Pelukan yang selalu memberi ketenangan dan kenyamanan ini tak akan lagi Rara dan
Devan rasakan, pelukan ini sebagai pelukan terakhir sekaligus perpisahan antara Devan dan Rara. Rara menagis dalam pelukan Devan begitupun sebaliknya, sedih karena harus mengihklaskan orang yang di cintainya untuk orang lain.
Setelah keduanya merasa tenang, Rara melepaskan pelukannya perlahan, Devan menagkup wajah Rara dengan kedua tangannya lalu menghapus air mata yang sedari tadi mengalir di pipi chuby mantan tunangannya itu dengan lembut.
“Terima kasih untuk pengertiannya. Terima kasih untuk lima tahun yang berarti di hidupku. Maaf aku telah mengecewakanmu, dan maafkan aku telah mengingkari janjiku untuk selalu membahagiakanmu, semoga kamu mendapatkan laki-laki lebih baik dari aku yang dapat membahagiakan kamu. Sekali lagi maafkan aku, aku mencintaimu,” ucap Devan tulus seraya mencium kening Rara lembut. Rara memejamkan matanya menikmati kehangatan dan kelembutan yang terakhir kali dari mantan tunangannya itu, lalu keduanya saling melepaskan pelukan itu dan tersenyum hangat sebagai perpisahan.
“Jangan lupa datang ke rumah untuk menjelaskannya kepada keluargaku. Ajak istrimu dan kenalkan ia kepada keluargaku, aku yakin papa akan mengerti,” kata Rara lembut kapada Devan yang diangguki oleh laki-laki tinggi itu.
“Bahagiakan istri dan anakmu, jangan buat istrimu menangis dan jangan kecewaan dia seperti kamu mengecewakan aku. Aku harus pergi sekarang, masih ada urusan.” Pamit Rara memeluk Devan dan Shasha bergantian lalu pergi menjauh jadi hadapan mereka berdua.
“Ra kamu kenapa nangis?” tanya Tania khawatir saat melihat air mata yang menetes dari mata bulat Rara.
“Tan, seharusnya dua minggu lagi pernikahku dengan dia. Seharusnya mimpiku bersama dia yang sudah kami bagun dari dulu sebentar lagi terwujud. Tapi ...”
“Sudah Ra, aku tahu kamu kecewa. Aku tahu kamu masih belum bisa menerima kenyataan ini, tapi kamu harus belajar untuk mengihklaskannya. Masih banyak laki-laki yang lebih baik di luar sana. Aku yakin Allah telah menyiapkan jodoh yang terbaik untukmu. Jangan menyesalinya Ra, buka hatimu untuk laki-laki lain. Jangan terlalu larut dalam kesedihan seperti ini, aku yakin kamu bisa, Ra! Kamu adalah wanita yang tegar,” ucap Tania mencoba menenangkan Rara dalam pelukannya.
Tania memang mengetahui semua tentang Rara, karena ia sudah sejak SMP berteman dengan perempuan cantik bermata bulat indah itu, dan Tania jugalah yang dulu sempat membantu pendekatan antara Devan dan Rara, maka sedikit banyaknya Tania mengetahui kisah mereka. Dan setelah pertemumuan dengan Devan pun, Tania lah orang pertama yang mengetahuinya dari Rara. Terkadang Tania iba melihat sahabatnya itu, tapi Tania juga tidak bisa menyalahkan Devan sepenuhnya.
“Sekarang kamu istirahat aja diatas. Tenangkan dulu diri kamu, biar di sini aku yang bantu,” kata Tania yang dibalas anggukan kecil oleh Rara.
Sesampainya di ruangan kerja Rara dan Tania, Rara berjalan menuju sofa dan kembali menangis, terpikir kembali nasib pernikahan yang telah lama di impikannya dengan Devan harus gagal begitu saja. Lima tahun bukanlah waktu yang singkat, sudah banyak yang Rara dan Devan lalui, membuatnya tidak mudah untuk bisa melupakan kenangan indah itu.
“Devan aku kangen sama kamu.” Racau Rara dalam tidurnya.
“Ra, Ra bangun Ra!” panggil Tania, menepuk pelan pipi Rara.
“Devan … “ racaunya lagi masih dalam mata yang terpejam.
“Astagfirullah, Rara badan kamu panas banget. Bangun, Ra kita kerumah sakit!” panik Tania saat mendapati suhu tubuh Rara yang tinggi.
“Ya Allah, Rara kenapa kamu jadi kayak gini lagi, Ra!” gumam Tania sedih melihat keadaan sahabatnya.
Tidak mendapat tanda-tanda Rara akan bangun akhirnya Tania pergi keluar untuk mencari bantuan. Tania melihat Reno, Chef sekaligus sepupu Rara sedang sibuk di dapur, dan tidak ada orang yang akan menggantikannya, itu artinya Tania tidak bisa meminta bantuan juru masak cafenya itu.
Beruntungnya ada Dokter yang memang sudah menjadi pelanggan di café ini datang berkunjung. Tania yang melihat kedatangan Dokter Angga, langsung saja menghampiri Dokter itu untuk dimintai bantuan.
“Siang ,Dok, maaf mengganggu waktu istirahat Dokter, apa saya bisa minta tolong?” tanya Tania memohon dengan wajah yang masih panik.
“Tolong apa, Tan, In Sya Allah kalau bisa saya pasti akan bantu.” Jawab Dokter Angga ramah.
“Tolong teman saya Dok dia demam.”
“Ya sudah, boleh saya lihat temannya?" Tania mengangguk, lalu membawa Dokter Angga ke dalam ruangan kerjanya dimana Rara berada.
Setelah sampai di mana Rara berada, tanpa menunggu lebih lama lagi Dokter Angga langsung memeriksa keadaan Rara yang sampai saat ini masih saja memanggil-manggil nama Devan dengan mata yang masih terpejam.
“Bagaimana Dok keadaannya?” tanya Tania saat melihat dokter Angga yang telah selesai memeriksa keadaan Rara.
“Sejak kapan dia kayak gini?”
“Tadi pagi sepertinya, Dok,” ucap Tania tidak yakin.
“Boleh saya bawa dia kerumah sakit? Biar bisa saya periksa lebih lanjut. Soalnya sekarang saya tidak membawa perlengkapan saya, jadi belum bisa memastikannya,” ucap Dokter Angga yang segera diangguki oleh Tania.
“Baik Dok, silahkan. Nanti saya akan menyusul ke rumah sakit.”
Untung saja café ini berada tepat di seberang rumah sakit tempat Angga bekerja jadi, tidak perlu waktu lama untuk mereka sampai ditempat tujuan.
“Sus tolong bantu siapkan ruangan untuk pasien ini,” ucap Dokter Angga kepada salah satu suster yang kebetulan lewat di depannya.
“Baik Dok, mari,” ucap suster itu, meminta Dokter Angga untuk mengikutinya. Sesampainya diruang rawat, Dokter Angga kembali memeriksa kondisi Rara, hingga akhirnya Tania datang bertepatan dengan selesainya Dokter Angga memeriksa Rara.
“Bagaimana, Dok?” tanya Tania langsung.
“Dia tidak apa-apa, hanya kelelahan dan mungkin terlalu banyak pikiran hingga membuat kondisinya menjadi lemah.” Jelas Dokter Angga. Tania mengangguk.
“Terima kasih, Dok, maaf saya mengganggu waktu istirahat Dokter,” Ucap Tania menyesal.
“Tidak apa-apa, Tania sudah menjadi tugas saya menjadi seorang Dokter untuk lebih mendahulukan kondisi pasien,” ucap Dokter Angga tersenyum ramah.
“Kalau begitu saya permisi. Untuk pasien, dia harus istrahat dulu untuk beberapa hari di sini, supaya kami bisa selalu mengecek perkembangannya. Nanti resep obatnya bisa di tebus terlebih dulu di Apotik Rumah Sakit. Dan jika ada apa-apa kamu bisa hubungi saya.” Tania mengangguk, sebelum Dokter Angga meninggalkan ruang rawat Rara.
Sepeninggalnya Dokter Angga, Tania menghampiri Rara yang masih tertidur di ranjang rumah sakit. Wajah Rara yang terlihat pucat membuat Tania menitikan air mata. Ia sedih melihat Rara yang dulu terlihat ceria dan kuat, sekarang menjadi rapuh dan pendiam, tepatnya dari lima bulan yang lalu tidak ada lagi Aera yang ceria, yang ada kini hanya Aera yang pendiam dan tertutup.
“Sampai kapan kamu akan seperti ini, Ra? Sungguh aku tidak tega melihat kamu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Miss Typo
baru awal dh nangis 😭
tuh ortu Devan gk setuju sm Rara atau gmn sich, kok bisa"nya baru seminggu tunangan mlh di jodohkan sm orang lain, dan Devan jg harusnya tuh bicara sm keluarga Rara dr awal gk jadi cowok pengecut kayak gitu, masak dh nikah setahun msh ada rencana nikah sm Rara 😤
2023-04-20
1
Caca Princes Koesyanto
the lounge untuk
2022-11-03
0
Yayoek Rahayu
kok bisa ya....namanya jg dunia halu....apa aja bisa terjadi
2022-01-22
1