Minggu
pagi seperti ini biasanya kuhabiskan dengan menonton drama Korea yang sering
kubeli kasetnya. Selalu kupastikan kalau aku bisa memiliki me time di hari minggu. Bisa di bilang minggu adalah hari malasku.
Aku kembali memutar kaset drama yang berjudul Empress Dignity, drama korea dengan konflik yang luar biasa pelik
itu.
Umumnya
orang lain akan memilih menonton drama dengan genre percintaan remaja yang
minim konflik, tapi rasanya drama seperti itu tak memiliki tantangan dan sangat
membosankan. Mungkin aku terbiasa menjadi anak ekonomi yang selalu memikirkan
apapun, sesulit apapun angka itu aku pasti akan menyelesaikannya.
Itulah
kenapa aku sudah menyandang gelar Magister-ku tahun lalu. Kalian tak percaya?
Tapi itu kenyataannya. Aku menyukai tantangan, dan mengambil program pasca
sarjana adalah pilihan yang baik. Walaupun memang tak secepat orang lain yang
sudah lebih dulu mendapatkannya, apalagi aku memiliki tanggung jawab pekerjaan.
Aku ingin menaikkan taraf hidupku melalui pendidikan.
Melihat
kebanggaan yang terpancar dari kedua orang tuaku merupakan kebahagiaan
tersendiri untukku. Rasanya seluruh perjuanganku yang berat itu terbayarkan
hanya dengan melihat mereka yang tersenyum bangga kepadaku.
Itu
juga yang menjadi salah satu alasan kenapa aku bisa menduduki posisi Manajer dalam
waktu yang cukup singkat. Aku benar-benar mengandalkan otakku ketika sedang
masa promosi sebagai Manajer. Aku yakin kalian pasti beranggapan kalau aku
menjadi Manajer semata-mata karena aku bersahabat dengan Dimitri dan Kevin.
Jika
ya, maka buang jauh-jauh pemikiran itu. Aku benar-benar memulai semuanya dari
bawah, berjuang sekuat tenaga untuk mencapai posisi puncak ini, dan kurasa
perjuanganku belum usai.
Jadi
kali ini biar kuceritakan tentang diriku. Aku selalu membanggakan Dimitri dan
Kevin karena ketampanannya, dan karena jabatan mereka. Aku juga memiliki
kebanggaan tersendiri. Aku wanita mandiri, cukup cerdas walaupun aku tak lulus
dengan predikat cum laude.
“Tak
akan ada pria yang menginginkan wanita yang kelewat mandiri sepertimu, Li. Pria
menginginkan wanita yang membutuhkan mereka.”
Itu
ucapan Dimitri ketika aku putus dengan salah satu pria yang kukencani. Itu juga
awal dari Dimitri yang mulai posesif padaku. Sebenarnya ia hampir tak
menyetujui dengan semua pria manapun yang dekat denganku setelah kejadian itu.
“Kamu
punya aku dan Kevin, apalagi yang kamu butuhkan?” tanyanya waktu itu ketika aku
memprotes sikapnya yang kelewatan.
“Kalian
hanya sahabatku, tak akan pernah menjadi suamiku, lalu kenapa kalian begitu
posesif?”
“Percayalah
kalau banyak pria brengsek di luar sana, dan kamu tak akan menyadarinya karena
terlalu terlena dengan ketampanan dan sikap mereka.”
“Dan
salah satunya ada di depanku,” sinisku.
Bisa
di bilang aku tak terlalu beruntung dalam hubungan asmara. Hubunganku dengan
pria yang terlama adalah tiga bulan. Apa salah jika terlalu mandiri? Selama aku
bisa mengerjakan semua hal sendirian, kenapa aku harus meminta bantuan?
Bukankah itu sangat merepotkan?
Harusnya
mereka bersyukur mendapatkan wanita mandiri sepertiku. Apa wanita yang manja,
selalu patuh pada ucapan prianya adalah idaman semua pria? Kalau begitu aku
akan memilih menjadi lajang. Lagipula aku masih sanggup membahagiakan diriku
sendiri, mungkin hanya ucapan keluargaku saja yang menuntutku untuk mencari
pacar.
Omongan
keluarga dan tetangga selalu lebih pedas dari seblak level maksimal. Itulah
kenapa aku lebih memilih tinggal di perantauan. Aku hanya pulang untuk kedua
orang tuaku, mereka yang tak pernah menuntut apapun dariku. Aku tahu mereka
menginginkan aku untuk menikah, apalagi di usiaku saat ini.
Pendapatku
sendiri, menikah adalah hal paling mewah yang akan terjadi di hidupku. Setelah
semua dosa yang kulakukan, aku tak terlalu berharap untuk pernikahan. Orang
tuaku tak mengetahuinya tentu saja, bayangkan saja apa yang akan terjadi jika
mereka tahu kelakuan anaknya di perantauan.
Ponselku
berdering, aku mengintip sebentar siapa yang menelponku di minggu pagi yang
cukup cerah ini.
Kevin.
“Apa
kamu lupa kalau minggu adalah waktu sendiriku yang berharga?” ucapku tanpa sapaan.
Aku sedang ingin bermalas-malasan dan tak ingin ada yang mengganggu.
“Aku yakin kalau saat ini yang telepon
Dimitri pasti kakak gak akan marah-marah kayak gini,”
Aku
malah tak akan mengangkatnya kalau itu dari Dimitri. Masih ingat kejadian makan
malam itu ketika aku berdansa dengan Richard? Kami tak melakukannya, hanya
ciuman panas dan sentuhan sensual darinya yang membuatku lupa daratan.
“Ada
apa?” tanyaku pada akhirnya.
“Cuma mau nawarin apa kakak mau gabung makan
siang bareng sama kita?”
Aku
melihat jam dinding yang menunjukkan angka sebelas lebih tiga puluh menit. Oke,
bagiku ini masih sangat pagi, tapi perutku memang tak bisa membohongi, aku
sangat lapar.
“Kamu
sama Dimitri aja?” tanyaku memastikan. Aku hanya tak ingin mereka berdua atau
salah satunya membawa salah satu wanitanya. Aku tak masalah, hanya saja aku
akan terlupakan di sana.
“Iya Kak, kami di Loona kafe.”
**
Satu
jam kemudian, aku sudah duduk bersama Kevin dan Dimitri di kafe yang biasa kami
kunjungi ketika kuliah. Tak ada yang berubah sejak kami masih kuliah,
dekorasinya masih berwarna coklat dan klasik.
Kami
memilih kafe ini karena suasananya yang nyaman, dan juga dulu belum banyak
orang yang datang ke kafe ini. Sangat berbeda dengan sekarang. Pasti kafe ini
sangat berkembang. Untungnya kami masih bisa mendapatkan meja yang sangat
strategis dan tak terlalu sesak dengan pengunjung.
“Jadi
gimana gebetan, Kak?” tanya Kevin dengan tatapan menggodanya.
“Kamu
tahu dia deket sama cowok?” Baru aku ingin menjawab, Dimitri sudah menyelanya
dan menuntut jawaban dari Kevin.
“Kakak
gak cerita sama orang ini?” Kevin kembali menanyaiku.
Hubungan
sepupu yang Dimitri dan Kevin miliki sebenarnya dekat, hanya saja semakin
mereka dewasa, rasa sayang itu mereka tunjukkan dengan cara yang tak biasa.
Walaupun mereka tak saling bicara, ketika mereka memperebutkan diriku, tapi
mereka saling menyayangi.
Aku
menopang dagu dan menatap keduanya bergantian. Suasana seperti ini sudah sangat
jarang terjadi, karena kami sibuk bekerja dan memang keadaan yang membuat kami
tak bisa sering berkumpul seperti dulu. “Sepupumu ini terlalu posesif, terlalu
menakutkan untuk memberitahunya, kan?”
Kevin
melakukan hal yang sama dan mendekatkan wajahnya padaku. “Bahkan ia akan marah
jika kita berbicara sedekat ini, memang menakutkan. Untung kami sepupu, jika
tidak ia tak akan memiliki teman.”
Dimitri
memutar matanya melihat kami berdua. Jika sudah begitu maka ia akan mengatai
kami yang kekanakan. Ia tidak sadar saja kalau sebenarnya ia lebih kekanakan
dengan sifat posesifnya padaku itu.
“Lagipula
dia sangat tampan, Vin, dia juga Dokter bedah. Sifatnya juga sangat baik. Aku
tak mengerti kenapa Dimitri seperti itu,” ucapku berapi-api. Apalagi jika
mengingat kejadian kemarin, ketika ia membawaku pulang karena aku berdansa
dengan Richard.
“Kamu
belum lama mengenalnya, Li. Kamu yakin dia bener-bener baik, gak ada yang tahu
itu cuma trik buat dapetin kamu. Hanya pria yang bisa menilai pria lain, dan
aku tak akan menyukai pria itu.”
Kevin
hanya mengangguk-angguk seolah mengerti. “Untuk yang satu itu aku setuju sama
orang ini, ya walaupun dia sama brengseknya. Pastiin kamu gak ketemu Dimitri
kedua, Kak.”
“Kamu
juga termasuk, Vin. Kalian berdua.”
Aku
menunjuk keduanya dengan telunjukku. Apa kalian penasaran dengan perasaan yang
kumiliki dengan Dimitri? Kami sudah lumayan sering bercinta, tapi kami tampak
biasa saja jika bertemu keesokan harinya. Pasti itu, kan, yang kalian pikirkan?
Kami
benar-benar bersahabat, bahkan ketika kami make
out di parkiran kemarin. Hari ini ketika aku melihat wajahnya, aku memang
kesal. Bukan kesal karena hal lain, tapi karena ia yang dengan seenaknya
menyeretku pulang dan menciumku di parkiran. Aku juga bingung dengan diriku
sendiri.
Nabila
juga mengatakan bahwa pria dan wanita tak akan bisa bersahabat, salah satunya
pasti ada yang memiliki perasaan lebih. Aku tidak tahu apa yang kurasakan.
Jantungku memang berdebar ketika kami berciuman, ketika ia menyentuhku. Dimitri
adalah pria pertama yang menyentuhku, yang sudah mengeksplor tubuhku, tapi aku
tak tahu apa ini termasuk cinta. Apa cinta seperti ini?
Aku
tak memiliki banyak pengalaman tentang hubungan romantis dengan lawan jenis.
Hubungan pertamaku kandas begitu saja. Sejak saat itu aku memutuskan untuk tak
berurusan dengan cinta lagi, itu benar-benar melelahkan dan sangat tak cocok
untukku. Aku akan lebih memilih semalan mengerjakan laporan di banding
berurusan dengan cinta.
Jadi
sekarang aku bahkan tak bisa mengerti mana yang cinta dan nafsu. Aku hanya
selalu mensyukuri memiliki kedua sahabat seperti mereka, kecuali posesif yang
dimiliki Dimitri.
“Jadi
sampai kapan kalian akan menahanku bersama kalian? Aku sudah dua tujuh, Kevin
bahkan sudah di jodohkan, dan aku masih sendiri hanya karena kalian.” Aku
menyeruput ice Americano yang esnya
sudah mencair.
“Setidaknya
aku harus memastikan seberapa potensial pria itu. Aku harus bertemu pria itu
dulu baru bisa memutuskan.”
Aku
menatap Dimitri yang melipat tangannya di dada dengan dingin. Besok-besok aku
akan membelikannya topeng dengan wajah senyuman, jadi orang lain tak akan
terlalu takut jika melihat wajah dinginnya itu.
Pada
akhirnya Dimitri hanya mengangkat bahunya tanpa memberi jawaban apapun. Aku
menghela napas, sangat Dimitri. “Lalu bagaimana tunanganmu?” aku bertanya pada
Kevin. Jika kalian bertemu Dimitri dan ingin bertanya dengannya, pastikan
kalian adalah pengusaha ataupun klien, investor akan lebih bagus lagi. Sudah
pasti ia akan dengan senang hati menjawab pertanyaan kalian jika itu menyangkut
bisnis.
“Satu
bulan lagi kami bertunangan. Apa Kakak masih tak ingin menolongku? Papa sama
sekali tak membiarkan aku tahu wajah calon tunanganku sendiri. Aku jadi ragu
kalau wanita itu memiliki masalah dengan dirinya sendiri. Mungkin dia sangat
jelek atau punya penyakit kulit langka.”
Aku
tertawa mendengar keluhan Kevin soal perjodohannya. Aku masih tak akan
membantunya, walaupun aku sangat dekat dengan Ayah Kevin. Aku tak ingin
menciptakan drama untukku sendiri.
“Bagaimana
kalau aku menyamar, lalu ketika pesta peetunangan kalian aku akan muncul
tiba-tiba dan mengaku sudah hamil anakmu. Bagaimana?”
“Kakak
terlalu banyak nonton drama,” ucap Kevin mencibirku.
Aku
tertawa lagi. “Lagipula orang ini tak akan membiarkan hal itu terjadi.” Aku
menunjuk Dimitri dengan telunjukku.
“Ah,
pria ini benar-benar. Kalian pacaran saja kalau begitu, jadi Om gak akan pusing
lagi karena orang ini lagi.”
Aku
tertawa mendengar ucapan Kevin, tapi Dimitri hanya menatapku dengan tatapan
yang tak kumengerti. Ia tak mungkin memikirkan hal yang sama, kan, dengan
Kevin?
**
Kami
baru pulang dari kafe itu ketika jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Waktu
berlalu sangat cepat jika kami sudah berkumpul. Percakapan itu akan di dominasi
olehku dan Kevin, Dimitri seperti biasa hanya menjadi orang yang menyimak. Aku
kadang berpikir bahwa diamnya Dimitri hanya bagian dari kedoknya untuk
menunjukkan bahwa dia keren. Pria terkadang melakukan itu, kan, untuk menarik
perhatian lawan jenis?
Saat
ini aku sedang berada di mobil yang sama dengan Dimitri. Aku sengaja tak
membawa mobil karena aku tak suka jika harus terjebak macet, dan Dimitri akan
sangat melarang jika aku naik taksi sendirian. Ia lebih cocok menjadi pacarku
di banding sahabatku, tapi sahabat juga bisa melakukan itu, kan?
“Aku
benar-benar tak menyukai pria itu, Li,” ucapnya tiba-tiba.
Aku
memutar bola mataku malas. “Beri penjelasan, Al. Aku akan benar-benar menjauh
jika ada penjelasan untuk itu semua.”
“Hanya
menjauh saja, Li,” ucapnya tegas. Benar-benar tak ingin di bantah.
Aku
hanya diam tak memberi jawaban. Tak perlu jawaban untuk itu semua. Dia hanya
menyebalkan seperti biasa, dan aku hanya perlu bersabar lebih banyak.
“Apa
aku dan Kevin belum cukup untukmu?” tanyanya lagi.
“Kalian
berdua sahabatku, bagaimana mungkin itu cukup? Keluargaku bahkan sudah
mendesakku untuk menikah. Pria dan wanita itu berbeda, Al. Kamu bisa memiliki
wanita di manapun, tapi aku tak bisa melakukan itu.” Ini ucapan yang sedikit
bijak yang pernah kukatakan padanya.
“Sahabat…,”
ucapnya lirih.
“Kurasa
sudah cukup sikap posesif itu, Al. Aku ini wanita dewasa, kalaupun aku akan
kembali di sakiti, itu adalah bagian dari perjalanan hidup yang harus aku
alami,”
Jika
aku ikut keras kepala, permasalahan ini tak akan menemukan solusi. Jadi lebih
baik pasrah pada semua yang ia katakana.
“Kalau
keluargamu bertanya tentang pernikahanmu lagi, bawa saja aku pada mereka.”
Aku
menggeleng, bukan karena tak setuju. Lima tahun itu waktu yang cukup lama untuk
mengenalnya, dan ia memang selalu menggampangkan semua hal. “Semua terasa
mudah, kan, untukmu? Aku juga memiliki kehidupanku sendiri. Aku akan tetap
menikahi pria yang kucintai, walaupun kamu tak menyetujuinya.”
“Aku
bisa menjadi suamimu jika memang harus seperti itu.”
**
Selamat membaca semuanya, jangan lupa tinggalkan jejak^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 146 Episodes
Comments
Desiti Prianganti
kereeen seruuuu
2021-02-06
0
Mama VinKa
nah2 akhirnya ngomong gt Dimitrinya
2020-12-26
2
Miss R
jadi greget bacanya
2020-07-02
2