“Gimana Richard?”
Aku kembali bertemu dengan Nabila. Dia yang meminta bertemu sebenarnya, ingin memastikan pertemuanku dengan Richard. Sejauh ini dia mak comblang yang cukup bertanggung jawab dan juga berhasil.
“Lancar, Richard juga asik orangnya. Well, aku cocok sama dia,” ucapku
“Kamu serius?” tanya Nabila memastikan. Ia terlihat tak yakin dengan ucapanku barusan.
Ini pukul delapan malam, dan aku belum pulang ke rumah karena Nabila yang meminta bertemu. Yah, lagipula aku terbiasa berada di rumah pada pukul sepuluh, jadi pukul delapan terasa terlalu sore untukku.
“Ya, aku serius. Aku Cuma terlalu capek, kamu tahu aku harus menghadiri beberapa rapat hari ini, dan ya kayak gini jadinya.”
“Gimana hubungan kamu sama Dimitri?”
Aku menaikkan alis, heran dengan perubahan topik. Nabila sudah tak pernah menanyaiku tentang Dimitri sejak beberapa bulan yang lalu ketika aku mulai tidur dengan Dimitri. Ia tahu, karena aku menceritakannya. Awalnya ia kaget dan berkali-kali menasehatiku kalau yang kami lakukan itu tak benar. Aku mendengar semua ucapan Nabila dan mengiyakan, tapi aku juga tak mengerti dengan diriku yang selalu lumpuh akan pesona Dimitri.
Awalnya yang Nabila takutkan bagaimana jika aku tiba-tiba hamil, sementara Dimitri hanyalah sahabatku. Aku sudah berkali-kali menenangkannya bahwa aku sudah meminum pil pencegah kehamilan. Saat pertama memang menakutkan, tapi kedua kalinya ketika Dimitri menawarkan malam panas lainnya, aku langsung mengiyakan.
“Bagaimana menurutmu? Aku sendiri juga bingung, aku tak bisa lebih dari sahabat karena Dimitri bukan tipe pria yang suka komitmen. Lagipula apa yang kuharapkan dari pria sepertinya?”
“Aku memilih Richard supaya kamu menghentikan hubungan apapun yang kamu jalin bersama Dimitri. Kamu tahu dan kamu tetap menjalaninya seolah itu bukan apa-apa. Kamu cinta sama dia?”
Aku menggelengkan kepala. “Bukan cinta seorang wanita terhadap pria. Banyak yang harus di korbankan kalau mau cinta sama dia.”
Aku adalah orang pertama yang memperkenalkan Dimitri dan Kevin pada Nabila. Nabila dan aku sudah bersahabat sejak SMA, kami hanya memilih fakultas yang berbeda ketika kuliah sehingga jarang bertemu, tapi hal itu tak pernah memutus persahabatan kami hingga sekarang.
Hanya Nabila yang mampu mengerti diriku, dan Nabila juga bukan wanita yang menyulitkan seperti wanita kebanyakan. Kami saling berbagi sifat dan kegilaan yang sama. Nabila sangat tahu bagaimana sifat posesif Dimitri sejak kuliah, ia adalah orang pertama yang mengatakan kalau Dimitri jatuh cinta padaku. Tapi itu hanya pendapatnya, karena Dimitri tetaplah playboy yang membutuhkan wanita setiap saat.
Lain kali akan kuceritakan ketika pertama kalinya aku dan Dimitri memulai hubungan aneh ini. Itu akan menjadi kisah yang panjang, jadi kalian harus bersiap.
“Kamu sama Reno belum ngelakuin itu?” tanyaku penasaran.
Nabila menatapku sengit, aku tahu dia sebenarnya tak sepolos yang kalian pikirkan. Bedanya hanya ia berpacaran dan aku bersahabat. “Reno bukan kayak Dimitri, ya,” ucapnya kesal.
Aku tertawa mendengar pembelaannya. Ya, Reno itu sangat lurus, tapi tak selurus itu juga. Mereka kadang hanya sampai foreplay, Reno tak akan melakukannya jika belum menikah. Sedangkan Nabila ini, dia wanita liar yang sering menggoda Reno.
“Dan kamu bukan kayak Reno, aku tahu seberapa gilanya kamu,” ucapku sambil tertawa lagi.
“Heh, kita lagi bahas kamu, ya, jangan sok-sokan ganti topik.”
Aku hanya menjulurkan lidah padanya. Membahas hubunganku dan Dimitri hanya membangunkan sisi melankolisku. Kami bersahabat, tapi saling menguntungkan juga. Hanya itu dan tak perlu menambahkan apapun. Aku tahu yang kulakukan salah, tapi semuanya sudah terlanjur.
Jika aku ingin mengulang semuanya dan berpura-pura tak pernah terjadi apapun, apa yang akan terjadi? Kami terlalu memiliki banyak hubungan yang saling berkaitan, jika merusak salah satunya, maka yang lain juga hancur. Semuanya tak akan rumit jika aku ingin meninggalkan Dimitri, hanya saja pria itu tak akan dengan mudah
mengizinkanku pergi
Dimitri itu sangat egois dan keras kepala. Dia terbiasa dengan semua orang yang mematuhi semua perintah dan keinginannnya. Kalian ingin tahu bagaimana sebenarnya persahabatan kami di samping hubungan panas kami? Lain kali aku akan menceritakannya, itu kisah yang panjang.
**
Hari ini aku mendapatkan undangan dari seorang klien. Perusahaaannya sudah lama bekerja sama dengan kami, dan hari ini adalah ulang tahun pernikahannya yang ke tiga puluh tahun. Pria itu adalah klien favoritku karena ia tak memiliki banyak permintaan. Sungguh klien yang diidam-idamkan tiap perusahaan.
Tebak aku pergi dengan siapa malam ini? Sudah pasti bukan Richard, karena bukan hanya aku yang di undang. Sudah pasti itu Dimitri Rahagi Aldino, bos besarku yang sangat di cintai banyak wanita di luar sana. Pria ini tak menyukai acara makan malam seperti ini, membosankan katanya. Lihat saja beberapa jam lagi, ia pasti akan menghilang bersama salah satu wanita di ruangan ini. Aku sudah sangat tahu kebiasaannya ini.
“Mau taruhan berapa lama lagi kamu akan berada di ruangan ini?” bisikku padanya yang berdiri di sebelahku. Sang tuan rumah sedang menyampaikan rasa terima kasihnya pada tamu undangan yang hadir di depan sana.
“Menurutmu? Kalau kamu salah menebak, aku tak mengizinkan kamu keluar dengan pria kemarin,” ucapnya santai. Sambil menengguk champagne di genggamannya.
“Lima belas menit lagi?” tanyaku acuh. “Wanita bergaun merah itu memandangimu sejak tadi, kupikir ia sudah tak sabar menerkammu, atau sebaliknya?” aku menaikkan bahu acuh.
Wanita di depan sana sudah menatap Dimitri dengan tatapan laparnya sejak tadi. Aku yang sedari tadi berdiri di samping Dimitri rasanya jengah. Mungkin aku harus mencari pria juga untuk menemaniku ketika Dimitri menuntaskan gairahnya.
“Dia terlalu murahan, lihatlah belahan dadanya itu. Kupikir itu silicon,” bisiknya lagi. Tangannya tersampir di bahuku dengan wajah yang sangat santai.
Obrolan seperti ini sangat biasa untuk kami berdua. Kurasa kami sudah sedekat itu karena sudah sangat lama kami mengobrolkan topik seperti ini. “Ck. Hargailah usahanya sedikit. Memasang silikon pun membutuhkan biaya yang tak sedikit. Kamu, kan, menyukai yang seperti itu.”
Wajah kami sama-sama terfokus pada pasangan suami istri yang sedang merayakan hari bahagianya, tapi kami tetap memiliki obrolan sendiri. Aku berharap tak ada yang mendengarkan obrolan kami yang sangat tidak berfaedah. Aku sebenarnya juga tak menyukai undangan makan malam seperti ini, sangat ramai dan aku tak nyaman. Aku lebih memilih lembur di banding menghadiri acara seperti ini.
“Aku lebih suka milikmu, sangat pas di genggamanku, dan kenyal,” bisiknya di telingaku.
Aku langsung menatapnya yang juga sedang menatapku dengan tatapan menggodanya. Tangannya yang tersampir di bahuku bahkan ***-remas udara kosong di sekitar kami, menncoba meniru ketika ia… Ah, aku takkan melanjutkan kalimat ini.
Aku menatap ke sekelilingku, yang hampir semuanya sedang fokus pada sepasang suami istri di depan sana. Aku segera mencubit perutnya, yang sebenarnya tak terlalu berguna. Perutnya di penuhi otot, hampir sulit menemukan lemak di perutnya.
Ia meringis sedikit. Aku tahu itu hanya pura-pura, karena tak mungkin ia kesakitan. Justru jariku yang kesakitan. “Lebih kebawah sedikit biar lebih nikmat,” bisiknya lagi. Aku langsung memberikan tatapan kesalku padanya.
“Jaga mulutmu, Dimitri!” sungutku.
**
Benar saja, tak perlu menunggu lama hingga Pak Brahmantyo menyelesaikan pidatonya, Dimitri sudah menghilang bersama wanita bergaun merah tadi. Pria itu sangat tak bisa mengontrol nafsunya.
Aku terpaksa berkeliling untuk menyapa beberapa tamu yang kukenal sendirian. Aku harusnya menggantikan posisi Dimitri saja jadi tak perlu mendapatkan pengkhianatan seperti ini tiap kali mendapat undangan makan malam. Aku ingin saja pergi dengan Kevin, tapi Dimitri selalu tak mengizinkan. Percayalah, pria itu sangat aneh.
Aku menghentikan perjalanan berkelilingku di salah satu meja yang menyediakan kue-kue yang sangat indah dan juga buah-buahan. Setelah melihat makanan itu, aku baru sadar kalau aku sangat lapar. Yah, aku selalu menghayati setiap hal yang kulakukan hingga melupakan kebutuhan yang paling dasar, makan contohnya.
“Liliana.”
Aku langsung tersedak mendengar suara itu. “Kamu gak pa-pa?” tanyanya panik.
“Richard?”
Aku memandangnya heran. Richard ada di sini? Bagaimana bisa?
Aku langsung meneguk air putih yang ia sodorkan. Berbagai kemungkinan mulai berlari-lari di otakku. Ini tak mungkin kebetulan, kan? Dan masih ada Dimitri di sini, bagaimana jika mereka bertemu? Mereka tak mungkin saling menonjok, kan?
“Kamu kok bisa di sini?”
“Kamu seperti melihat hantu, apa semengejutkan itu?”
Aku segera menyadarkan diriku. Ya, aku sangat terkejut. “Aku pernah membantu operasi pengangkatan batu ginjal Pak Bramantyo, dan aku Dokter pribadinya. Kamu sekaget itu?” tannyanya lagi.
“Ya, sangat. Kupikir ruangan ini isinya hanya para pengusaha saja. Kamu datang sendiri?”
Richard hanya menganggukkan kepalanya. Sejak pertemuan kami di perpustakaan itu, kami belum berkomunikasi lagi. Total sudah dua minggu. Senang rasanya melihat Richard di sini, sangat tampan seperti biasa. Dia menggunakan setelan jas lengkap yang membuatnya semakin berwibawa.
“Kamu sangat cantik malam ini.”
Pipiku seketika memanas mendengar pujiannya lagi. Ah, dia selalu memujiku dengan manis. Aku bisa mati terbakar rasanya. “Ah, pipiku pasti sudah memerah sekarang,” ucapku. Memegang kedua pipiku yang terasa panas.
“Dan kamu semakin cantik karena aku membuatmu merona,” ucapnya dengan tawa renyah itu.
“Hentikan itu, Rich.”
Dia hanya semakin tertawa melihat aku yang semakin salah tingkah dan pipiku yang memerah. Aku pasti terlihat seperti anak remaja yang sedang kasmaran sekarang ini. Jika tahu seperti ini, aku tak sudah mencari Richard sejak tadi, jadi aku tak perlu terjebak lebih lama dengan Dimitri.
“Mau dansa?” tanyanya ketika tempo musik yang menyala mulai melambat. Beberapa pasangan bahkan sudah turun ke lantai dansa.
Aku menerima uluran tangannya, dan ia menuntunku menuju lantai dansa. Aku sedikit merasakan hangat telapak tangannya di punggungku. Untuk kalian tahu, aku memakai halter top dress semata kaki berwarna maroon. Plot twist dari gaun ini adalah punggungku yang terbuka.
Aku mengalungkan kedua tanganku di lehernya, dan ia meletakkan kedua tangannya di pinggulku. Kami menggerakkan kaki kami sesuai ketukan musik sembari menikmati kedekatan kami. Kami sangat dekat,
beruntung ia sangat tinggi karena aku hanya bisa menatap dada yang sudah pasti bidang itu. Aku perlu mendongak hanya untuk melihat wajahnya, heels delapan senti ini sama sekali tak membantuku untuk sedikit lebih tinggi.
Tubuhku sedikit meremang ketika menatap di kejauhan sana, melewati bahu Richard walau tak terlalu terlihat karena tinggiku yang tak memadai. Tapi, sangat jelas kalau mata yang memandangku dengan dingin itu adalah Dimitri. Apa ia sudah selesai dengan wanitanya?
“Rich, aku haus,” bisikku pada Richard.
Richard menjauhkan tubuh kami lalu menuntunku pada meja yang penuh makanan tadi dan menghentikan pelayan yang berkeliling membawa minuman.
“Kamu sangat pintar berdansa,” ucapku memecah keheningan. Sebenarnya aku hanya ingin menghilangkan kecanggunganku karena tatapan Dimitri tadi. Dari jarak yang lumayan jauh itu, dan aku masih bisa merasakan kediktatoran dalam mata itu yang selalu membuatku gugup.
“Leena.”
Aku menoleh kebelakang dan menemukan Dimitri di sana. Hanya pria itu yang memanggil nama belakangku, dan itu hanya ia lakukan di saat seperti sekarang. Marah? Kesal? Terkadang pria ini sangat sulit di tebak dalam keadaan seperti ini.
Richard menatap Dimitri yang tiba-tiba muncul dengan heran. “Kamu tak ingin memperkenalkan kami?” tanya Dimitri yang langsung memeluk pinggulku, memberi sedikit remasan di sana. Ah, aku dalam masalah.
“Richard, perkenalkan ini Dimitri. Dimitri, ini Richard.”
Mereka saling berjabat tangan, tapi aku bisa merasakan energi negatif yang terpancar dari jabat tangan mereka. Sudah satu menit dan mereka belum melepaskan jabat tangan itu, mereka saling menatap seolah mampu berkomunikasi melalui tatapan itu.
“Aku sudah berpamitan pada Pak Bramantyo, kita pulang sekarang.”
Dimitri yang mulai memutus kontak aneh mereka. Beruntung mereka tak mengeluarkan api dari tatapan mereka, karena jika ya, maka aku sudah terbakar sekarang.
Hal yang tak mungkin kulakukan saat ini adalah menolak Dimitri. Aku sudah merasakan energi negatif sejak pertama kali menemukan matanya yang menatapku tadi.
“Richard, sepertinya aku pulang duluan. Aku akan menghubungi nanti,” ucapku dengan perasaan bersalah. Kalau saja Dimitri tak muncul secepat ini.
Richard hanya menganggukkan kepalanya sembari tersenyum.
**
“Apa-apaan tadi yang kulihat? Kamu berdansa bersama pria asing? Dia bahkan menyentuh tubuhmu sembarangan.”
Lihatlah siapa yang berbicara seperti itu, ia bahkan sudah lebih dari menyentuh dan lebih brengsek. Lalu bisa-bisanya ia kesal seperti itu pada Richard. Egonya benar-benar sangat besar.
“Kamu bahkan bercinta dengan wanita itu, Al, dan kamu marah-marah gak jelas cuma karena Richard yang dansa sama aku?”
Aku menggelengkan kepalaku tak percaya. Kami sudah berada di mobil dalam perjalanan pulang ke apartemenku, dan sudah pasti Dimitri akan melakukan hal yang sama. Kami sudah pasti akan berakhir di ranjang lagi.
Mobil berhenti di basement, dan Dimitri langsung keluar. Yang mengejutkan, ia bahkan membuka pintu mobilku. Ada apa dengan pria ini? Apa bercinta dengan si dada silikon tadi membuatnya memiliki sedikit perasaan?
Aku keluar dengan tatapan dinginnya yang tak berhenti menatapku. “Pulanglah,” ucapku. Aku segera melangkah menjauhinya, sebelum tangannya mencekal pergelangan tanganku.
“Aku belum selesai denganmu.”
“Apa lagi? Kamu belum puas bercinta dengan wanita tadi?” tantangku.
“Aku bahkan tak menyentuhnya sama sekali, dia terlalu murahan.” Ia mendesakku ke badan mobil, mengurungku dengan tubuh dan kedua tangannya. Ah, aku sudah tahu bagaimana ini akan berakhir.
Alih-alih mencium bibirku, ia malah mencium tulang selangkaku dan bahu yang terbuka. Kedua tangannya memeluk tubuhku dan menyentuh punggungku yang terbuka. Dimitri selalu berpikir kalau ia bisa menyelesaikan semua masalah dengan sentuhan fisik seperti ini. Ia sangat pintar dan semua orang mengakui itu, kalau tidak, ia tak mungkin mampu menggantikan jabatan Ayahnya.
Kekurangannya hanya ketika ia menghadapi seorang wanita. Ia tak pernah menceritakan bagaimana ia bisa berakhir menjadi pemain wanita seperti ini. Yang aku tahu, kali pertama aku melakukan hal itu bersamanya, aku seperti kecanduan. Dan itu benar-benar buruk untukku.
Aku tak pernah menghitung berapa kali melakukannya, yang aku tahu, sentuhan Dimitri sama sama seperti racun. Mematikan dan juga membuat ketagihan di satu waktu. Aku hanya berharap hubungan terlarang mereka ini bisa segera berakhir.
Tapi, apakah aku siap jika ini benar-benar berakhir?
**
Haiii aku balik lagi. Happy reading, jangan lupa tinggalkan jejaknya ya ^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 146 Episodes
Comments
AyAy
mungkin ada cinta diantara mereka.. cuma mereka blum merasakanx...
2020-09-13
3
Angel
Ada cerita nabila dan reno gak thor? Seru sepertinya dimana si cwe liar dan si cwo lurus😂
2020-09-11
2
Divia Rilis Arunika
jgn dibikin murahan bgt lah thor
2020-09-05
1