Aku bangun pagi itu
dengan perasaan yang terasa aneh, karena Al tentu saja. Aku merasakan jantungku
berdebar sangat kencang ketika bersama Richard semalam, tapi semua itu hilang
begitu saja ketika Al menciumku. Aku tak akan munafik kalau aku tak
menikmatinya tadi malam, tapi ada sedikit rasa bersalah ketika memikirkan Richard.
Pagi ini aku akan
kembali menghadapi Al, karena ia menginap. Hal yang sangat ia lakukan. Biasanya
ia hanya akan tidur sebentar lalu kembali ke rumahnya sendiri. Pria itu, untung
kami bersahabat, kalau tidak mungkin aku akan memukul kepalanya hingga ia berhenti
bermain wanita dan fokus menjadi pria dewasa.
Dia bahkan masih dengan
sangat tenang tidur di kamarku, padahal hari sudah sangat siang, hampir pukul
sepuluh. Aku berdiri di depan mesin toaster,
menunggu rotiku matang. Aku sangat lapar tapi sangat malas untuk memasak
ataupun memesan makanan. Ponselku bahkan kulupakan sejak semalam dan pagi tadi
aku terlalu malas mencari.
Kalian tahu kenapa? Al
bermain dengan sangat brutal tadi malam, tak seperti biasanya. Brutal dalam
artian sedikit kasar dan menggebu-gebu.
“Aku juga mau roti
bakar.”
Aku menoleh dan
mendapati Al yang tak mengenakan pakaian apapun, hanya celana kain yang ia
gunakan semalam. Itu adalah pemandangan yang sangat indah untuk mengawali hari,
karena tubuhnya yang sangat proposional dan idaman semua pria. Pantas saja
semua wanita itu rela mengantri untuknya.
Aku tak menjawabnya,
lalu kembali fokus pada roti yang belum matang. Beberapa detik kemudian bunyi
dentingan dari mesin toaster mengalihkan
perhatianku. Aku segera meletakkan dua lembar roti itu di piring dan membawanya
pada Al. Rotiku hanya tersisa dua potong itu, dan aku tak ingin berdebat, jadi
aku hanya menikmati segelas susu yang juga ada di hadapannya.
“Kenapa wajahmu? Apa
aku belum memuaskanmu?” tanyanya santai sambil menggigit roti.
Aku mendengus. Dia
sangat perhatian ketika berada di ranjang, tapi sangat cuek ketika sudah
kembali ke dunia nyata ini. “Kamu belum menjelaskan sikapmu semalam,” ucapku
langsung.
Aku bukan tipe wanita
yang suka memberi kode pada lawan jenis. Aku lebih suka menyampaikan apa yang
kuinginkan dan kurasakan. Menurutku memberi kode hanya membuang-buang waktu dan
tak efisien.
“Biasanya kamu tak
butuh penjelasan, kita melakukan seperti biasa.”
“Apa hanya itu yang ada
di otakmu? Darimana kamu tahu aku sedang kencan?”
Al dengan santainya
tetap mengunyah roti itu, bahkan sesekali mengoleskan selai coklat yang juga
memang kusiapkan. Pria ini benar-benar.
“Sudahlah, percuma juga
aku bicara denganmu. Jangan lupa cuci piringnya kalau kamu sudah selesai,”
ucapku. Aku segera beranjak dari dudukku berniat untuk mandi dan mungkin
setelah ini aku akan menghabiskan waktuku di toko buku atau mungkin mall.
“Kamu marah?” Al
mencekal tanganku yang melewatinya.
Aku melepaskan cekalan
tangan itu dan melipat tanganku di dada. “Kalau kamu tetap menyebalkan seperti
ini dan tak memberiku penjelasan, maka jawabannya ya.”
“Apa pria itu begitu
spesial sampai kamu seperti ini?”
“Dan apa harus kamu
kekanak-kanakan seperti ini? Kamu itu udah dua delapan, kamu tak memikirkan
masa depanmu? Kamu akan terus bermain-main dengan wanita?” tanyaku kesal.
Al menatapku dengan
menopang dagunya, menyandarkan tubuhnya di meja bar di sampingnya. “Selama
sebulan ini aku hanya menghabiskan malamku denganmu, aku bahkan tak mengunjungi
klub karena pekerjaan yang tak ada habisnya itu. Lalu sekarang kamu
memarahiku?” tanyanya, tampak acuh seperti biasanya.
Aku menundukkan kepala,
menghitung sampai sepuluh untuk menenangkan emosiku. Lima tahun aku
mengenalnya, dan selama itu aku tak pernah merasakan perubahannya dalam bersikap.
Ia hanya semakin matang dan profesional ketika bekerja.
Awalnya aku bisa paham,
tapi saat ini rasanya sangat kesal. Mungkin karena ini adalah kencan pertamaku
setelah sekian lama Al dan Kevin menghalanginya. Umurku sangat melebihi umur
orang berkencan, setidaknya aku harus memiliki tunangan di usia ini, bukan baru
memulainya seperti ini.
“itu pekerjaanmu dan
aku tak peduli, harusnya kamu bisa menanganinya, kenapa malah merengek? Aku tak
peduli kalau kamu tak menyukai Richard, ini hidupku dan aku tak perlu
persetujuanmu untuk berkencan.”
**
Hari seperti ini sangat
jarang terjadi untukku. Sabtu siang dan aku libur, biasanya aku menghabiskan
sabtuku dengan lembur. Sebenarnya ada beberapa pekerjaan yang harus aku
selesaikan, aku bahkan sudah menyiapkan laptopku. Pada akhirnya aku memang
harus tetap bekerja di sabtu siang ini.
Aku bisa saja meminta
Richard untuk menemaniku, kami sudah bertukar kontak kemarin. Ia bahkan
menawarkan diri jika aku tak memiliki teman untuk jalan-jalan seperti ini. Tapi
aku masih merasa bersalah, walaupun Richard juga tak akan tahu, tetap saja
rasanya aneh. Bayangkan, aku baru saja menghabiskan malam panasku bersama
sahabat priaku, lalu siangnya aku meminta pria lain menemaniku keluar. Aku
sudah sama seperti pelacur di luar sana, lompat dari satu pria ke pria lain.
Sangat berlebihan sekali perbandingannya, ya? Aku hanya merasakan hal itu, dan
aku belum bisa bertemu Richard dalam waktu dekat ini.
Jadi setelah aku tak
memiliki pilihan lain, aku berakhir di perpustakaan umum mengerjakan
pekerjaanku yang sangat kucintai ini. Benar-benar belum ada yang bisa
menggantikan posisi laptop sebagai pacarku. Lebih baik berpacaran dengan
laptopku, tak akan ada masalah berarti yang akan kuhadapi.
“Kenapa tak
meneleponku?”
Aku mendongak dan menemukan
Richard berdiri di samping mejaku mengenakan kaos oblong putih dan juga celana jeans. Padahal hanya pakaian sederhana
seperti itu, mampu membuatnya bersinar dengan tampan.
Sebenarnya hidupku ini
sangat beruntung karena di kelilingi pria-pria tampan, tapi yang dua lainnya
menyebalkan. Jika Al dan Kevin memiliki sifat seperti Richard, maka aku tak
perlu terlalu pusing untuk menghadapinya.
“Kamu kenapa ada di
sini?” tanyaku keheranan. Ini memang hari sabtu, tapi dokter tak biasanya
memiliki jadwal libur tetap, apalagi dokter bedah sepertinya yang menghabiskan
harinya di ruang operasi.
“Surprise?” tanyanya dengan senyum lebar.
Aku tertawa. Padahal
baru tadi aku katakan kalau aku merasa bersalah pada Richard, dan sekarang aku
sudah mampu tersenyum lebar padanya. Sepertinya aku harus mencari obat yang
mampu membuatku mengurangi rasa kagumku pada pria tampan. Mereka benar-benar
jenis yang sulit di tolak.
“Apa kamu bisa
memeriksa kondisiku?”
“Kamu sakit?” tanyanya
dengan panik.
“Ya, aku sepertinya
butuh obat agar tak terlalu terpesona padamu. Jantungku berdebar sangat kencang
hanya melihatmu.”
Ia tertawa malu,
pipinya sedikit memerah karena sangat kontras dengan kulit putihnya. Apa ia
baru saja tersipu karena gombalanku yang tak bermutu itu? Kenapa itu sangat
terlihat manis untukku? Ada kesenangan tersendiri ketika melihatnya seperti
itu.
“Lalu bagaimana
denganku? Aku sepertinya sudah jatuh cinta padamu.”
Ah, jadi kami akan
saling melemparkan gombalan seperti ini? Aku bahkan bisa melakukan lebih dari
ini jika dia ingin.
“Kamu makin cantik kalo
merona gitu, Lian.”
Oke, aku harus
menyadarkan diriku. Ini Richard, bukan Al.
Panggilan Lian itu,
belum ada yang memanggilku seperti itu. Mereka biasa memanggilku Lili, Ana,
atau Liana. Itu mungkin hal yang biasa, tapi terasa sangat luar biasa untukku,
karena itu Richard yang melakukan. Jika bukan, rasanya akan sangat biasa.
Kurasa aku sudah jatuh
cinta padanya. Jantungku yang selalu berdebar kencang ketika melihat senyumnya,
ketika kami mengobrol, semua yang ada pada dirinya membuatku takjub. Sepertinya
kami berbagi perasaan yang sama, kan?
**
Senin. Aku sama seperti
orang lain yang sangat tak menyukai dengan datangnya senin. Banyak rapat yang harus
kuhadiri, memeriksa berbagai laporan yang ada, lalu mengecek proses syuting
dari salah satu produk klien, dan aku yakin daftar pekerjaanku masih akan terus
bertambah. Sekretarisku belum memberikan jadwalku untuk hari ini.
“Eka, bagaimana
jadwalku hari ini?”tanyaku ketika baru saja tiba di depan ruanganku.
Eka—sekretaris andalanku—mengecek
buku catatannya. “Hari ini sedikit free,
Mbak. Rapat sama Pak Dimitri jam satu siang, setelah itu jadwal Mbak kosong.”
“Kamu serius?” tanyaku
tak percaya. Yang benar saja, sangat jarang sekali jadwalku kosong seperti ini.
“Serius, Mbak. Mungkin ada
beberapa laporan yang bakal Mbak periksa,” ucapnya tenang. Eka adalah
sekretarisku sejak pertama aku menjabat sebagai manajer. Dia cekatan, tak
banyak bicara dan bergosip seperti sekretaris lainnya, dan dia sangat memahami
keinginanku.
Well, beberapa laporan
yang ia bilang biasanya itu bisa mencapai sepuluh hingga lima belas laporan. Jadi
itu sama saja artinya jadwalku tak kosong, aku hanya akan mendekam di ruanganku
sampai jam pulang nanti. Tak buruk juga, setidaknya aku tak perlu pusing harus
keluar kantor di tengah cuaca yang terik ini.
“Oke, bawain langsung
semua laporan yang harus di periksa, ya?”
Eka hanya menganggukkan
kepalanya, dan aku langsung memasuki ruanganku. Oke, mari kita selesaikan ini. Aku
adalah pekerja keras yang sangat tahan banting, memeriksa ‘beberapa’ laporan
hanya hal kecil, aku sudah pernah menghadapi yang lebih dari ini.
Aku membuka pintu
ruanganku, dan hal yang pertama kulihat adalah Kevin. Sepertinya menjadi
Direktur itu sangat menyenangkan, karena tak perlu melakukan banyak pekerjaan
sepertiku. Wajar saja, secara tak langsung Kevin juga termasuk pemilik
perusahaan ini. Ayahnya memiliki saham di sini walaupun jumlahnya tak banyak,
dan ia adalah sepupu Al.
“Mau bertukar posisi
denganku, Vin? Sepertinya kamu tak memiliki banyak pekerjaan karena sudah
menjadi Direktur,” sapaku sembari melemparkan senyum padanya yang masih berdiri
di depan meja kerjaku.
“Apa Kak Liliana
sekarang sedang mengejekku? Kalau ya, maka aku sangat tersinggung.”
Aku hanya tertawa, lalu
segera duduk di kursi kebesaranku. Masih pukul sembilan, harusnya aku sudah
menyeduh kopiku untuk menemani pekerjaanku, tapi yang kulakukan sekarang malah
menyandarkan kepalaku ke kursi dan mulai memejamkan mata.
“Aku di jodohkan, Kak.”
Mataku langsung membuka
kembali mendengar ucapan Kevin. Menatapnya yang memang sedikit murung tapi
masih mencoba untuk memberikan senyumnya. Lagipula siapa yang akan senang di
jodohkan pada saat sekarang ini, tapi bukankah para pengusaha memang melakukan
itu demi kepentingan usaha? Aku sering membacanya di novel-novel.
“Kamu serius? Kenapa bukan
Dimitri saja yang di jodohkan? Kamu masih terlalu muda untuk menikah.”
“Ternyata pikiran kita
sama, Kak. Sebenarnya ini adalah perjodohan Dimitri, tapi dia menolak, katanya
dia sudah ada calon dan saling mencintai.”
Aku mengangkat alis
heran. Aku tak salah dengar, kan? Dimitri punya pacar, dan saling mencintai? Kami
bahkan baru kemarin bercinta dan dia sudah punya pacar. Pernyataan macam apa
itu?
“Kenapa terdengar
sangat mustahil,Vin?”
“Kak, tolong bantu aku,
aku tak ingin di jodohkan. Aku bahkan belum pernah bertemu dengan gadis yang
akan di jodohkan. Aku juga tak suka jika terikat dengan satu wanita,” ucap
Kevin memelas.
Keluarga Aldino itu
memang satu gen, jika yang satu pemain wanita, maka yang lain juga akan
mengikuti jejaknya. Kenapa aku tak kaget
lagi mendengar pernyataan seperti itu? Dan bagaimana aku bisa membantunya? Apa aku
harus pura-pura menjadi pacarnya? Ah, aku terlalu sering membaca adegan seperti
di novel.
“Terima saja, Vin. Bisa
jadi gadis itu sangat cantik, kamu akan menyesal jika tak menerimanya. Lagipula
tak seburuk itu kalau di jodohkan,” ucapku berusaha menenangkannya.
“Tapi aku masih
menunggu Kakak menerimaku, bagaimana kalau kita pacaran saja? Kakak sudah
mengenalku cukup lama, dan aku yakin Dimitri tak akan berani mengganggu lagi
jika kita pacaran.”
Aku memutar bola
mataku, siapa yang bisa menjamin semua itu? Dengan pria lain saja Al sangat tak
menyetujuinya, apalagi dengan Kevin. Semua itu hanya akan berakhir dengan
perang dunia ketiga, dan aku hanya akan menonton semua itu sambil menikmati popcorn.
“Pak Kevin Aldino,
sepertinya Bapak harus kembali ke ruangan karena saya harus bekerja,” ucapku
sambil tersenyum.
“Setidaknya beri aku
alasan, Kak,” rengeknya.
Untung dia sangat
tampan, karena yang dia tunjukkan saat ini sangat menjijikkan. Aku akan
melemparinya dengan vas bunga jika itu bukan Kevin yang melakukan. Padahal aku
sudah sangat sering memberikan alasan itu, dan dia berkali-kali masih
memintanya lagi, berharap aku mungkin akan berubah pikiran.
“Karena kamu lebih
muda, kita satu kantor, kamu atasanku, kamu sahabatku, dan aku tak pernah
menganggapmu lebih dari seorang sahabat dan adik. Kamu ingin mendengarnya untuk
berapa kali lagi? Aku bisa mengulangnya lagi jika kamu belum puas.”
“Bagaimana dengan
Dimitri? Aku tidak bodoh, dan aku tahu apa saja yang sudah kalian lakukan,”
ucapnya sinis.
Tanganku berhenti
ketika akan menyalakan laptop. Dimitri. Kami hanya sahabat, sahabat yang
berbagi kehangatan di ranjang tepatnya. Aku terkadang tak mengerti dengan apa
yang kulakukan, dengan hubungan kami juga. Jika aku bisa melakukannya pada
Dimitri, maka harusnya aku juga bisa melakukan hal yang sama pada Kevin.
“Sudahlah, pada
akhirnya Kakak akan tetap memilih Dimitri di bnadingkan aku. Aku hanya akan
menunggu sampai kalian saling mengungkapkan.”
Kevin segera beranjak
menuju pintu, dan aku masih belum bisa berhenti memikirkan ucapannya barusan. Harusnya
aku juga memiliki jawaban itu semua untuk diriku sendiri.
**
Ini pertama kalinya aku menyapa disini. Hai, aku penulis baru di mangatoon. terima kasih sudah membaca karyaku, semoga kalian menikmatinya. Berikan vote kalau kalian memang menyukainya, dan berikan kritik jika kalian merasa ada yang kurang. Aku sangat terbuka pada kritikan yang kalian sampaikan.
Selamat membaca^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 146 Episodes
Comments
Fitriani
ini cerita orang luar ya soal kok ada byk hubunga bdn sebelum menikah 🤔🤔
2021-01-13
1
Angel
Dimitri orang korea ya thor? Soalnya di part 1 dia playboy di korea. Atau ini set location di Indo/korea?
2020-09-10
0
Divia Rilis Arunika
terlalu pnjng penjbaranya ktimbang obrolanya sih kak mnrutku
2020-09-05
0