Menjadi Manajer
Pemasaran membuatku sedikit kewalahan, apalagi ketika sedang memiliki projek
seperti ini. Aku diminta untuk menyelesaikannya sesuai tenggat waktu yang sudah
di tentukan. Syuting iklan untuk salah satu produk dari klien kami sudah hampir
selesai, tapi aku tetap merasa belum puas. Mereka sangat perfeksionis, walaupun
aku sudah mengajukan hasil video mentahnya, mereka masih menganggap masih ada
yang kurang pada beberapa bagian.
Perusahaan tempatku
bekerja adalah perusahaan dalam bidang periklanan. Aku sudah bekerja lebih dari
lima tahun, tepatnya ketika aku baru saja mendapat gelar sarjanaku, dan Dimitri
sudah menjabat sebagai Direktur. Dia sudah bekerja sejak baru mulai kuliah atas
perintah Ayahnya, karena memang Dimitri adalah penerus Ayahnya.
Dimitri juga memiliki
beberapa persen saham di perusahaan tersebut atas namanya sendiri. Dia memang
semenawan itu ketika sedang bekerja. Pria pekerja keras, ambisius, keras
kepala, dan pecinta wanita tentu saja. Beruntung ia terlahir dengan wajah
tampan itu, kurasa walaupun ia tak memiliki wajah yang tampan, ia tetap akan
menjadi playboy. Kenapa? Karena ia
memiliki kekuasaan.
Wanita manapun akan
dengan mudah tunduk di bawah kuasa pria itu. Itu juga yang membuat egonya semakin
tinggi. Jika ia bukan sahabatku, aku sudah pasti akan membunuh pria seperti
itu, karena sahabatku itu juga aku belum mendapatkan seorang pacar. Dimitri dan
juga Kevin selalu memiliki sejuta alasan jika aku bercerita tentang salah satu
pria yang aku sukai.
Kalian ingin tahu
alasan yang mereka berikan? ‘Semua pria itu brengsek, jangan dekat-dekat dengan
pria manapun.’ Itulah yang mereka katakan, padahal mereka sama brengseknya dan
aku bersahabat dengan mereka. Aku bahkan sudah tidur dengan salah satunya. Aku hanya
tinggal menunggu waktu untuk tidur dengan Kevin agar aku mendapatkan predikat
sebagai ‘bitch’.
“Hai, Li. Maaf ya,
telat, kamu tahu sendiri jam segini itu jamnya macet.”
Aku tersenyum melihat
kedatangan Nabila yang langsung mendudukkan dirinya di kursi hadapanku. Nabila
ini satu-satunya sahabat yang kumiliki, karena sejak kuliah aku sudah dekat
dengan Dimitri, banyak gadis-gadis lainnya yang tak menyukaiku bahkan sampai
memusuhiku. Aku tak kaget dengan semua itu, aku sudah terbiasa.
Nabila adalah salah
satu editor di majalah fashion, dan
kami berdua sama-sama sibuk. Kami biasanya harus menunggu selama satu bulan
untuk bisa sekedar bertemu seperti ini.
“Biasa aja kali, kayak
baru kenal aja,” ucapku santai. Yang terpenting adalah kami bisa bertemu. Aku terlalu
muak jika harus berbicara bersama Dimitri dan Kevin, karena itulah aku cukup
beruntung memiliki satu sahabat wanita.
“Jadi gimana? Masih
pacaran sama berkas-berkas? Atau berkas-berkas itu udah berubah jadi cowok
ganteng?”
Aku tertawa mendengar
perumpamaannya, aku memang terkenal jomblo akut. Sejak kami mulai berteman, aku
tak pernah sekalipun memiliki pacar, bukan karena pernah patah hati. Dua sahabat
lelakiku sangat posesif, padahal aku juga ingin merasakan pacaran, aku sudah
dua tujuh. Jika tiga tahun lagi aku tak menikah, mungkin orang tuaku akan mulai
menjodohkanku.
“Aku selalu berharap
pemilik salah satu berkas-berkas itu adalah pria tampan, tapi yang ada
bapak-bapak tua nyebelin.” Aku menopang dagu, sangat miris dengan nasibku.
Kalian tahu, kadang aku
berharap klien-klien yang aku tangani adalah pria tampan, muda, dan pemilik
salah satu perusahaan, seperti yang sering aku baca di novel itu. Kenyataannya,
mereka hanyalah pria tua cerewet yang selalu tak setuju dengan konsep yang
kuajukan. Tak semua memang, sebagian besarnya seperti itu.
“Dan kamu beruntung
karena hari ini ketemu aku!” Nabila menjentikkan jarinya dengan semangat, senyumnya
sangat lebar menatapku. “Aku membawakanmu salah satunya.”
Nabila mengeluarkan
sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah foto seorang pria dengan jas dokter sedang
tersenyum pada seseorang yang memakai baju pasien. “Ini Reno?” tanyaku. Reno adalah
pacar Nabila yang berprofesi sebagai dokter.
“Masa iya aku mau
jodohin pacarku sama kamu, Li?” Nabila memutar bola matanya. “Itu temennya
Reno. Dokter bedah, ganteng, dan udah pasti jomblo,” ucap Nabila menggebu-gebu dengan
mata yang berbinar.
Bisa-bisanya dia
nyeritain cowok lain sampai sebegitunya, untung tak ada Reno disini. Kalau ada,
bisa di pastikan Nabila tak akan berani mengatakan hal seperti itu. Reno sangat
posesif, dan Nabila ini terlalu genit ketika membahas pria tampan.
“Bil, definisi cowok
ganteng yang jomblo kayak dia itu, kalo gak gay atau dia pasti udah punya pacar
atau istri tanpa sepengetahuan orang lain. Kamu yakin dia jomblo?”
Aku menatap Nabila
horor, pengalamanku memang seperti itu. Cowok tampan yang biasa aku temui itu
adalah gay, apalagi di tempatku biasa fitnes. Walaupun aku hanya mengenakan
bikini, mereka tetap lebih tertarik pada pria kekar lainnya. Terkecuali Dimitri.
Nabila menatapku sama
horornya. “Beb, kalo kamu mikirnya kayak gitu terus, gimana kamu bisa lepas
dari predikat jomblonya. Harusnya kamu bersyukur cowok ini ganteng.”
“Aku mau yang biasa
aja, Bil, tapi minimal dia punya satu perusahaan.”
Nabila langsung
melemparkan tisu padaku dengan kesal, membuatku tertawa. Aku benar, kan? Aku tak
butuh cowok ganteng dan sejenisnya, yang penting dia pria pemilik perusahaan dan
belum beristri. Berlebihan, ya?
**
Aku membereskan
berkas-berkas yang sedikit berserakan di meja. Ini hari jum’at dan sudah pukul
lima. Aku akan menemui si dokter bedah yang Nabila tunjukkan padaku fotonya
kemarin. Tentu saja aku tak akan menolak, foto yang hanya terlihat dari samping
saja sudah menunjukkan betapa manisnya senyum itu, bagaimana jika aku bertemu
aslinya. Aku harap dia lebih tampan dari dugaanku.
Aku ini bukan wanita
pemilih sebenarnya, aku lebih menilai karakter pria di banding fisiknya. Wajah tampan
hanya bonus saja. Aku jujur, hanya saja saat ini aku harus mencari pria yang
lebih tampan, lebih kaya, lebih dari segala hal yang di miliki Dimitri. Pria itu
pasti akan dengan senang hati merestuiku untuk berpacaran jika aku menemukan
pria yang seperti itu.
Ini sangat tak adil
untukku, Dimitri bisa mendapatkan wanita manapun yang ia suka, sementara aku
tak bisa melakukan hal itu hanya karena aku sahabatnya. Sangat lucu sekaligus
ironi untukku. Memang ada aturannya aku tak boleh berpacaran karena aku
memiliki sahabat pria?
“Tumben Kakak udah
beres-beres?”
Aku mendongak dan
menemukan Kevin yang berdiri di ambang pintu. Kevin sebenarnya sama saja dengan
Dimitri, ia akan rela aku memiliki pacar jika pria itu lebih dari dirinya. Benar-benar
dua saudara yang konyol. Setidaknya Kevin tak seposesif Dimitri.
Aku sudah menyelesaikan
membereskan meja kerjaku, dan segera mengambil tas dan menghampirinya. “Ini
hari jum’at, dan aku mau menikmati jum’at malamku,” ucapku dengan senyum lebar
di hadapannya.
Kevin menaikkan
alisnya, menatapku penuh selidik. “Kemana lagi Dimitri mau bawa kakak? Kayaknya
hari ini dia punya janji makan malam, apa jangan-jangan makan malamnya itu sama
Kakak?” tanyanya horor.
Kevin ini sangat
ekspresif jika sudah bersamaku, ia bisa menunjukkan seribu wajahnya yang penuh
ekspresi itu, tapi akan sangat serius jika sudah bekerja. Sayangnya aku sudah
menganggapnya seperti adik, aku pun tak memiliki perasaan yang spesial padanya.
“Apa menurutmu aku
hanya akan keluar bersama Dimitri? Dia bukan satu-satunya pria, tahu.” Aku mengerucutkan
bibirku.
“Kak, aku pernah
bilang, kan, kalau Kakak mau kencan—“
“—cari yang lebih
ganteng dari kamu dan bukan brengsek. Aku tahu, aku pastiin dia berkali-kali lipat
lebih baik dari kamu ataupun Dimitri, oke?” potongku.
Kevin tersenyum dan
mencubit kedua pipiku dengan gemas, lalu memutarnya kekiri dan kanan. “Kak Lili
udah dewasa rupanya.” Ia lalu melepaskan cubitannya dan menatapku dengan
serius. “Dan jangan pernah ketemu sama Dimitri di belakang aku, Kakak pikir aku
gak tahu?”
Aku tertawa. Walaupun usianya
sudah dua empat, ia masih suka menunjukkan sifat kekanakannya padaku. Lagipula
aku lebih menyukai seperti itu, di banding ia menunjukkan wajah serius padaku.
Jika sudah seperti itu, ia tak akan jauh berbeda dengan Dimitri.
Aku tersenyum lalu
mencium pipinya singkat sebelum berlalu meninggalkannya. Aku harus menunjukkan
kesan terbaikku di hari pertama pertemuan dengan sang dokter.
**
Sepertinya aku terlalu
bersemangat karena ini adalah pertemuan pertama, aku masih mengenakan blus dan
rok pensilku, karena jika aku pulang ke apartemen yang kusewa akan memakan
waktu, jadi lebih baik aku langsung menemuinya. Aku hanya memperbaiki riasanku
yang sudah mulai memudar.
Entah kenapa jantungku
berdegup kencang sedari tadi, apa karena ini pertama kalinya setelah sekian
lama aku bertemu dengan pria? Aku gugup, tapi aku coba untuk menenangkan diri. Biasanya
yang mampu membuatku berdebar-debar adalah Dimitri, Kevin juga pernah membuatku
berdebar-debar.
Aku bahkan masih
memikirkan pria lain ketika harusnya aku fokus pada pria yang akan muncul ini.
“Selamat malam.”
Aku menatap pria yang
baru saja menyapa. Dia sangat tampan. Aku bahkan berani bertaruh kalau dia
lebih tampan di banding Dimitri. Jantungku semakin berdetak dengan kencang
seolah akan keluar dari tubuhku.
“Liliana?” tanyanya
memastikan.
Aku berdehem pelan
sebelum menyapanya. Aku benar-benar akan berterima kasih pada Nabila nanti,
karena pria ini benar-benar tampan. Aku bahkan tak mampu mendeskripsikannya
dengan kalimat.
“Y—ya, saya Liliana.”
Aku mencoba menampilkan senyum terbaikku padanya, tapi rasanya wajahku terlihat
bodoh saat ini.
“Saya Richard,” ucapnya
ssembari mengulurkan tangan.
Aku menerima uluran
tangan itu dengan sedikit gemetar. Ah, reaksiku benar-benar payah ketika
bertemu pria, pantas saja aku jomblo sampai saat ini. Aku langsung
mempersilakan ia duduk. Pakaiannya sangat sederhana, hanya kemeja hitam yang
lengannya ia gulung sampai siku dan celana kain berwarna senada, dan hanya
dengan pakaian itu saja ia sudah sangat tampan.
“Kamu baru pulang kerja?”
tanyanya.
“Jarak apartemenku
lumayan jauh, kelamaan kalau pulang dulu jadi aku langsung kesini. Apa terlalu
formal?” tanyaku.
Harusnya aku tadi
mampir di salah satu butik untuk mencari setidaknya dress, aku merasa seperti sedang bertemu klien, bukannya kencan.
“Aku tak masalah, toh
kamu pasti akan terlihat cantik dengan pakaian apapun.”
Ucapannya membuat
pipiku memanas, sepertinya ia terlalu memujiku. Jantungku juga semakin berdetak
nyaring, aku merasa ia bisa mendengar suara debaran jantungku ini. Seharusnya aku
membawa obat sakit jantung agar jantungku tak terlalu berdebar seperti ini. Memalukan
sekali.
“Kamu gak masalah, kan,
kalau kita bicara secara informal, supaya gak terlalu kaku,” ucapnya lagi.
Aku hanya menganggukkan
kepala, aku benar-benar merasa seperti remaja yang baru jatuh cinta. Ucapan Richard
ini terlalu lancar untuk seorang yang sedang jomblo, apa karena ia dokter? Tapi
ia dokter bedah yang aku yakin waktunya lebih banyak di habiskan di ruang
operasi.
Aku meyakinkan diriku
sendiri untuk tenang dan santai, pria ini bukan apa-apa. Aku terbiasa
menghadapi pria lainnya, anggap saja dia klien. Klien yang menawarkan hidup
bersamanya sebagai bayarannya. Jadi aku harus mengeluarkan semua rasa percaya
diri yang tersimpan di dalam diriku.
“Aku ingin tahu tentang
dirimu? Bagaimana rasanya menjadi dokter bedah?”
“Kamu sangat to the point, ya?”
Aku mengangkat bahu
acuh. “Aku sebenarnya tak tahu harus bertanya apa. Aku lebih sering menghadapi
klien di banding menghadapi pria yang sesungguhnya.” Aku memberikan cengiranku
padanya. Kurasa bicara jujur lebih baik, ini sifatku dan aku ingin menunjukkan
itu padanya.
“Apa aku pria pertama? Rasanya
mustahil wanita secantik kamu mustahil melakukan hal itu.”
“Tapi itulah
kenyataannya, dan kamu terlalu memujiku.”
Richard tertawa, dan
tawanya itu menular padaku. “Kalau begitu aku beruntung, pastikan kamu hanya
mengatakan hal itu padaku saja.”
Pipiku kembali memanas
mendengar ucapannya. Ah, ini benar-benar pertama kali dalam hidupku aku
merasakan hal ini. Aku tertawa selepas ini, pipiku memerah, dan jantungku
berdebar sangat kencang. Ingatkan aku untuk membawa obat sakit jantung ketika
bertemu dengannya, agar debarannya tak sekencang ini.
Richard juga pria yang
sangat mengasyikkan, kami tak kehabisan topic sepanjang malam itu. Ia juga
sesekali melemparkan lelucon. Kali ini aku akan sangat berterima kasih pada
Nabila dan pacarnya yang mau menyodorkan salah satu temannya padaku.
**
“Al!”
Aku berteriak ketika
menyalakan lampu apartemen dan menemukan Dimitri berdiri memunggungiku di ruang
tamu. Aku selalu memanggil Dimitri dengan nama belakangnya, Aldino yang
kusingkat Al. Lebih singkat dan tentu saja berbeda dengan yang lainnya, aku
akan memanggilnya Dimitri jika sedang kesal.
Al menolehkan
kepalanya, dan menatapku dingin. Apa aku berbuat salah? Aku bahkan seharian tak
bertemu dengannya di kantor, karena aku sangat sibuk dan dia yang memang sedang
rapat di luar.
“Gimana kencannya? Kayaknya
kamu bahagia banget, pipi kamu bahkan masih merah sekarang,” ucapnya sarkas.
Aku reflek menyentuh
pipiku, bagaimana ia bisa tahu aku sedang kencan? Aku bahkan tak menghubunginya
sejak tadi. “Kamu tahu darimana?”
“Aku gak suka sama
cowok itu.”
Al berjalan
menghampiriku. Aku sontak mundur dari tempatku berdiri, tapi ia malah
melewatiku menuju pintu. Ia pergi? Ia tak menjawab pertanyaanku dan membuatku
bingung dengan sikapnya, lalu hanya pergi?
“Aku gak peduli sama
pendapat kamu, toh kamu selalu gak suka sama semua cowok yang deket sama aku,
dan kamu sekarang pergi gitu aja tanpa kasih penjelasan…,”
Ucapanku terhenti
begitu saja ketika ia dengan tiba-tiba berbalik dan mendorongku ke dinding. Menciumku
dengan keras, intens, seperti menyalurkan semua kekesalannya. “Ya, aku tak
menyukainya dan sebaiknya kamu jangan pernah mendekati pria lain lagi.”
Al meremas pinggulku,
semakin mendesakku ke dinding dan kembali menciumku. Aku tak bisa melakukan
apapun selain menerimanya. Ia tak pernah seperti ini sebelumnya. Aku bahkan
dengan mudahnya melupakan Richard yang baru kutemui, semua percakapan kami
seolah menghilang begitu saja ketika Al menciumku.
**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 146 Episodes
Comments
Rizky Novryanita Putri
gue yang bedebar bacanya 😁
2020-09-08
1
octyarine
Visualnya donk thor biar bisa bayangin
2020-07-23
1
Mamik Astutik
Adeh jdi cewek gampangan bnget
2020-07-15
3