Love'S Feeling
Seperti biasanya selesai kuliah Liana selalu berkumpul bersama para sahabatnya Rendi, Sofi dan Anita pacar dari Rendi.
Mereka selalu berbincang-bincang di sebuah Café favorit mereka, yang tak begitu jauh dari kampus mereka. Gurat tawa dan canda selalu meramaikan meja mereka.
"Hai... kalian berdua! Apa tidak bosan, selamanya tidak memiliki kekasih seperti itu?" Tanya Anita sembari bersandar pada pundak pacarnya Rendi.
"Lebih baik aku tidak punya kekasih, dari pada punya kekasih temen sendiri" sindir Liana.
"Biar saja. Tidak ada salahnya kan punya kekasih temen sendiri? Yang terpenting kita saling mencintai" ucap Anita tak mau kalah.
"Oh-oo.. saling mencintai? Dasar kekanak-kanakan" tawa Liana sungguh tak enak untuk dilihat.
"Kau bilang Aku kekanak-kanakan? Bukannya sebaliknya? Kau yang kekanak-kanakan! Menyukai seseorang tapi takut menunjukkannya. Direbut sama perempuan lain baru tau rasa" sindir Anita balik.
"Anita" tegur Rendi.
"Biar saja, biar dia sadar bahwa tidak selamanya Jojo akan sendiri" cerocos Anita tak memperdulikan teguran kekasihnya.
"Kalau Aku jadi dirimu, Aku akan mengungkapkan perasaanku walaupun Aku harus patah hati karena ditolak. Karena dengan seperti itu perasaanku jauh lebih baik dari pada harus memendamnya selama tiga tahun."
"Anita" Tegur Rendi sekali lagi yang menganggap perkataan kekasihnya itu sangat keterlaluan.
"Jadi apa keputusanmu?" Pertegas Sofi.
"Sofi kenapa Kau juga ikut-ikutan?"
"Cobalah bertanggung jawab pada dirimu sendiri" nasehat Sofi melanjutkan kata-katanya yang sempat terpotong oleh Rendi.
"Hay kalian berdua, Aku minta kalian jangan bicara lagi!" geram Rendi. Ia merasa kasihan pada Liana yang terpojok oleh kedua sahabatnya itu.
"Ini perasaanku, biarkan Aku sendiri yang bertanggung jawab. Kalian tidak perlu mengkhawatirkannya" ungkap Liana sambil mengangkat tas selempangnya. "Aku pergi!" pamit Liana dengan wajah kesal.
"Hay liana, Kau mau kemana?"
"Biarkan saja dia pergi! Biar dia merenungkan tindakan apa yang harusnya dia ambil" Anita menarik Rendi yang hampir pergi menyusul Liana yang masuk kedalam taksi.
"Apa kalian berdua sudah gila? Haruskah kalian berbicara seperti itu padanya?" ucap Rendi dengan nada tinggi. "Kalian ini sahabatnya atau bukan sih?"
"Jangan berteriak seperti itu padaku! Aku tidak tuli" pinta Anita dengan nada standart.
Sedangkan Sofi memilih untuk diam dan memandang kosong pada jalan yang tadinya sebagai pemberhentian taksi Liana.
"Kami hanya ingin menyadarkannya, kalau dia harus mengejar cintanya atau dia akan terluka" jelas Anita.
"Lalu haruskah dengan cara seperti itu?"
"Lalu harus seperti apa?" timpal balik Anita.
"Hey kalian berdua, bisa diam tidak? Kalau ingin bertengkar setidaknya tidak ditempat umum. Kalian tidak punya rasa malu?" tegur Sofi menghentikan percekcokan itu.
***
Liana berjalan dengan tenang melewati komplek rumahnya tanpa tahu bahwa kini Ia menjadi penyebab pertengkaran sahabat-sahabatnya.
"Ibu aku pulang!" ucap Liana lesu saat dia telah tiba didalam ruang tamu rumahnya.
"ehhh... sayang kamu sudah pulang" Tanya Ibu dan Ayah bersamaan sembari cengar-cengir tanpa sebab.
Liana pun mendekat kearah Ayah dan Ibunya untuk mencium tangan mereka. "Loh... kenapa Ayah ada di rumah?"
"Iya Ayah sengaja pulang lebih cepat untuk bertemu denganmu. Ayah ingin bicara sesuatu hal yang penting denganmu" tutur Ayah.
"Hal penting apa?"
"Duduklah!" pinta ibu menarik tangan Liana untuk duduk disampingnya.
"Memang mau bicara apa? Kelihatanya ayah dan ibu bahagia sekali?" tanya Liana atas sikap kedua Orangtuanya yang tak seperti biasanya.
Ibu dan Ayah saling menatap, terlihat mereka berdua bernegosiasi siapa yang berbicara terlebih dahulu walau hanya dengan isyarat mata. "Liana!"
"Iya?"
"Kamu mau..."
"Apa Kakak mau di jodohkan dengan anak teman Ayah? Bulan depan mereka akan datang kemari" saut Dafina yang baru bergabung dengan keluarganya tiba-tiba memotong pembicaraan Ayahnya.
"Dijodohkan?" seketika Liana terbelalak karena saking kagetnya atas ucapan adiknya itu.
"Apa bener itu ayah?" dengan anggukkan pelan Ayah telah menjawab segala keraguan Liana dan meluluh lantahkan perasaannya.
"Dulu sewaktu ayah remaja, ayah sudah membuat janji dengan teman ayah untuk menjodohkan anak-anak kami nantinya" Ayah menceritakan apa uang terjadi di masa lalu yang menjadikan ikatan janji itu ada.
"Ada apa dengan Ayah? Kenapa ayah berpikir sepicik itu? Apa ayah tidak memikirkan perasaanku? Yang belum dilahirkan di dunia ini sudah di tentukan siapa orang yang menjadi pendampingku!" protes Liana dengan mata berkaca-kaca.
"Tapi bila ini yang terbaik, kenapa tidak?" Ungkap Ibu.
"Mungkin ini yang terbaik untuk kalian, tapi bukan untukku" bantahnya sekali lagi.
"Liana kita coba dulu saja! siapa tahu Kamu cocok dengannya" bujuk Ibu.
"Iya Kak, siapa tahu kalian memang berjodoh. Katanya dia tampan loh, dari keluarga kaya lagi" rayu Dafina ikut-ikutan.
"Anak kecil, Kau anggap siapa Aku? Aku bukan anak remaja yang bisa terbujuk oleh materi dan ketampanan seorang laki-laki" geram Liana.
"Kakak ini benar-benar sangat keras kepala ya, Ayah dan Ibu hanya memberi jodoh untukmu, agar Kakak tidak selamanya menjadi perawan tua".
"Jaga ucapanmu! Tahu apa Kau tentang diriku?"
"Banyak. kau suka marah-marah, jutek, angkuh dan satu, kau hanya wanita bodoh yang mengharapkan bisa menikah dengan orang yang Kau cintai dan yang mencintaimu".
"Coba pikir! bila laki-laki itu tidak datang dalam hidupmu, apa selamanya kau tidak akan menikah?" ulas Dafina yang mulai kesal dengan sikap Kakaknya.
"Sudah, jangan bertengkar!" Ibu mencoba melerai kedua anaknya.
"Terserah. Terserah kalian mau melakukan apa. Aku tetap dalam pendirianku, aku tidak mau dijodohkan" Liana masuk kedalam kamar dan menutup pintu dengan kasar.
"Dasar keras kepala!"teriak Dafina.
"Ayah tidak apa-apa?" Desah Ibu memegang halus tangan Ayah.
"Iya, Ayah baik-baik saja. Ini memang salah Ayah, tidak seharusnya Ayah bertindak terlalu jauh" ucap Ayah sembari bangkit dari duduknya dan pergi dari hadapan mereka semua.
"Dasar perawan tua tak tau diri!" kecam Dafina dengan suara keras berharap Kakaknya mendengarnya.
"Dafina, kenapa Kamu bicara sekasar itu tentang Kakakmu?" Tegur Ibu pada anak bungsunya itu.
"Karena dia pantas mendapatkannya, dia telah membuat Ayah menjadi seperti itu" Dafina pun ikut pergi dari ruangan itu.
Sedangkan Ibu pergi kedepan kamar Liana, ia sangat mengkhawatirkan keadaan anak sulungnya itu. "Sayang, kamu tidak apa-apa?" Ibu mengetuk pintu Liana beberapa kali.
"Aku tidak apa-apa Bu, aku hanya butuh waktu sendiri" saut Liana sedikit meredakan kekhawatiran Ibunya.
"Baiklah, Ibu tidak akan mengganggumu. Istirahatlah!" Ibu pun berlalu dari sana.
Bingung, bimbang, sedih bercampur menjadi satu, itulah yang dirasakan Liana saat ini. Dibaringkan tubuhnya pada tempat tidur dan berusaha memejamkan matanya berharap bila dia terbangun nanti mimpi buruk itu akan sirna dari hidupnya.
Terlelap dengan sisa air mata yang masih melekat dipipi putihnya. 1jam... 2 jam... 3 jam... entah berapa lama Ia terlelap dalam kelelahannya setelah menangis.
"Hay perawan tua cepat keluar! Waktunya makan malam" teriak Dafina sembari mengetuk depan pintu Liana yang terkunci.
Dengan suara lantangnya, Dafina dapat dengan mudah membangunkan Kakaknya dalam waktu sekejap.
"iya, aku akan segera turun" saut Liana dari dalam.
Dengan segera Liana mempersiapkan dirinya untuk makan malam, namun sesampainya diruang makan Liana tak mendapati Ayahnya di meja makan seperti biasanya.
Hanya terlihat tiga piring yang tertata rapi bersama peralatannya di atas meja. "Dimana ayah? Apa Ayah tidak ikut makan bersama kita?" tanya Liana.
"Tidak sayang, hari ini kita makan bertiga saja" jawab Ibu lembut.
"Buat apa Kau tanya tentang Ayah? Bukannya Kau tidak perduli lagi padanya?" ketus Dafina, kelihatannya Dafina masih menyimpan perasaan marah terhadap Kakaknya.
"Yak, apa aku tidak boleh bertanya tentang Ayahku sendiri?"
"Apa pantas Kau bicara seperti itu, setelah perlakuanmu pada Ayah tadi siang?"
"Sudah, berhenti bertengkar!" Ibu menenggahi kedua anaknya.
"Tidak heran, kalau tidak ada pria yang suka padamu. Karena Kau egois, tidak pernah memikirkan perasaan orang lain. Yang dipikirkan olehmu hanya dirimu sendiri dan harapanmu yang konyol itu".
"Dafina sudah!" tegur Ibu.
"Apa sih? aku tidak mengerti arah pembicaraanmu".
"Yak...! Perawan tua dengar ya! Sekarang Ayah tidak mau makan mungkin itu semua karenamu? Kerana Kau sangat keras kepala" analisa Dafina.
"Dafina jangan teruskan!".
"Sudahlah Bu, jangan tutupi ini darinya! Karena ini semua kesalahnya" ucapan Dafina sembari duduk di meja makan.
"Apa sih susahnya menerima permintaan dari Ayah? Toh itu juga demi kebaikanmu. Tidak mungkin Orangtua akan menjerumuskan dirimu" tutur Dafina.
"Sayang Kamu mau kemana? Ayo kita makan dulu!" ujar Ibu saat tahu Liana melangkah pergi.
"Tidak, terima kasih ! Aku tidak lapar, Ibu makan saja dengan Dafina" ucapnya lesu sembari pergi dari sana.
***
Pagi itu Liana juga tak melihat Ayahnya dimeja makan untuk sarapan, mungkin Ayahnya masih kecewa terhadapnya karena tak menuruti permintaan tentang perjodohan itu.
Tapi beda dengan Defina, sikapnya mulai berubah. Dia mulai bersikap baik kepada Kakaknya, mungkin itu karena Ibunya yang menasehati Adik semata wayangnya itu.
Walau seperti itu Liana masih memikirkan perkataan Adiknya. Seharian penuh Ia habiskan untuk merenungi segala ucapan yang dikatakan Ibu, Dafina, dan Ayahnya.
Melihat hal itu sahabat-sahabatnya merasa cemas akan keadaan Liana.
"Liana apa kau sakit?" Tanya Anita khawatir.
"Huh?"
"Apa terjadi sesuatu padamu? Atau Kau punya masalah?" tambah Sofi tak kalah khawatirnya.
"Apa ini karena kemarin? Apa Kau seperti ini karena ucapan mereka berdua" ungkit Rendi yang langsung kena pukul oleh Anita tak keras.
"Ahh tidak, bukan itu".
"Lalu Kau kenapa? Jika ada masalah, cerita saja pada kami! Mungkin Kami dapat membantumu" tutur Rendi.
"Apa kalian pernah memikirkan sebuah pernikahan?"
"Apa?".
"Pernikahan?" tanya balik para sahabatnya.
"Iya pernikahan, tapi ini sebuah pernikahan yang direncanakan" seketika ketiga sahabatnya terlihat begitu bingung dengan penjelasan Liana yang berbelit-belit.
"Tidak pernahkan? Aku pun sama seperti kalian, aku tidak pernah memikirkan untuk menikah muda, apa lagi pernikahan yang diatur".
"Hay Liana bicara yang jelas! Kami tidak paham dengan ucapanmu" pinta Anita yang merasa bingung dengan penjelasan Liana.
"Hiss.. kalian ini, kalian tahukan sebuah perjodohan?" Liana mencoba memperjelas ceritanya.
"Kau dijodohkan?"
Tiiiitt...tiit...tiiit... Suara ponsel yang tiba-tiba berbunyi, membuat Liana harus menyudahi pembicaraannya dan menggangkat ponselnya.
"Ada apa Bu?" Sejenak Liana terdiam, berusaha mencerna ucapan sang Ibu. "Ibu berhentilah menangis! aku tidak bisa mendengar suara ibu dengan jelas."
Beberapa detik kemudian Liana menutup telepon lalu pergi meninggalkan sahabat-sahabatnya yang saat itu bertambah bingung dengan tingkah Liana yang begitu aneh.
"Liana kau mau kemana?" Tanya Rendi namun tak dipedulikan oleh Liana, dia hanya berusaha lari lebih kencang dan berharap akan sampai tujuan lebih cepat.
Terngiang begitu jelas ucapan sang Ibu kepadanya waktu ditelepon tadi. "Liana Ibu sekarang ada di Rumah sakit, penyakit jantung Ayah kambuh lagi. Dan Sekarang Ayah sedang kritis. Cepatlah kemari!".
Tetes air mata memenuhi perjalannya menuju rumah sakit. Ia berhenti seketika saat ia mendapati Ibu dan Adiknya duduk dengan beruraian air mata didepan ruang ICU.
"Ibu" desahnya untuk memberi tahu keberadaannya saat ini. "Bagaimana keadaan Ayah?"
"Ibu tidak tahu. Ayah masih di dalam, dan sejak tadi dokter belum juga keluar" jelas Ibu menggenggam tangan Liana yang gemetaran.
Ketika pintu ruang ICU terbuka, mata ketiganya tertuju pada Dokter yang keluar dari ruangan itu.
Tak menunggu lama mereka bertiga berlari kearah Dokter Ilyas yang menangani Ayah.
"Bagaimana keadaan Ayah saya Dok?" Tanya Liana begitu panik.
"Syukurlah pak Danu kini sudah melewati masa kritisnya, tapi ..."
"Tapi kenapa?" sela Dafina begitu tak sabaran.
"Tak menutup kemungkinan penyakit jantung pak Danu bisa kambuh kembali, jadi saya berharap pada keluarga pak Danu untuk memperhatikan kondisinya dan jangan membuatnya merasa stress, ataupun tertekan. Buatlah Beliau senyaman mungkin terhadap keadaan disekelilingnya. Hanya itu saja yang dapat saya sampaikan saat ini, untuk selanjutnya kita lihat perkembangan kesehatan Pak Danu" jelas Dokter Ilyas panjang lebar.
Semua bernafas lega mendengar kabar baik itu. "Jika tidak ada yang ditanyakan, Saya permisi dulu!" pamit dokter Ilyas
"Terima kasih Dok"ucap ibu lega.
Liana melangkah dan menatap pilu disebuah kaca kecil dibalik pintu ruang ICU dengan mata yang berkaca-kaca, terlihat begitu jelas seorang yang dia sayang terbaring lemas tak berdaya dengan selang-selang infuse yang melekat ditubuh lelaki tua itu.
"Apa yang Aku lakukan? Aku telah membuat Ayah menjadi seperti ini, anak macam apa Aku ini? Aku terlalu mementingkan egoku tanpa peduli perasaan Ayahku sendiri" batin Liana begitu menyesali apa yang telah Ia lakukan.
"Maaf. Maafkan Aku Ayah!" mohon Liana terus menerus disertai dengan hilir air mata yang terus mengalir.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
kiki rizki
mampir thor
2020-05-21
1
Ranalia
Semangat, Thor 💪
Mampir juga ya ke novelku, judulnya "Aku Benci Mencintaimu" dan "The Architect of Love"
2020-04-08
1
Nhurhty
yups mangat kaka
2020-02-22
2