Gwen tahu dia sudah tidak berhak mencampuri urusan penanganan Ahmad. Dokter pribadinya dan dokter spesialis rumah sakit sudah menanganinya dengan baik. Namun, ia hanya ingin memastikan keselamatan Ahmad.
“Lain kali jangan melakukan hal seperti ini. Saya benar-benar takut kondisi Anda memburuk,” ujar Gwen kepada Ahmad.
“Terima kasih atas perhatiannya, Dok,” ucap Ahmad yang terlihat baik-baik saja meskipun baru menempuh perjalanan lintas benua. Di ruangan VVIP-nya saat ini ada tiga dokter.
“Dokter Atma, boleh saya tanya sesuatu?” sela Dokter Haris, direktur rumah sakit.
“Silakan, Dok,” jawab Gwen.
“Apa Dokter Atma tinggal di New York?”
“Iya sejak lahir sampai beberapa hari yang lalu.”
“Apa Anda ada rencana tinggal di Indonesia?” tanya dokter yang rambutnya hampir memutih semua itu.
“Sebenarnya saya sekarang tinggal di Indonesia, karena mama saya memintanya.”
“Wah kebetulan, apa Dokter mau bekerja bersama kami? Karena terus terang rumah sakit ini kekurangan tenaga dokter spesialis,” ujar Dokter Haris disertai binar di kedua netranya.
“Mmm, saya pikirkan dulu, ya.”
“Baiklah. Terima kasih, Dok.” Kemudian Dokter Harus berpamitan kepada mereka karena masih ada yang harus dia kerjakan.
Dokter William–dokter pribadi Ahmad–mengantarkan Dokter Haris keluar. Sedang Gwen tinggal untuk berbincang-bincang dengan Ahmad.
“Saya ikut berbelasungkawa atas meninggalnya adik Anda, Dok,” ujar Ahmad kemudian.
“Terima kasih.”
“Duduklah, Dok. Saya mau membicarakan sesuatu dengan Anda.”
Gwen kemudian menarik bangku di dekat ranjang Ahmad lalu duduk.
“Sebenarnya saya ingin menanyakan hal ini kepada Anda. Tapi kita tak punya kesempatan bertemu.” Gwen menarik alisnya dan menyimak perkataan Ahmad dengan baik. “Apa Dokter punya hubungan dengan Prasetyo Atma?”
Gwen mengangguk dengan ragu. “Iya benar. Anda kenal dengan Daddy?”
“Kenal. Kami pernah membicarakan bisnis bersama.”
“Wow, ternyata dunia ini sempit sekali,” ujar Gwen sambil tersenyum.
“Oh ya, Dok. Saya masih ingat kalau dulu Anda bilang belum menikah.”
“Ya benar.”
“Bagaimana kalau pacar?”
“Tidak punya,” jawab Gwen sambil tersenyum lagi.
“Benarkah? Dokter sangat cantik. Para pria sudah buta semua atau bagaimana?”
Gwen terkekeh. “Mungkin karena saya tidak pernah ke mana-mana selain rumah sakit dan rumah. Jadi tidak banyak kenal para pria,” jawabnya sambil tersipu.
Sebenarnya Ahmad sudah menyelidiki tentang identitas Gwen. Bawahannya bisa diandalkan. Dalam waktu seminggu profil lengkap Gwen sudah sampai di tangannya. Namun, Ahmad ingin berbicara langsung dengan Gwen. Mendekati gadis itu, dan mulai menyusun rencana di kepalanya.
“Ngomong-ngomong. Berapa usia Anda, Dok. Anda sepertinya sangat muda, tapi sudah pegang gelar spesialis.”
“Minggu depan usia saya jadi dua puluh tujuh,” jawab Gwen.
Ahmad mengangguk. “Ngomong-ngomong. Saya ingin memberikan sesuatu untuk Dokter.”
Gwen sigap menolak. “Ah Anda tak perlu repot-repot. Saya tidak biasa merayakan ulang tahun.” Gwen berpikir bahwa Ahmad akan memberikan kado untuk ulang tahunnya.
“Bukan, ini sebagai ungkapan rasa terima kasih. Anda telah menyelamatkan nyawa saya. Kalau hari itu Anda tidak segera menolong saya. Mungkin saya sudah ....”
“Stop. Tolong jangan meneruskannya. Alhamdulillah Anda sekarang baik-baik saja. Tapi ... itu sudah tugas saya sebagai Dokter.”
Ahmad menggeleng, “Tetap saja saya harus berterimakasih. Di dunia ini, profesi yang saya hormati adalah Guru dan Dokter. Sayangnya semua menantu dan saudara dari garis keturunan kami tidak ada yang mempunyai profesi itu.” Ahmad terkekeh. Gwen pun tertular dengannya, tanpa menyadari sebuah kode dalam kalimat itu.
“Saya mohon. Terimalah hadiah yang tak seberapa ini.”
Gwen menerima suatu kotak kecil seukuran amplop surat. Ia penasaran dan membukanya. Ternyata isinya adalah sebuah tiket pesawat dan sebuah kunci. “Ini ....”
“Itu kunci dari vila saya di Bali. Dan itu tiket pesawat ke Bali untuk Dokter.”
Gwen menggigit bibir bawahnya, merasa kikuk untuk menyampaikan penolakan. “Maaf Pak Ahmad. Saya sangat menghargai hadiah dari Anda. Tapi sayangnya ... saya phobia pesawat.”
Ahmad terkejut mendengarnya. Dalam profil yang diberikan kepadanya, tidak disebutkan kalau Gwen mempunyai phobia pesawat. Bisa jadi karena memang gadis itu tak pernah membicarakannya kepada orang lain. Bahkan tidak disebutkan dalam tes kesehatannya.
“Oh maaf,” ucap Ahmad kemudian.
“Sebaiknya saya kembalikan hadi ....”
“Jangan. Vila itu tetap untuk Anda.”
Gwen mengerutkan dahi. “Vila itu hadiah untuk Anda. Terserah Anda mau memberikannya untuk orang lain atau bagaimana. Karena sudah milik Anda. Tapi maaf, tidak ada sertifikatnya karena semua tanah di Bali adalah tanah adat. Kita boleh membuat bangunan di sana tapi bukan sepenuhnya hak milik kita.”
Gwen mengangguk tanda mengerti. “Terima kasih. Saya rasa ini berlebihan, tapi saya terima hadiah Anda.”
Jane pernah berkata, “Jangan pernah menolak pemberian orang lain. Terimalah. Jika kamu ternyata tidak membutuhkannya maka berikanlah kepada orang lain. Kamu mendapatkan pahala sedekah dari itu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Nahya
who knows, ketemu bule ntar 😂😂😂😂
2021-07-12
0
🍄
horeeeeeee ketemuan sm devil😂
2021-06-24
1
Juan Sastra
vila di bali,, hadiah
2021-04-13
0