Keringat dingin mulai meluncur dari kening Gwen. Perutnya melilit dan seperti diaduk dengan pusaran yang memusingkan. Bahkan napasnya mulai berat, seakan paru-parunya menyempit seukuran sekepal tangan. Wajahnya pucat pasi.
Farah yang duduk di sebelahnya menyadari perubahan pada diri Gwen. “Are you OK?” tanyanya kepada Gwen.
Susah payah Gwen menelan salivanya, menahan ledakan yang akan keluar dari tenggorokan. Rasa pahit dan asam sudah mulai memenuhi rongga mulutnya. “Pull over please!” (Tolong menepi!) teriaknya kepada si supir taxi. Pria paruh baya yang duduk di kursi pengemudi segera menepikan taksinya. Saat berhenti, Gwen segera membuka pintu lalu setengah berlari menuju pinggir tiang listrik. Gwen menumpahkan isi perutnya.
Farah bergidik jijik, tetapi sisi kemanusiaan mendorongnya untuk turun dan menghampiri Gwen. Ia memberikan pijatan lembut ke sekitar tengkuk dan bahu Gwen.
“Terima kasih,” ucap Gwen setelah berhenti muntah. Ia mengambil tissue dan membersihkan mulutnya. Ia kembali lagi ke taksi, lalu membuka tas untuk mencari obat. Setelah menelan dua pil sekaligus, ponselnya berdering. “Halo, yeah Jane,” jawab Gwen.
“Are you OK, Darling?”
“I’m not,” jawab Gwen jujur. “My aerophobic killin' me.”
“Have you taken your medicine?” (Apa kamu sudah minum obat?)
Gwen mengangguk, sadar kalau Jane tak bisa melihatnya segera ia jawab. “Yes, of course.”
“Oh, Dear, could you manage to get here?” (Apa kamu bisa sampai ke sini?) tanya Jane yang sudah siap di lobi bandara dengan tiket di tangan.
“Sure. I have to, this is my duty ... as a sister,” (Tentu. Aku harus melakukannya, ini adalah kewajibanku ... sebagai seorang kakak,) jawab Gwen yang terus berjuang menahan kepanikannya.
Farah yang sedari tadi menyimak perkataan Gwen segera menggenggam telapak tangannya. Farah ingin menyalurkan kehangatan dan kekuatan untuknya. Gwen mengangkat sudut-sudut bibirnya membentuk sebuah lengkungan.
Jane segera menghampiri Gwen setelah melihat gadis itu sudah melewati gerbang metal detektor. Farah masih setia mengekor di belakangnya.
Setelah memperkenalkan diri dan menjelaskan maksudnya mengikuti Gwen kepada Jane, Farah meminta Gwen untuk segera mengganti baju supaya dia bisa segera kembali ke tempat kerjanya.
Jane meminta maaf kepada Farah karena gadis itu telah dibuat repot oleh Gwen. Farah mengatakan bahwa itu sudah biasa. Dia sudah bekerja cukup lama di dunia fashion dan menghadapi model yang bermacam-macam karakter.
Setelah Gwen berhasil mengganti bajunya, peringatan petugas bandara untuk panggilan terakhir boarding penerbangan ke Indonesia terdengar dari pelantang suara. Kembali Gwen diserang kepanikan dan asam lambungnya naik. Dia segera menuju kloset. Namun, isi perutnya sudah dikosongkan tadi jadi yang keluar hanya cairan lambung.
Ini adalah kedua kalinya Jane melihat kondisi Gwen yang sedang panik karena phobia. Dulu sewaktu Gwen masih kecil, dia juga pernah seperti itu. Padahal sudah sekitar dua puluh tahun berlalu, tapi tetap saja ketakutan itu tak bisa hilang. Selama ini Gwen tidak pernah memakai alat transportasi udara karena mengingat kondisinya yang mempunyai phobia.
Karena itu pula, Gwen tak pernah bisa pergi ke negara daddy-nya. Keindahan Indonesia hanya bisa ia lihat dari internet. Tanpa tahu kapan ia bisa menginjakkan kaki di bumi gema ripah loh jinawi itu. Jika dia merindukan keluarganya di Indonesia, gadis itu hanya bisa berpuas diri melihat mereka dari panggilan video.
Jane segera memberikan minum dan aroma terapi untuknya. “Apa kamu bisa menambah obat tidurnya?” tawar Jane. Gwen mengangguk lalu mengeluarkan sebutir pil lagi.
“Coba pikirkan hal-hal yang membuatmu bahagia. Aku pernah panik juga kalau sedang demam panggung. Biasanya cara itu berhasil,” saran Farah.
“Oke, kucoba.” Gwen memejamkan netranya lalu mulai membayangkan saat Nafeera masih ada di kamarnya dan mereka cerita tentang kegiatan lucu selama bekerja. Gwen yang pernah memergoki pasien VIP sedang bercumbu di atas ranjang. Padahal pasien itu berumur tujuh puluhan tahun, dia terlihat mesra dengan istrinya yang berumur lebih muda sepuluh tahun. Sedangkan Nafeera bercerita kalau dia mempunyai seekor kucing Persia yang diberi nama Bakpao karena pipinya sangat tembam sehingga hidungnya tenggelam. “Tapi kucing Persia, kan memang ada yang hidungnya pesek?” tanya Gwen.
“Iya ya,” jawab Nafeera dengan mimik wajah jenaka sehingga mereka berdua tertawa terbahak-bahak.
Rupanya cara itu berhasil, meskipun Gwen selanjutnya dilanda kesedihan kembali. Tak terasa butiran bening meleleh dari sudut netranya.
Farah melambaikan tangan kepada Jane dan Gwen di depan metal detektor boarding gate. “Be careful!”
“Thank you! We'll call you when we arrive!” (Terima kasih! Kami akan menghubungimu kalau sudah sampai!) balas Jane.
Selama perjalanan, Jane merasa bersyukur Gwen bisa tidur dengan nyaman. Terlalu nyaman, sampai-sampai Jane harus mengecek keadaan Gwen beberapa kali. Ia telaten membetulkan letak selimut Gwen saat gadis itu bergerak.
Saat pesawat sudah mendarat, Jane segera membangunkan Gwen. Namun, gadis itu masih sulit dibangunkan. Tak kurang akal, Jane segera mendekatkan botol aromaterapi lavender ke hidung Gwen. Gadis itu terbangun setelah aroma lavender menelusup ke indera penciumannya.
“Kita sudah sampai,” kata Jane.
Gwen memaksa matanya agar terbuka. Nyeri kepala sebelah tiba-tiba menyerangnya. Telinganya berdengung dan terasa seperti dibekap oleh udara yang padat. Saat menelan salivanya telinganya juga terasa nyeri. Mungkin itulah yang dimaksud jetlag. Gwen baru pertama kali mengalaminya, jadi tak seberapa paham apa yang terjadi pada tubuhnya. Ia memanfaatkan waktu selama para penumpang lain turun lebih dulu untuk menenangkan diri. Ia dan Jane menjadi penumpang terakhir yang turun dari pesawat.
Saat turun, Gwen bisa merasakan perbedaan cuaca meskipun hanya sesaat karena langsung masuk ke bus yang mengantarkan para penumpang ke gate kedatangan. Awan terlihat mendung, kelembaban udara sangat tinggi, dan anginnya kencang tapi tak sedingin di kota tempat tinggal Gwen. Mantel tebal yang ia pakai terasa tidak cocok lagi. Gwen segera melepas mantel dan memasukkannya ke dalam tas.
Hujan gerimis langsung menyambut mereka ketika turun dari bus.
Gwen meminta Jane untuk duduk dulu. Kepalanya masih terasa berat. Ia mengaktifkan kembali ponselnya. Pesan dari Naufal yang pertama kali ia buka. Adiknya itu ternyata sudah sampai di bandara. Ia meminta Naufal untuk menunggu beberapa menit lagi.
Setelah Gwen minum lebih banyak air putih, ia merasa lebih baik. Kepalanya masih migrain tapi tidak separah tadi. Ia segera menghubungi Naufal kembali dan menemuinya di pintu keluar.
Naufal dan Pak Abas supir Prasetyo menyambut kedatangan Gwen.
Selama perjalanan pulang hujan turun lebih deras. Serasa langit juga turut berduka atas berpulangnya Nafeera.
-------------------------------------------------------------------------------
maaf bukan update
hanya revisi 😊🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Pratiwi Lusi Arifin
nyimak thor
2021-11-22
0
Piet Mayong
duh mau komen tp novelnya udh end...
2021-10-12
0
Nimranah AB
💪💪💪 guen
2021-07-12
0