“Aku menerima perjodohan yang ditawarkan mitra bisnis Papa.” Jawaban Nafeera membuat Gwen mengerutkan dahi.
“Apa maksudmu perjodohan?”
“Mitra bisnis Papa menawarkan bantuan untuk perusahaan. Dia ingin menikahkan cucunya. Karena dia tahu kalau Papa punya anak perempuan–yaitu aku–jadi dia berniat menjodohkan cucunya denganku,” jelas Nafeera.
“Kalau aku tinggal di Indonesia, mungkin aku yang dijodohkan,” ujar Gwen.
“Mungkin,” tanggap Nafeera.
“Apa kamu oke? Maksudku dengan perjodohan itu?”
“Aku belum tahu orangnya, jadi aku belum paham. Tapi kalau ini untuk membantu Papa, aku harus melakukannya,” jawab Nafeera dengan pandangan nanar, menatap jauh ke depan.
Gwen menghela napas. “Aku tidak paham masalah bisnis, maaf aku tak bisa membantu kalian,” ucap Gwen tulus. “Lalu, bagaimana dengan pekerjaanmu? Apa kamu akan melanjutkan karier di dunia model?”
“Entahlah. Aku masih sayang dengan dunia modeling, tapi dengan adanya masalah Papa, aku malah ingin sekali serius kuliah supaya dapat ilmu bisnis yang berguna untuk bantu Papa.”
“Kamu ... masih terlalu muda, tidak adakah jalan lain?” tanya Gwen kembali. Nafeera menggeleng pasrah.
“Mmm, masalah perjodohan ini kita akhiri saja. Bagaimana denganmu, apa menyenangkan menjadi dokter?”
“Yaa begitulah,” jawab Gwen.
“Jawaban apaan itu?” Nafeera tertawa kecil.
“Menyenangkan kalau berhasil membantu pasien, memberi mereka harapan untuk melanjutkan hidup. Tapi, kadang kala juga harus melaporkan kepada pasien dan keluarganya kalau kami tidak bisa berbuat banyak.”
“Pasti sedih rasanya,” ujar Nafeera berempati.
“Sangat. Pernah sekali pasien yang kutangani meninggal sebulan setelah operasi. Operasinya sendiri terbilang berhasil, namun tubuh pasien sepertinya ingin beristirahat.”
Nafeera menepuk bahu Gwen lalu mengulurkan lengannya. Gwen menyambutnya sehingga mereka berpelukan dengan erat.
“Kalau pekerjaanmu, gimana?” tanya Gwen.
“Seru, menyenangkan,” jawab Nafeera sambil memutar sendok ke dalam cangkirnya.
“Tapi ....” sambung Gwen. Ia mendorong Nafeera untuk mengutarakan apa yang mengganjal di dalam hatinya.
“Ada yang bikin suasana di kerjaan jadi ga nyaman. Akhir-akhir ini, ada seseorang yang namanya Mr. Devil. Setiap model yang pernah diundang secara pribadi olehnya bisa mendapatkan job yang lebih banyak. Kebetulan, aku kena kaya abu anget gitu.”
“Maksudnya?”
“Banyak yang ngira kalau aku dapat job runaway ke NY karena aku habis bobo sama Mr. Devil.”
“Oh my God,” ucap Gwen terkejut, “kamu gak ....”
“No way,” sanggah Nafeera cepat, “aku gak pendek akal kaya gitu tahu,” lanjutnya dengan senyum miring.
“Syukurlah. Lalu apa yang jadi masalah? Cuma omongan aja, kan? Mereka gak sampai bully?”
“Untungnya tidak, cuma omongan di belakangku.”
Kemudian Gwen dan Nafeera segera meninggalkan kafe karena mereka harus segera menuju hotel. Baru sepuluh menit mereka keluar dari tempat parkir, mobil Gwen dihalangi oleh seseorang.
Seorang laki-laki yang terlihat panik meminta pertolongan. Gwen sigap menepikan mobilnya. Ia segera turun setelah mematikan mesin. “What happened?”
Pria tadi bilang kalau ban mobilnya tergelincir karena jalanan licin akibat salju yang mencair. Dia panik mencari pertolongan karena sepertinya tuannya yang duduk di kursi penumpang mengalami sesak napas.
Gwen segera membuka pintu mobil belakang, lalu mengajak bicara tuan tersebut. Hal itu dimaksudkan untuk memeriksa kesadarannya. “Are you OK, Sir?”
Pria tua itu menjawab pertanyaan Gwen dengan lambaian tangan, berarti dia masih sadar, namun kesusahan untuk bicara. “Nafeera, tolong ambilkan tasku di mobil,” pinta Gwen.
Nafeera bergegas mengambilkan tas dokter Gwen.
“Anda orang Indonesia?” tanya si supir.
“Bukan, tapi saya bisa bahasa Indonesia,” jawab Gwen, “apa tuan Anda juga orang Indonesia?” tanya Gwen lagi.
“Iya, benar.”
“Maaf tuan, siapakah nama Anda?” tanya Gwen kepada si tuan. Ia mencoba untuk selalu berkomunikasi dengannya agar dia tetap sadar.
“Ahmad Ilyas,” jawabnya pelan.
Nafeera datang menyerahkan tas berbahan kulit milik Gwen. Sebuah stetoskop Gwen keluarkan. Ia segera melonggarkan pakaian Ahmad setelah meminta ijinnya. Setelah memeriksa dengan stetoskop dia mengeluarkan sebuah pil lalu meletakkannya di bawah lidah Ahmad. “Obatnya dihisap. Lalu coba bernapas pelan-pelan.”
Setelah semenit berlalu, terlihat Ahmad sudah lancar bernapas. Gwen segera meminta si supir, yang bernama Iwan untuk memapah tuannya masuk ke dalam mobil Gwen. Mereka akan menuju ke rumah sakit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Dinda Ayu Santika
menarik ceritanya 💪💪💪💪💪
2021-06-27
0
Cika🎀
sip😘
2021-06-24
0
Juan Sastra
seorang dokter yg amanah
2021-04-13
0