Aiden berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Ia menghentikan langkahnya saat telah sampai di depan ruangan tempat Elena di rawat.
Ia berdiri menghadap pintu dan menatap pintu itu cukup lama. Sebenarnya bukan dirinya tidak menyayangi Elena, tetapi karena Elena lah dirinya kehilangan Agneta. Karena keserakahan Ibu nya itu, dia harus hidup layaknya bidak catur yang harus di atur oleh Elena.
Aiden menghela nafasnya sebelum memegang knop pintu dan membuka pintu itu. Ia masuk ke dalam ruangan perawatan itu.
Sosok wanita lansia terbaring lemah di atas ranjang. Ia menatap sosok itu dimana alat medis terpasang memenuhi tubuh ringkihnya.
Elena yang dulu kini telah berubah. Wanita yang merupakan Ibu nya itu kini tidak se angkuh dan sesombong dulu. Wanita itu kini terlihat semakin tua, ringkih dan terlihat tak berdaya.
Mendengar suara langkah kaki mendekat, mata keriput itu terbuka dan menoleh ke samping blangkar.
"A-aiden?"
Gumamnya begitu lemah dan terdengar berbisik karena bagian mulutnya tertutup dengan alat bantu pernafasan.
"Iya ini aku, Mom." Aiden duduk di sisi blangkar seraya menggenggam tangan Elena.
Sejahat-jahatnya Elena, dia tetaplah wanita yang telah melahirkan Aiden. Walau masih ada rasa kesal, tetapi Aiden tidak mungkin membencinya bahkan memusuhinya. Karena kini keluarga mereka hanya tinggal mereka berdua. Kalau bukan Aiden lalu siapa lagi yang akan menemani Elena.
"Ba-bagimana kabarmu, Nak?" Elena menatap Aiden dengan tatapan haru penuh rasa bahagia. Air matanya luruh dari sudut matanya. Ia sangat merindukan putranya ini.
"Kabarku baik. Maaf aku baru bisa datang," seru Aiden.
Elena menggelengkan kepalanya seraya menangis. Tangan lainnya yang tidak di genggam Aiden terangkat ke udara seakan ingin menggapai pipi Aiden untuk di belai.
Aiden yang paham dengan gerakan itu, sedikit menundukan kepalanya dan mendekatkan pipinya ke telapak tangan Elena. Ia memniarkan Elena membelai pipinya penuh rasa sayang.
"Ma-maafkan Mommy, Aiden." Elena terlihat menangis. "Semua ini karena keserakahan Mom, hingga keluarga kita hancur."
"Tidak jangan katakan itu. Semuanya sudah terjadi, tidak perlu ada yang di sesali," seru Aiden.
"Sebaiknya Mom fokus pada kesehatan Mom saja. Aku berencana membawa Mom pindah ke kota N di Amerika," ujar Aiden.
"Kamu... kamu tinggal di sana selama ini?" tanya Elena yang di angguki Aiden.
"Aku akhirnya bisa menjadi seorang Pengacara, sesuai yang aku inginkan."
"Mommy senang mendengarnya. Kamu hidup dengan baik di sana," seru Elena tersenyum bahagia seraya menahan nyeri di tubuhnya. Ia berusaha mengatur nafasnya yang terasa sesak.
Elena menarik kembali tangannya, kemudian meraba-raba bagian ranjangnya sampai ia mendapatkan apa yang ia cari di bawah bantalnya.
"Ini-" Elena menyerahkan sebuah kotak kecil berbentuk persegi panjang ke Aiden. Kotak berwarna silver itu terlihat antik.
"Apa ini?" tanya Aiden menerima kotak itu.
"Bukalah."
Aiden membukanya dan melihat sebuah kalung dengan gantungan berbentuk hati batu permata Rubi berwarna merah muda. Juga sebuah cincin dengan batu permata Zamrud berwarna hijau.
"Perhiasan siapa ini?" tanya Aiden mengernyitkan dahinya.
"Hanya itu harta yang saat ini aku miliki. Itu adalah perhiasaan keluarga kita yang telah turun temurun di berikan pada menantu keluarga Wiratama. Aku mendapatkannya saat menikah dengan Daddy mu." Elena menghela nafasnya cukup panjang dan memejamkan matanya untuk mengusir rasa sakit di dadanya.
"Berikan ini pada calon menantuku kelak. Jangan biarkan perhiasan ini hilang. Memberikan perhiasan itu kepada menantu baru adalah sebuah tradisi keluarga kita."
Aiden hanya diam menatap kotak itu.
***
Aiden tidak menyangka setelah obrolan panjang itu, Elena menghembuskan nafas terakhirnya pada malam harinya. Kini Aiden benar-benar sebatang kara tanpa kedua orangtuanya.
Saat ini Aiden tengah berdiri di dekat peti mati sang Ibu yang telah di mandikan di beri pakaian. Beberapa orang pelayat yang datang mengucapkan bela sungkawa padanya.
Entah kenapa air mata tak urungnya keluar dari pelupuk matanya. Ia memang merasa sedih dan kehilangan
"Aiden..."
Panggilan itu membuatnya menoleh ke sumber suara dan tatapannya sedikit melebar melihat siapa yang datang.
Itu adalah Devara, Kevin, Dave dan juga Agneta....
5 tahun berlalu dan ia tidak menyangka akan bertemu kembali dalam suasana seperti ini.
"Kalian datang?" tanya Aiden memalingkan wajahnya dengan masih menunjukkan ekspresi datar.
"Tadi pagi kami mendengar kabar tentang kematian tante Elena," seru Devara.
"Long time no see, Kakak sepupu..." seru Dave dengan tatapan tajamnya seperti biasa.
Aiden menoleh ke arah Dave juga Agneta yang memilih berdiri di dekat Dave.
"Ya, sudah lama Dave, Neta... bagaimana kabar kalian?" tanya Aiden yang bersikap tenang dan biasa saja.
Ternyata debaran itu sudah tidak ada. Ternyata rasa cinta itu sudah hilang. Dan saat ini ia kembali berhadapan dengan Agneta. Rasa itu telah berubah walau menyisakan sebuah trauma.
"Seperti yang kau lihat. Bagaimana denganmu? Aku dengar kau menjadi seorang pengacara di kota N, Amerika."
"Ya itu benar, Adik sepupu." Aiden tersenyum kecil dan memalingkan tatapannya.
***
Saat ini Aiden duduk di sofa yang ada di rumah keluarga Wiratama. Setelah pemakaman Elena kemarin, Devara memaksanya untuk datang kemari, entah akan membahas apa.
"Kau sudah datang?" tanya Dave yang baru saja datang dengan setelah casualnya dan duduk di atas sofa yang ada di hadapan Aiden.
"Ada apa kau memanggilku kemari?" tanya Aiden.
"Bukan aku. Aku juga di minta datang oleh Devara," seru Dave dengan tenang.
Aiden tidak menjawab dan memilih diam saja. Suasana di sana menjadi begitu canggung. Dave duduk dengan angkuh, sebelah kakinya ia angkat ke atas lututnya sendiri.
Aiden hanya duduk dengan tenang dan memalingkan wajahnya dari Dave.
Ya, mereka berdua memiliki karakter yang berbanding terbalik.
"Jadi, bagaimana kabarmu di sana, Kakak?" tanya Dave.
"Baik. Semuanya jauh lebih baik dari sebelumnya." Aiden berucap dengan penuh penekanan.
"Aku senang mendengarnya." Dave tersenyum kecil.
Tak lama Devara datang menghampiri mereka.
"Kalian sudah datang ternyata," serunya dan duduk di antara mereka.
"Langsung jelaskan saja, Vara. Aku berniat akan langsung kembali sore ini," ucap Aiden.
"Kenapa buru-buru sekali?" tanya Devara.
"Ada banyak pekerjaan di sana," ucap Aiden.
"Baiklah." Devara membuka berkas di tangannya. "Aiden, aku dan Dave sudah berunding dan pengacara keluarga kita juga sudah mengetahuinya. Karena kebetulan pagi ini, Mr. Bramono ada keperluan, jadi kita bicara ini tanpa ada pengacara."
"Apa ada masalah?" tanya Aiden mengernyitkan dahinya. "Atau orangtuaku masih memiliki hutang?"
"Tenang dulu, Kakak Sepupu. Kenapa kau begitu emosional?" seru Dave dengan tenang menyeduh minuman yang baru saja di sediakan oleh asisten rumah tangga.
"Tidak ada hutang apapun, Aiden. Mengenai hutang orangtua mu, perusahaan Wiratama sudah melunasinya," seru Devara. "Dan ini adalah sertifikat rumah keluargamu yang sempat di sita bank. Kami telah menebusnya."
"Dan berkas ini adalah berkas kepemilikan 40% saham PT Wiratama. Dan telah kami rubah atas namamu. Kamu hanya perlu menandatangani nya saja."
"Apa ini sejenis sumbangan bantuan?" seru Aiden menatap dua berkas di atas meja.
"Eh?"
"Ck, sudah aku bilang Vara. Kakak sepupu mu ini hanya akan berpikiran negative pada kita. Dia mana mau menerima semua kebaikan ini," ucap Dave.
"Diamlah Dave," seru Devara. "Ini bukan sumbangan, Aiden. Kamu adalah pewaris dari keluarga Wiratama juga. Aku hanya ingin bersikap adil. Itu memang hak kamu," ucap Devara.
"Sahamku di Wiratama adalah 30% begitu juga dengan Dave. Kami membagi seperti ini karena kamu adalah Kakak kami. Cucu sulung dari keluarga Wiratama." Jelas Devara.
"Sekarang ini Dave sudah tidak mengurus WT corp lagi. Aku juga sebenarnya hanya ingin menjadi Ibu Rumah Tangga. Kalau kamu mau, kamu bisa kembali WT Corp dan mengambil alih posisi direktur utama."
"Aku datang kesini hanya untuk menemui Ibu ku. Aku tidak berminat menetap maupun kembali ke perusahaan," ucap Aiden.
Devara dan Dave saling bertatapan.
"Apa kamu sudah bulat dengan keputusanmu?" tanya Devara.
"Ya Vara, aku merasa kehidupanku sekarang adalah di sana," ucap Aiden.
"Begini saja, mungkin kamu masih perlu memikirkannya. Untuk sementara aku yang akan mengambil alih perusahaan. Sampai kamu datang dan siap kembali memimpin perusahaan." Aiden hanya terdiam saja.
"Kenapa kalian melakukan ini? Orangtuaku hampir membuat kalian celaka," seru Aiden.
"Karena kita ini keluarga. Biarkahlah masalah mengenai orangtua kita. Mereka sudah tenang di alam sana. Dan aku tidak ingin hubungan kekeluargaan kita pun jadi hancur seperti mereka," ucap Devara.
Aiden masih terdiam.
"Apa kau masih membenciku?" tanya Dave kembali bersuara membuat Aiden menoleh ke arahnya.
"Masalah itu sudah berlalu, Dave. Dan aku rasa tidak ada gunanya lagi aku membencimu," ucap Aiden.
"Baguslah kalau begitu."
Aiden akhirnya menandatangani berkas yang di berikan oleh Devara. Aiden tetap belum ingin kembali ke perusahaan dan menetap di Indonesia. Entah kenapa hatinya tertuju ke kota N dimana ada dua orang yang membuatnya selalu mengingat mereka.
"Aku akan pergi sore ini. Jadi sekarang aku pamit."
"Tidak ingin makan siang bersama dulu?" ajak Devara.
"Tidak. Lain kali saja."
Aiden berdiri dari duduknya diikuti Dave dan Devara. Ia berjabat tangan dengan kedua sepupunya sebelum berlalu pergi meninggalkan rumah yang di tempati Devara itu.
Langkah Aiden terhenti saat berpapasan dengan seseorang di pintu utama.
"Aiden..."
"Neta..."
"Ayah Aiden...!" itu adalah suara Regan yang berlari dari belakang tubuh Agneta dan menerjang Aiden.
Aiden mengalihkan tatapannya pada Regan yang kini sudah tumbuh semakin dewasa.
"Hallo Regan," seru Aiden mengusap kepala Regan yang kini tingginya sudah sebatas perutnya.
"Kapan datang?" tanya Regan.
"Sudah tidak cadel lagi, eh?" seru Aiden membuat Regan terkekeh.
"Tidak," kekehnya.
"Sudah lama tidak bertemu, kamu semakin tampan dan dewasa saja," seru Aiden.
"Iya dong, Ayah Dave kalah tampannya sama aku," seru Regan penuh percaya diri.
Benar - benar putra Dave. Pikir Aiden.
"Baguslah," seru Aiden. "Om tidak bisa berlama-lama disini. Aku akan kembali ke kota N. Kamu sehat-sehat dan jangan nakal yah," seru Aiden.
"Siap!"
"Aku pergi dulu, Neta."
"Iya."
Aiden beranjak melewati kedua orang yang pernah singgah dalam kehidupannya 5 tahun lalu.
Tetapi rasa itu sudah tidak ada. Debaran itu sudah hilang. Dan Aiden tidak merasakan sesak maupun beban apapun lagi saat pergi meninggalkan semuanya kali ini, berbeda dengan 5 tahun yang lalu.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Donris Donris
anak kedua Dave perempuan.😛😛😛😛
2022-07-29
1
☣ᴍᴀʀᷧɪᷞᴀɴᴀ☣
Aiden udh move on dari neta
Kejar lah cinta mu aiden
2021-01-28
1
santiezie
baca yg K2 x nya...
2020-12-07
0