Suasana terik membakar ibukota sore ini. Musim kemarau yang memasuki bulan ke empat belum juga memberi tanda akan turun hujan. Beberapa karyawan keluar dari ruangan menuju lift. Aira mengemasi barang-barangnya hendak pulang saat sebuah tangan mencekal lengannya dari samping, "Ikut denganku,"
Tangan kekar itu menariknya dengan paksa sebelum Aira sempat membuka mulut. Mereka berada di pantry, orang itu menghadap keluar ruangan dengan tangan bersedekap.
"Sejak kapan kalian berhubungan?"
"Apa?" Aira tak mengerti maksud pertanyaan orang berbaju biru di depannya.
"Huuhh...." ia membuang nafasnya dengan kasar. "Tolong buatkan aku kopi," pintanya.
Aira menurut tanpa bertanya apapun. Ia tahu lelaki di depannya selalu minum kopi jika sedang bermasalah, mungkin hal itu bisa membuat emosinya mereda. Pria itu berbalik dan memandangnya dengan seksama tapi Aira tak mempedulikannya . 5 menit kemudian Aira menyajikan kopi hitam tanpa gula, favorit orang itu.
"Aira, katakan sejujurnya. Bagaimana kamu mengenal Yamazaki-sama?" Pria bername tag Yudha itu mengendurkan dasi hitamnya, mencoba rileks di depan pujaan hatinya.
"Aku tidak tau siapa yang manager maksud. Aku tidak mengenalnya," jawabnya datar
Yudha membuka ponselnya, menunjukkan sebuah foto undangan dari galeri ponselnya.
The Wedding
Yamazaki Kenzo & Khumaira Latif
Deg.
'Bagaimana bisa namaku ada disana?' Aira mengerutkan keningnya.
"Mungkin kebetulan namanya sama. Anda salah paham" Aira menyesap teh di depannya.
"Apa kita se-asing itu? Ini bukan jam kantor lagi, panggil namaku saja. Bisa kan, Ra?"
Aira menggeleng mantap, "Kita sudah pernah membahasnya," Aira menatap keluar jendela kaca, mengingat bagaimana cemoohan rekan kerjanya saat mereka tau ibu Aira ada di penjara. Yudha yang membelanya justru jadi ikut dibenci oleh yang lainnya. Dan yang paling menyakitkan, ibu Yudha meminta mereka putus hubungan agar tidak membawa masalah untuk putra bungsu kesayangannya. Sejak saat itu Aira mengabaikan Yudha dan selalu menjaga jarak dengannya.
"Aku tidak peduli pada yang lain. Aku akan selalu ada di sampingmu," Yudha mengulurkan tangan hendak memegang jemari Aira.
Aira mengangkat gelasnya yang masih isi separuh, membawanya ke wastafel dan membuang isinya dalam diam. Tak ingin melanjutkan pembahasan ini. Yudha yang paham tabiat teman masa kecil yang juga mantan pacarnya itu, langsung mendekat dan menahan gerakan tangan Aira yang sedang mengeringkan gelas yang baru ia cuci.
"Ra... Sorry,"
Aira menghela nafas dan melepaskan tangan Yudha perlahan, "Bersikaplah seperti sebelumnya, jangan pedulikan aku."
Aira keluar dari ruangan dengan wajah datarnya. Beberapa karyawan yang berpapasan melihatnya dengan tatapan tak suka. Banyak dari mereka melihat Aira dengan pandangan meremehkan dan menganggap Aira menggoda managernya. Aira tak peduli, tapi Yudha tahu itu menyakitkan untuk gadisnya.
Aira sedang berjalan ke halte bus saat sebuah mobil berhenti di sampingnya. Kacanya terbuka menampakkan seseorang yang sangat ia kenal.
"Masuklah," pinta Ria, kakak Yudha.
Aira menggeleng, enggan masuk ke mobil berwarna silver itu.
"Sebentar saja, ini tentang ibumu." bujuk Ria.
Aira terpaksa mengikuti wanita yang terpaut 2 tahun diatas usianya. Ia tak bisa acuh jika itu berhubungan dengan masalah ibunya.
"Kamu menolak Yudha lagi?" Ria bertanya saat mobil mereka melaju membelah jalanan ibukota yang mulai padat.
"Aku turun di halte depan." ucapnya dingin. Ia malas membahas tentang manajernya yang sekaligus mantan pacarnya saat di bangku SMA dulu.
"Ish.. Baiklah baiklah aku tidak akan mengatakan apapun lagi. Jangan marah, aku hanya bertanya. Lagipula memang ada yang ingin ku bicarakan tentang ibumu," ucapnya.
"Ada apa?" tanya Aira saat mobil yang ia naiki mulai menjauh dari halte tadi.
"Seseorang atas nama Yamazaki Kenzo mengajukan permohonan pembebasan ibumu siang ini. Kamu mengenalnya?"
'Nama itu lagi...' Aira tak menjawab, tapi ia ingat nama itu yang tertulis di undangan yang ditunjukkan oleh Yudha beberapa saat yang lalu.
"Aku sudah mencari tau data tentang orang itu. Aku takut terjadi sesuatu padamu, jadi sebaiknya kita berhati-hati," Ria berucap sambil memperhatikan jalanan di depannya yang padat hampir macet karena ini jam pulang kantor. Kemacetan adalah hal yang biasa di Jakarta, terutama menjelang senja seperti sekarang.
Aira tetap diam, menatap lurus ke depan tak mau peduli.
"Aira, kamu masih disini kan?" tanya Ria melirik gadis di sebelahnya yang tetap diam seperti patung.
"Aku ingin tidur sebentar," ucapnya sambil memejamkan mata.
Ria tersenyum kecut mengetahui mantan calon adik iparnya ini ingin menghentikan pembicaraan mereka. Ya mereka sudah mengenal dekat satu sama lain, jadi sudah paham betul tabiat masing-masing.
"Ibumu akan dibebaskan besok," ucap Ria. Ia tau Aira masih mendengar nya. Sulit tertidur dengan berbagai suara bising khas ibukota ini.
"Berita bagus." jawab gadis berjilbab maroon itu dengan nada datar, masih memejamkan matanya. Ria hanya bisa tersenyum kecut menyadari sikap Aira yang benar-benar berubah. Dia bukan lagi gadis penuh senyum yang ia kenal beberapa tahun lalu.
30 menit berlalu...
Ria memarkirkan mobilnya di salah satu restoran yang sering mereka kunjungi. Ia mengajak Aira makan bersama. Tak berapa lama kemudian Yudha datang, bergabung dengan mereka berdua.
"Ra, aku masih nunggu jawaban kamu sampai sekarang," Yudha menatap gadis di depannya dengan gusar. Sedari tadi bibir mungil itu tetap tertutup. Menikmati makanan di depannya tanpa suara.
Ria menyentuh tangan adiknya perlahan, mengingatkannya bahwa Aira tak ingin bicara saat makan. Kebiasaannya sejak ia kecil, atau ia akan marah dan meninggalkan makanannya. Beberapa menit kemudian Aira menelungkupkan sendoknya dan menatap Ria dengan pandangan datar.
"Kak Ria, apa masalah ibuku?" tanya Aira to the point tanpa menghiraukan pandangan Yudha yang meminta perhatiannya.
Ria tersenyum, mood Aira sudah membaik sekarang. "Kamu kenal Yamazaki Kenzo?"
Aira menggeleng. Ria mengeluarkan selembar foto dan beberapa lembar kertas putih dari tasnya.
"Kamu pernah bertemu sebelumnya?" tanyanya lagi.
"Ini artis?" tanya Aira polos.
Ria menggeleng, "Bukan. Yang artis itu Yamazaki Kento, ini Kenzo. Saudara kembarnya"
Alis Aira bertaut, "Kembar?"
"Ya. Kenzo bekerja di Miracle kosmetik. Atasan Yudha. Dia pindah ke Indonesia 6 bulan yang lalu. Kamu inget CEO yang baru masuk dan bikin heboh seantero kantor kalian?" pancing Ria agar Aira merespon lebih jauh.
Aira tak langsung menjawab, ia tak yakin pernah ada pergantian CEO seperti yang kak Ria katakan barusan. Atau ia yang tidak mau peduli dengan fakta itu? Entahlah. Aira tak pernah memikirkan gosip di perusahaan.
"Kamu kenal Yamazaki Kenzo?"
Aira menggeleng, masih tanpa ekspresi.
"Ok, gini Ra biar aku jelasin. Aku dapet biodata Kenzo. Dia salah satu pemegang saham di kantor kalian. Dia jarang ke kantor, jadi wajar sii kalo kamu ngga pernah ketemu dia. Nah yang jadi masalah, siang tadi di grup Miracle Japan, tiba-tiba ada yang posting undangan pernikahan kalian. Cuma karena akses grup terbatas, cuma beberapa orang yang tau termasuk Yudha. Ngga ada yang tau siapa mempelai wanitanya karena ngga ada foto, sementara kamu aman. Tapi aku takut kalau suatu saat grup Miracle Indonesia tahu, mereka bakal jadiin kamu bahan bully an lagi seperti sebelumnya" jelas Ria.
"Hubungannya sama ibu?" Aira bertanya tanpa khawatir sama sekali.
"Ra.. bisa ngga pikirin diri kamu dulu? Kamu tuh..." Yudha kesal karena Aira seolah tidak mempermasalahkan nasibnya sendiri.
"Yudh..." Ria menyela adiknya yang masih ingin berkomentar, "Kakak belum selesai,"
"Ibumu akan dibebaskan besok, atas permintaan Kenzo. Kakak khawatir ada maksud terselubung dari mereka. Kamu tau?" Ria membuka lembaran putih di depannya, "Ayahnya yakuza, gangster ternama di Jepang. Kakak takut ibumu akan mereka rekrut atau apapun itu. Yang pasti itu berbahaya buat kalian. Masalah pernikahan, aku masih buta. Ngga tau apa tujuannya"
Aira menimang-nimang perkataan wanita berkacamata tebal di depannya, "Aku ngga yakin itu namaku. Ini nonsense kak. Udah lah aku ngga peduli," Aira melemparkan punggungnya ke sandaran kursi di belakangnya.
"Tapi aku peduli Ra.." sela Yudha, "Aku sayang sama kamu. Aku mau kita balikan kaya dulu. Aku takut kamu kenapa-napa,"
"Kenapa-napa kenapa? Kita udah ngga ada hubungan jadi ngga perlu cemas sama aku atau ibuku," Aira menatap Yudha tajam, "Mama kamu ngga pernah bisa nerima ibuku, jadi kita ngga akan ada apa-apa lagi sampai kapanpun" jelasnya lugas.
Aira berdiri, "Kak Ria, makasih tapi tolong jangan lewati batasanmu kak. Kalo toh ibu bebas besok, alhamdulillah kan"
"Ra...." Yudha berdiri dan mencekal lengan Aira yang hendak pergi, "Mereka berbahaya. Sebelum semua terlambat, lebih baik kamu mundur. Lagipula tanpa bantuan pak Yamazaki, ibumu tinggal sebentar lagi bebas kok,"
"Sebentar? Apa kamu pernah ngerasain tidur di penjara? Apa enak rasanya sampai kamu bilang sebentar lagi? 2 bulan kamu bilang sebentar?" Aira bertanya sarkas menantang Yudha yang berdiri di depannya.
Yudha melepas genggaman tangannya perlahan menyadari kesalahannya. Aira keluar dari resto setelah membayar tagihan di kasir.
*****
23.44 WIB
Aira masuk ke kamarnya setelah menjemur pakaian di balkon. Ia merenggangkan tubuhnya sebelum bergelung di atas ranjang mungilnya, melemparkan jilbab instannya ke sembarang arah. Hanya butuh waktu 5 menit sampai matanya terpejam, mengistirahatkan raganya yang sangat lelah hari ini.
Ting tong . . . .
Aira mendengarnya tapi enggan untuk beranjak atau sekedar membuka matanya.
Ting tong . . . .
Bel sekali lagi berbunyi, memaksa Aira menghempaskan selimutnya dengan kasar, tak lupa memakai jilbabnya sebelum membuka pintu dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya. Sesosok pria tampan berdiri di depannya dengan wajah merah padam menahan amarahnya. Aura gelap terpancar jelas di sekitarnya.
"Kembalikan ponselku," ucap si mata sipit dengan aksen yang sedikit aneh.
Aroma parfum maskulin mengusik indera penciuman Aira yang segera bersiap menutup pintu, menyadari kebodohannya membuka pintu untuk orang asing tengah malam begini.
"Chottomatte" ucap pria berdasi itu sambil menahan pintu agar tak tertutup, memaksakan tangannya masuk menghalangi pintu yang terus Aira dorong dengan punggungnya.
(Tunggu)
Aira menggelengkan kepalanya kuat-kuat, alarm bahaya telah berbunyi. Mana ada tamu tengah malam begini. Apalagi dia meminta ponsel, maling atau rampok adalah kemungkinan terbesarnya.
"Aahhh... Tasukete Aira-chan. Tanganku terjepit," ucapnya dengan suara serak.
Aira otomatis menjauh dari pintu, melihat ada tangan berdarah yang terulur di depan wajahnya.
BRAKKK
Pintu itu terbuka dengan kasar.
"Apa kamu gila? Mau memotong tanganku?" Omel pria itu sambil melipat lengan kemejanya sampai siku. Terlihat rona merah disana, pasti sakit.
"Maaf" ucap Aira masih tetap waspada.
"Obat"
"Apa?" Aira masih terpaku di tempatnya, mengamati penampilannya dari ujung kaki ke ujung kepala. Persis seperti foto yang kak Ria tunjukkan tadi.
'Orang ini? Apa benar dia....'
"Apa yang kamu pikirkan? Cepat obati lukaku,"
"Aku tidak ada urusan dengan Anda, Tuan. Silahkan kembali, tidak pantas bertamu tengah malam begini" Aira mengumpulkan tekdanya untuk mengusir tamu tak diundang itu.
Ken menatap Aira dengan tajam, kemudian berlalu mengambil sendiri kotak P3K di sebelah rak buku.
"Aku tidak akan membunuhmu," ucapnya sambil membuka kotak P3K itu dengan tangan kirinya, "Kamu tidak akan bertanggung jawab?"
"Bukan urusanku" jawabnya datar.
"Lakukan sekarang!" perintahnya dengan nada meninggi.
"Apa benar Anda orang Jepang? Kupikir attitude mereka yang paling baik," sindir Aira seraya menyenderkan punggungnya di tembok sambil bersedekap, tampak tenang sekali. Berbeda dengan sikapnya beberapa menit lalu yang tampak panik dan ketakutan. Kenzo mengernyitkan dahinya sekejap menyadari perubahan sikap Aira.
"Gomen ne. Bisakah kamu mengoleskan obat untukku?" Pintanya dengan menahan marah.
Aira membuang nafasnya, mendekat dan segera mengoleskan obat anti memar setelah keduanya duduk di sofa panjang berwarna abu-abu itu. Kenzo mengamati wajah Aira yang sangat datar, berbeda dengan gadis-gadis lain yang selalu mencari perhatian saat dekat dengannya. Atau kadang ada yang salah paham menganggapnya sebagai Kento dan minta tanda tangan atau sekedar foto bersama. Tapi Aira berbeda, dia bahkan tampak tidak tertarik.
'Menarik' batinnya.
Aira membersihkan punggung tangan Ken dan membalutnya dengan perban, 'Orang seperti apa yang membiarkan luka seperti ini sampai mengering? Apa dia mati rasa?' lirihnya dalam hati.
Wangi bunga lavender menyeruak keluar dari pengharum ruangan di tembok tak jauh dari tempat Aira bersandar tadi. Sekilas Kenzo menyapu pandang ke ruangan mungil ini. Tak banyak benda disini, hanya sepasang sofa, rak sepatu, rak buku, dan tempat sampah di pojok ruangan. Tak ada benda-benda tak berfaedah seperti kebanyakan wanita di luar sana. Aneh memang, tapi itulah Khumaira Latif.
Kenzo kembali menikmati paras mungil di depannya. Ujung bibirnya terangkat, 'Kawaii...' ucapnya dalam hati.
Aira langsung melepas tangan yang ada di hadapannya dan beranjak berdiri begitu tugasnya selesai.
"Selesai"
"Dimana ponselku?"
Aira menyerahkan ponsel Kenzo tanpa bertanya apapun, sebaliknya Ken juga meletakkan ponsel Aira di meja.
Kruukkk kruuukkk
"Onaka ga suite imasu" ucapnya lirih hampir tak terdengar dan sengaja memakai bahasa ibu menutupi rasa malu. Benar, ia bahkan belum makan sejak pagi tadi. Bagaimana ia bisa lupa?
(Aku lapar)
"Aku tidak punya makanan," ucap Aira ketus mendengar kode yang perut Ken berikan.
Kruukk krukk...
'Shit' umpat Ken dalam hati. Dia benar-benar malu sekarang.
"Kamu benar-benar kelaparan? Tunggu sebentar," Aira beranjak ke dapur.
Tak lama kemudian Aira meletakkan semangkuk mie instan lengkap dengan telur dan sayuran di depan Kenzo, "Hanya itu yang ada. Selamat makan," ucapnya seraya meletakkan sepasang sumpit dan sendok di sebelah kanan mangkuk itu.
Ken melahap hidangan itu dengan cepat dan tak bersisa. Rasanya ia belum kenyang dan ingin minta dibuatkan satu lagi, bagaimanapun gadis di depannya adalah calon istrinya, ia sedikit berhak meminta makanan tambahan lagi. Ia baru membuka mulutnya saat terdengar suara gadis itu terlebih dahulu.
"Sayonara" ucap Aira sembari membuka pintu setelah melihat makanan di mangkuk sudah tandas.
"Kamu tidak berterima kasih padaku?" Tanya Ken begitu sampai di depan pintu.
"Apa? Hahaha...." Aira tertawa garing sambil memalingkan wajahnya. 'Bagaimana bisa ada orang seperti ini? Sudah diberi makan justru berharap mendapat ucapan terima kasih' batinnya.
"Terima kasih. Selamat tinggal" Aira menutup pintu dengan cekatan begitu Ken melangkahkan kakinya melewati pintu.
"Ish.." Ken berbalik dan mendapati pintu di depannya sudah tertutup rapat.
'Gadis ini. Awas saja,' ucapnya dalam hati. Tangannya terulur ingin menggedor pintu di depannya tapi ia urungkan. Pandangannya tertuju pada perban di tangannya. Ya, dia gadis pertama yang mengobati lukanya, bahkan tim medis pun tidak ia izinkan menyentuh lukanya sore tadi.
*****
Permainan takdir seperti apa yang akan terjadi pada keduanya? Lanjut baca aja yaa. Jangan lupa masukkan buki ini ke daftar favorit kalian yaa. Jaa ne,
Hanazawa Easzy
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 413 Episodes
Comments
Mr.VANO
malai seru ceritany
2021-09-14
1
^__daena__^
novel pertama yg pemeran nya orang Jepang
like komen udah 🤭 bintang 10 klau ada😅🤭
2021-07-04
1
ɴᴀᴜғᴀʟ
untung uda sering liat anime jepng jdi sdikit faham
2021-05-30
1