Sontak aku terkejut. "Apa?!" suaraku menggelegar, aku terbakar, darahku mendidih. "Lancang, kamu Jo! Tolong hargai aku sebagai perempuan yang telah bersuami. Tak sepantasnya kamu mengatakan hal itu kepada istri orang." Kali ini aku menatapnya lebih tajam, garang, aku meradang. Harga diriku berasa diinjak-injak, oleh Playboy Klas Kakap yang sedang mabuk kepayang, karena kasmaran dengan Cinta Monyet-nya yang tak terbalas. Napasku memburu, dadaku serasa mau meledak. Hampir saja, tanganku melayang hendak menamparnya. Pikirnya aku perempuan gampangan yang mau diajak kawin dengan lelaki sembarangan. Fuih.
"Sssttt, tenang Mawar. Pelankan sedikit suaramu. Nggak enak didengar teman-teman kita di sana. Tenang, sabar. Orang sabar disayang Tuhan." Johan mencoba menenangkanku. Sikapnya seperti seorang Ayah yang sedang membujuk putrinya yang lagi tatrum. Sama sekali tidak terpengaruh dengan kemarahanku barusan. Duh, Johan! Benar saja. Hampir semua teman di sana melihat ke arah kami dengan tatapan penuh tanda tanya. Beberapa dari mereka berbisik-bisik dan cekikikan tak jelas. Sengaja Johan melambaikan tangannya ke arah mereka. Sebagai isyarat, bahwa tidak terjadi apa-apa di antara kami berdua.
"Nah, sekarang. Coba kamu tarik napas, lalu hembuskan perlahan. Oke. Ayo, coba ...." bujuknya lagi. Tanpa sadar aku menuruti arahannya. Menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Seumur-umur rasanya aku belum pernah semarah tadi. Energiku benar-benar terkuras, karena kemarahan yang memuncak. Tapi sialnya, Johan tetap tenang, seperti tak mengacuhkan kemarahanku. Malah tersenyum nakal menggodaku. Ampun, dah!
"Kamu lucu kalo sedang marah begitu. Makin cantik." Bola matanya mengerling ganit, semakin menggodaku.
"Johan, please. Kamu harus terima kenyataan, bahwa kita ditakdirkan tidak berjodoh," kataku setengah putus asa. Rasanya percuma aku marah-marah, karena dia tak peduli. Sikapnya tetap santai dan cuek.
"Aku pernah dengar, bahwa do'a bisa mengubah takdir," Dia berkelit yakin. "Jika kita saling mencintai, apa salahnya kita menikah. Instingku sebagai lelaki penakhluk wanita, mengatakan bahwa sebenarnya kamu pun memiliki rasa yang sama untukku, cuma kau pendam dalam diam. Iya, kan?"
Aku terpojok. Yang dikatakan Johan tidak sepenuhnya benar, juga tidak sepenuhnya salah. Aku sendiri juga bingung melukiskan perasaanku kepada Johan. Seperti nano-nano, campur aduk tak karuan.
"Lalu apakah pernikahan itu bagimu hanya sekedar permainan saja. Semua ada aturan dan batasannya, Jo. Kamu harus tahu, mana perempuan yang boleh dinikahi, dan mana perempuan yang tidak boleh dinikahi."
"Aku tahu. Tapi bukan itu persoalannya. Bagiku pernikahan akan mendatangkan kebahagiaan jika suami istri saling mencintai. Aku bersedia menceraikan semua istriku, jika kamu tak mau dimadu, Mawar," desaknya lagi.
Membuatku melotot dan geleng-geleng kepala. Ya, Tuhan. Kuatkan aku. Aku harus tetap waras di tengah kegilaan ini.
"Kalo kamu tidak mencintai istri-istrimu itu, lantas kenapa dulu kamu menikahi mereka?"
"Aku ini lelaki normal, Mawar. Tentu saja aku butuh tempat untuk menyalurkan hasrat biologisku kepada wanita. Daripada aku melampiaskannya disembarang tempat, kan lebih baik aku menikahi mereka."
"Jadi, kamu menikahi mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis semata?" Aku menyukai pelajaran Psikologi, yang membuatku sering mencoba memahami sikap dan kepribadian seseorang melalui kondisi spikis yang tengah dia rasakan. Curhatan Johan, membuatku sedikit terpancing untuk mengetahui apa yang membuatnya nekad melamarku. Padahal sudah jelas menjadi istri orang lain.
"Ya. Aku menikahi mereka hanya untuk itu. Karena itulah yang membuat kehidupanku terasa hambar, kering dan gersang. Meski aku punya uang banyak, harta kekayaaan yang melimpah, istri-istri yang cantik dan anak-anak yang lucu. Tapi aku tidak merasa bahagia. Karena hatiku sudah terlanjur terikat kepadamu, Mawar." Wajahnya yang selalu tersenyum jumawa, tiba-tiba muram tak bercahaya. Sepertinya dia tengah berputus asa.
"Itu hanya perasaanmu saja, Jo. Barangkali bukan aku penyebabnya. Bisa saja, itu karena kamu sudah terlalu jauh dari jalan Tuhan-mu. Jadi untuk mendapatkan kebahagiaan, cobalah kembali ke jalan Allah," nasehatku mencoba meyakinkan. Karena aku tidak tahu harus mengatakan apalagi. Dia tampak tambah kacau.
"Jangan menceramahiku, Mawar. Aku sudah bosan dengan kata-kata itu." Johan meremas rambutnya dengan kedua tangan, mukanya tertunduk kuyu.
"Atau ... mungkin itu balasan karena kamu sering mempermainkan perasaan wanita, hingga kamu tidak merasa bahagia," tebakku asal-asalan.
"Tolong, Mawar. Jangan menghakimiku. Saat ini aku butuh seseorang yang mau mengerti aku. Dan itu kuharapkan dari kamu, wanita yang selalu kucintai," pintanya pelan.
Kulihat ada embun di Mata Elangnya. Biasanya dia selalu tampil gagah, dipuja dan digilai banyak wanita, tapi kini tak ubahnya bagai seorang pesakitan yang terus memohon penuh pengharapan.
"Seharusnya kamu tidak boleh curhat sama aku, Jo. Carilah seseorang yang bisa engkau percayai, sekaligus menasehati, dan membawamu ke jalan yang lebih baik."
"Tidak. Bukan itu maksudku. Aku tidak pernah merasa bahagia, karena aku tidak memiliki rasa cinta kepada mereka, istri-istriku. Aku yakin, hanya dengan menikahi wanita yang kucintailah, yang akan membuatku sempurna bahagia." Dia menatap penuh harap. Hampir saja aku luluh, cepat kupalingkan muka. Perasaanku yang mudah tersentuh, jadi merasa iba kepadanya. Sepertinya dia sudah lama merasa tidak bahagia. Kasihan Johan. Kini aku semakin yakin, bahwa harta dan kekayaaan tidak menjamin kebahagiaan. Faktanya, banyak orang-orang kaya diluar sana, justru merasa lebih menderita dari orang-orang tak berpunya. Salah satunya, orang yang sedang duduk di hadapanku ini.
"Kumohon, Nawar. Akhiri penderitaanku," desahnya lirih.
"Tapi aku tidak akan pernah meninggalkan suamiku," jawabku cepat, segera menguasai perasaanku yang hampir hanyut.
Hening.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
nobita
jawaban yg bagus Mawar.. aku tidak akan pernah meninggalkan suami ku...
2023-06-20
0
Syafri Yanti
udah diedit
2020-09-17
0
Rianita Kamri
betul tuh,,ada jg mas han tp kmdian mas pri,,,mna yg bener ya
2020-03-17
0