"Kita berdua adalah korban yang tersakiti. Bagaimana kalau kita saling menyembuhkan luka satu sama lain?" goda Naoki.
"Ehh?" Hani terpaku, belum paham apa maksud pria di depannya. Alarm tanda bahaya telah menyala. Senyumnya terlihat tidak biasa dan Hani tidak tau bahaya apa yang akan ia hadapi detik berikutnya.
Tiba-tiba saja Naoki bangkit dan mencium bibir Hani sekilas. Membuat pemiliknya kehilangan kendali tentang apa yang sebenarnya terjadi. Wajahnya tiba-tiba memanas dan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
Deg
'Ini... Ini ciuman pertamaku' bisiknya dalam hati.
Naoki melepas ciumannya dan menatap manik coklat di depannya. Gadis itu sangat imut dan membuatnya ingin terus tersenyum. Sementara Hani masih belum sadar sepenuhnya, terdiam dengan tatapan kosong membuat Naoki terhenyak.
'Apakah... Mungkinkah ini...'
Naoki melepaskan tangannya yang sedari tadi menangkup pipi Hani dan membuat jarak diantara mereka, "Apa ini yang pertama kali untukmu (berciuman)?" tanya Naoki hati-hati.
Hani tak bisa bersuara, ia hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Memandang Naoki dengan tatapan yang sulit diartikan. Tapi sedetik kemudian dia beranjak dari tidurnya dan bersandar pada kepala ranjang di belakangnya. Memejamkan mata mencoba merangkai akal sehatnya kembali. Beberapa saat lalu ia merasa seperti tak bisa berpikir dengan jelas.
'Tenang Han, semua baik-baik saja...' ucapnya dalam hati.
"Maaf.." lirih Naoki sambil berdiri bersiap pergi.
"Mari bicarakan ini dengan jelas," Hani membuka matanya dan menatap suaminya dengan tatapan serius, berbeda dari tatapan bodohnya beberapa saat lalu.
Naoki lagi-lagi terkejut melihat ekspresi istrinya. Dia terlihat serius dengan tatapan dingin yang mengerikan. Bukan lagi Hani yang lucu dan menggemaskan tadi.
Kruukk krukk...
"Aku lapar." ucap Hani kemudian dan berlalu ke dapur meninggalkan Naoki yang terheran-heran. Bibirnya merekah mendapati istrinya yang tengah menahan malu karena perutnya berbunyi di saat yang tidak tepat.
*******
Keduanya sudah menyelesaikan makan malam yang dimasak oleh Naoki. Hanya menu sederhana, nasi goreng ala Jepang. Kini mereka duduk di balkon apartemen yang menghadap ke laut.
"Kamu marah?" Naoki memulai pembicaraan setelah keduanya diam beberapa saat.
"Hmm?" Hani menoleh ke samping kirinya tanpa ekspresi "Aku tidak berhak marah padamu. Mari bicarakan hal lain yang lebih penting" ucapnya seraya berdiri. Mendekatkan dirinya ke pagar balkon, membelakangi Naoki, "Aku akan kembali ke Indonesia besok"
"Ehh? Secepat itu?"
Hani diam, menata hatinya agar berpikir dengan jernih. Menahan emosinya yang ingin meledak, ia terpaksa menyimpan sumpah serapah yang bermunculan di kepalanya atas semua kejadian hari ini. Dan orang itu bertanya kenapa? Hani memejamkan matanya, cara paling ampuh untuknya meredam marah.
"Mondai wa arimasuka?" Naoki bertanya memastikan karena wanita di depannya hanya mematung sambil menutup matanya, seolah menikmati angin yang berhembus perlahan.
(Apa ada masalah?)
"Aku harus minta maaf pada ibu karena tidak mempercayai ucapannya" jawabnya lirih tapi Naoki masih bisa mendengarnya.
"Aku ikut." pinta Naoki, berdiri di sebelah Hani. "Pernikahan ini bukan keinginanmu, aku yang akan menjelaskan pada ibu"
"Aku bisa sendiri. Bukankah kamu bilang bahwa kita berdua hanya korban?"
Naoki menatap istrinya penasaran, apa yang akan wanita ini sampaikan padanya. Ada maksud lain dari ekspresi wajahnya. Ia merasa gadis di depannya berbeda, bukan gadis polos yang akan menuruti ayahnya.
"Aku harus menjernihkan pikiranku dulu. Kita tidak bisa melanjutkan pernikahan ini, aku akan bicarakan ini dengan ayah dan kakak. Kamu hanya perlu berpura-pura menjadi suami yang baik beberapa hari saja. Aku akan membebaskanmu." Hani menatap Naoki dengan sedikit mengangkat kepalanya karena perbedaan fisik mereka yang cukup jauh.
"Aku tidak mau. Aku sudah jatuh cinta padamu sejak pertama kali melihatmu." Naoki mengelak seraya menahan lengan mungil Hani, yang pasti longgar di tangannya yang besar.
"Apa? Itu tidak mungkin." sela Hani spontan, menatap wajah suaminya. Ia tidak bisa mempercayai kata-kata itu. Mereka baru bertemu pagi ini jadi bagaimana bisa orang itu jatuh cinta padanya?
"Mau bukti?" Naoki mendekati Hani perlahan. Ia mencium bibir istrinya dengan lembut, menyalurkan seluruh cintanya yang mulai tumbuh dan berkembang memenuhi hatinya. Sesekali ia ********** perlahan, mengajari Hani caranya menikmati benda kenyal itu.
'Ciuman keduaku...' batin Hani.
Duk....
"Aww..." Naoki menatap istrinya yang tiba-tiba menendang tulang keringnya, tangan kirinya terlepas dari pinggang Hani dan segera mengusap kaki kiri yang terasa nyeri. 'Gadis ini....' pikirnya mulai kemana-mana.
Wajah Hani nampak tegang seperti orang ketakutan. Ia mundur menjauhi Naoki beberapa langkah. Hembusan nafasnya mulai teratur setelah hampir tak bisa bernafas beberapa saat lalu karena terkejut.
"Ada apa?" Naoki melihat Hani dengan pandangan penasaran. Dia merasa ada hal yang ingin Hani sampaikan. Sikapnya yang refleks menendang tulang kering, bukan sikap yang ditunjukkan gadis lain pada umumnya. Matanya yang tajam seolah berjaga-jaga akan kejadian yang tak terduga.
"Tidak apa-apa." ucapnya sambil berlalu masuk ke dalam kamar setelah 10 detik kemudian tak ada yang terjadi. Ia segera membaringkan badan dan menutupinya dengan selimut sebatas dada.
"Hani-chan, kita belum selesai bicara. Kenapa kamu kembali secepat itu?" Naoki menuntut penjelasannya. Jemarinya menyentuh jilbab saat Hana beranjak dari tempat tidur.
"Aku akan tidur di luar," ucapnya sambil berlalu membawa selimut dan bantal yang beberapa saat lalu ia pakai.
Naoki hanya bisa melihat punggung mungil itu menghilang di balik pintu yang telah tertutup.
"Baka!" Naoki menatap sekelilingnya.
(Bodoh)
"Aaghhh.... Baka baka baka !!" ucapnya sambil menutup wajahnya. Menyadari kesalahannya. Seharusnya ia bisa menahan diri dan tidak melewati batas seperti tadi.
Hani terduduk di kursi panjang di depan televisi, memeluk bantal dan selimut yang asal ia bawa tadi saat buru-buru keluar kamar. Lampu yang telah padam ia biarkan saja. Sementara Naoki kembali ke balkon dan mencengkeram pagar balkon dengan erat, melampiaskan penyesalannya.
30 menit berlalu tapi Hani masih ada di posisinya. Tak bergeser se inchi pun. Rasa kantuknya mulai datang tapi ia ingin tetap terjaga, menunggu ayahnya pulang dan meminta penjelasan.
Ceklek
Naoki keluar dari kamar dengan canggung dan duduk di ujung sofa, membuat Hani bergeser ke ujung lainnya. Mereka duduk berdua dalam kegelapan. Hanya cahaya lampu temaram di balkon luar yang menyinari mereka berdua.
"Maaf, aku tidak bermaksud..."
"Berhenti merasa bersalah, aku tidak membencimu. Hanya saja jangan melakukannya secara tiba-tiba," ucapnya seraya menundukkan kepala, malu. Wajahnya memerah. Tapi sedetik kemudian dia menetralkan wajahnya lagi.
"Jelaskan padaku, kenapa kamu menikahiku walaupun tahu pasti aku hanya korban?" Hani mencoba mengganti topik pembicaraan.
"Karena kesehatan kakek memburuk. Jika sesuatu terjadi, aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri," jawabnya seraya menerawang jauh ke angkasa yang mulai gelap, terlihat dari jendela yang masih terbuka.
"Hanya itu?" Hani menatap pria di sampingnya dengan heran, "Jika kakak tidak kabur, kamu akan tetap menikahinya dan jatuh cinta padanya?" senyum miring menghiasi wajah bulat itu, mempertanyakan keputusan Naoki.
"Itu..." Naoki kehilangan kata-kata. Ia tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaannya, "Bandara, 5 tahun lalu" ucapnya lirih.
"Apa?" Hani memastikan orang di sampingnya berbicara dengan jelas agar ia tak salah paham.
"Aku mengantarmu dan ibumu ke bandara. Kamu lupa?" Naoki memberanikan diri menatap lawan bicaranya yang tampak sangat tenang.
Glek
Naoki menelan ludahnya, gadis di depannya membuatnya gentar. Entah kenapa rasanya Hani seperti bisa membunuhnya melalui tatapan tajamnya. Berbeda dengan Hani yang beberapa saat lalu ia curi kecupannya. Naoki menatap bibir berwarna peach itu lagi, ia menginginkannya.
'Manis... Shit! Kenapa aku bisa jadi begini' umpatnya dalam hati dan langsung mengalihkan pandangannya ke televisi yang terlihat gelap, mengalihkan pikiran kotor dari istrinya sendiri.
Hani mengingat-ingat saat ia dan ibu hendak pulang ke Indonesia, ia ingat beberapa orang mengantarnya tapi tidak ingat seperti apa wajahnya.
"Kamu cemberut sepanjang jalan, terus mendengarkan musik lewat headphone & tak berbicara sepatah katapun. Di bandara, kamu bahkan menjauh saat kakek ingin mengelus kepalamu," jelas Naoki singkat.
Hani ingat sekarang. Apa yang Naoki ucapkan sama persis seperti yang terjadi waktu itu. Seorang kakek hendak mengusap kepalanya tapi ia menepi dan berpaling, memilih pergi melenggang ke arah petugas check in dan meninggalkan ibunya yang masih berpamitan pada para tetua disana.
"Aku jatuh hati padamu saat itu juga," jelas Naoki dengan senyum merekah terukir di wajahnya.
Hani terdiam, sedikit syok dengan pengakuan dari pria yang berstatus sebagai suaminya itu. Rasa kantuknya menguap dan menjelma jadi penasaran, "Ekhmm... Aku tidak ingin mendengar apapun lagi," Hani menetralisir keterkejutannya, "Aku tetap akan pulang besok"
Ting ting ting
Hiasan pintu dari logam berbunyi, membuat Naoki dan Hani otomatis mengarahkan pandangannya ke sumber suara. Pintu terbuka dan menampilkan ayah dan Maruko yang terlihat kacau. Sepertinya ia mabuk, ayah membawanya ke kamar dan menyelimutinya setelah melepas sepatu 17cm itu.
Klik
Ayah menghidupkan lampu dan terkejut melihat menantu dan putrinya terpaku di sofa, "Ka... kalian belum tidur? Ini... Ini sudah larut" Kotaro mengelus tengkuknya, mengalihkan rasa gugupnya. Ya, ia tahu putri bungsunya marah.
"Ayah, mari bicarakan ini dengan jelas." ajak Hani, menyingkirkan selimut dan bantal berwarna putih itu, "Kenapa ayah berbohong padaku?"
Kotaro terdiam, berusaha memilih kata yang tepat agar tak salah ucap di depan putrinya.
"Ayah tahu aku baru saja bekerja belum genap setahun ini. Aku tak bisa menikah dengan sembarang orang. Kenapa ayah memaksaku menikah dengan Naoki?"
"Itu karena Naoki mencintaimu," jawabnya menatap Hani dengan gusar "Jangan memaksakan diri. Tinggallah disini dan hidup dengan baik,"
Hani menaikkan sebelah alisnya dan menyunggingkan sebuah smirk khasnya.
"Ayah berpikir hidupku di Indonesia tidak baik?" tanya Hani seraya berdiri, "Apakah mabuk-mabukan seperti kakak membuat ayah tenang? Ayah tahu persis seperti apa sifat dan tabiatku. Sekali seseorang berkhianat, aku tidak akan memandangnya lagi." ucapnya dingin.
Kotaro terdiam kehabisan kata-kata.
"Aku akan kembali esok pagi. Arigatou & Sayonara," ucapnya dingin, beranjak kembali ke kamarnya.
(Terima kasih & selamat tinggal)
"Kakakmu hamil..." ucap Kotaro dengan suara bergetar.
*******
Sampai jumpa di episode selanjutnya. Big love buat temen-temen yg mau baca karya amatiran ini 😘😘😘
Jaa nee...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Alina_piqaQ
Mulai nyimak kaq
Dan mulai menarik menurut Q 👍👍👍
2020-10-23
1
Shii An
sebel sama ayahnya 😏
2020-10-07
1
Sulastri Lastri
ketemu lagi thor sama karyamu
2020-06-02
1