Setelah kurang lebih dua bulan mendekam di rumah sakit, akhirnya Deus dapat keluar dari neraka kebosanannya. Heran? Ya, menurut dokter ia harus beristirahat lebih lama lagi di rumah sakit. Dengan berat hati, Deus pun menyetujuinya walaupun sempat memprotes beberapa kali. Ia sudah tertinggal sebulan dalam hal pelajaran, di tambah sebulan lagi tentu saja ia mengajukan protes.
Apesnya lagi, karena telah absen selama lebih dari sebulan ia harus mengikuti kelas khusus pada jam yang berbeda dari kelas biasanya. Di tambah kelas khusus tersebut memakan waktu kurang lebih enam jam setiap harinya. Seperti kembali menjadi anak SMP saja. Belum di tambah biaya pengobatan di rumah sakitnya, kelihatannya ia akan dibebani banyak pikiran dalam beberapa waktu ke depan.
Ia menghela nafas ketika memikirkan semua masalahnya itu. Meski ia termasuk golongan manusia cerdas, nasib baik tidak mungkin selalu menyertai dirinya. Jika seseorang tidak pernah tertimpa kesialan satupun dalam kehidupannya, boleh dikatakan bahwa orang itu adalah titisan dewa. Setidaknya itu menurut ucapan Deus.
“I-inikah tempatnya? Bukannya tempat ini terlalu mewah untuk mahasiswa miskin sepertiku?”
Kini ia tengah berada di depan sebuah gedung pencakar langit tinggi nan mewah bernama ‘Grand Hotel Skrimata’. Tempat ini merupakan gedung mewah yang sering digunakan para pembisnis-pembisnis kaya biasa berkumpul mengadakan pesta, rapat, diskusi, ataupun bermalam. Hotel ini merupakan hotel termewah di kota yang ditempati Deus. Biaya per malamnya bahkan mencapai 16.000.000 rupiah!
Dengan gugup, Deus melangkah memasuki hotel mewah ini dan bergegas menuju lift karena ia tidak ingin penampilannya menjadi pusat perhatian orang sekitar. Seperti biasa, kaos oblong hitam, celana jeans biru, dan sepasang sepatu sneakers merah—tentu saja dengan lengan kanan yang masih di gisp. Karena kecelakaannya waktu itu, jaket merah berhoodie lengan hitam kesayangannya rusak parah sehingga tak bisa diperbaiki.
Setelah kurang lebih lima menit berada di lift, ia sampai di lantai ke-13. Meskipun seharusnya waktunya relatif lebih singkat, terdapat banyak orang yang keluar masuk lift sehingga jalannya sedikit terhambat.
Ia menengok ke sana kemari mencari seseorang yang akan bertemu dengannya di tempat ini. Namun, apa yang ia dapat bukanlah orang yang ia cari, tapi seseorang yang ia benci. Laki-laki berambut merah terang dengan mata berwarna sama seperti rambutnya di lindungi jas hitam formal mewah yang tadinya berdiri berbincang-bincang dengan sepasang suami-istri, sekarang berjalan mendekati Deus.
“Hei hei hei, apa yang kau lakukan di tempat ini, Rudeus Laendra?”
‘Hiruma Tokoyasu!’
Melihat musuh laki-laki tampan bertampang berengsek di depannya ini, ia menyembunyikan ekspresi serta seluruh kemarahannya di dalam hati. Ia memasang senyum palsu di wajahnya sembari berusaha tetap tenang mengendalikan diri. Selain menjadi perhatian orang sekitar, bisa-bisa ia menyebabkan perkelahian di sini. Ia juga tidak diuntungkan—dalam hal posisi maupun fisik.
“Memangnya kenapa kalau aku berada di sini, Hiruma?”
“Enggak, aku cuma heran saja melihat bocah miskin sepertimu bisa ada tempat mewah seperti Grand Hotel Skrimata.”
Mengetahui posisinya saat ini sangat tidak diuntungkan, ia hanya menelan mentah-mentah semua kata-kata dari Hiruma. Deus mengepalkan tangan kirinya mencoba menahan amarah sekuat tenaga. Walaupun tak seharusnya ia marah di sini, tetap saja tidak mungkin ia melupakan perbuatan Hiruma di masa lalu.
“Sayang, kemarilah, ada si miskin di sini.”
“Benarkah? Ah iya, ternyata memang benar. Lama tak bertemu, ya, Rudeus.”
Yang baru saja datang adalah seorang gadis cantik berambut cokelat pirang menawan, bermata biru gelap indah, berbalutkan gaun putih anggun, disertai beberapa perhiasan yang terlihat mahal di leher dan pergelangan tangannya membuat hampir seluruh laki-laki di lantai ini mengalihkan pandangan mereka ke gadis tersebut.
“L-lama tak berjumpa, Rea.”
Deus memaksakan senyumannya bersamaan dengan amarahnya sehingga wajahnya terlihat sedikit kacau sekarang. Gadis itu adalah Reana Flaregarde. Ketiganya—Deus, Hiruma, dan Rea—merupakan teman sekelas ketika kelas 11 di jenjang SMA.
Melihat senyuman Rea yang sama sekali tidak diliputi rasa bersalah sedikit pun, ekspresi merendahkan dari Hiruma, dan tangan Rea yang melingkar di lengan kiri Hiruma, amarah Deus semakin memuncak. Namun, hal itu ia tangani dengan rangkaian tarikan dan hembusan nafas besar dari hidungnya.
Ekspresinya menjadi datar dan terlihat tidak peduli dengan mereka berdua yang ada dihadapannya.
“Lalu, ada perlu apa kalian datang kepadaku? Jangan bilang kalau kalian mau pamer kemesraan kalian.”
“Wah, seperti yang di duga dari orang ‘tercerdas’ di SMA kita dulu, kau bisa menjawab apa saja ya, Deus.”
“Hah?”
Membalas tatapan meremehkan dari Hiruma, Deus memberikan sorot mata sinis yang dipenuhi kebencian mendalam. Hal itu cukup mengganggu Hiruma sampai-sampai ia terkejut melihat Deus yang bisa melontarkan tatapan itu kepadanya. Selang beberapa detik, Deus membalikkan badannya dan hendak berjalan meninggalkan kedua pasangan tersebut.
“Hei, jangan abaikan aku, Rudeus Laendra!”
Dengan sebuah teriakan yang cukup lantang, Hiruma berhasil menyita perhatian seluruh penghuni lantai 13. Tentu saja langkah Deus berhenti begitu namanya diteriakkan oleh laki-laki yang ia benci, kemudian menoleh ke belakang melihat sang pemanggil. Ia juga sadar bahwa ia sedang menjadi pusat perhatian dari semua orang di lantai ini.
“Apa kau tak malu memakai pakaian seperti itu di gedung ini!? Dengan tangan seperti itu!? Kau pasti sudah menjadi berandalan yang sering berkelahi di jalanan, kan!? Menjijikkan sekali dirimu, Rudeus Laendra! Berani sekali kau menginjakkan kaki kotormu di tempat ini!”
‘Maaf saja, bukan kakiku yang kotor tapi sepatuku. Lalu, sepatumu juga sama kotornya.’
Teriakan dari Hiruma memberi Deus lebih banyak perhatian lagi. Kali ini hampir semua orang membicarakan Deus dengan suara sepelan mungkin tak ingin terdengar—padahal sudah terdengar jelas. Deus yang merasa dihina itu hanya menghela nafas kecil sambil memejamkan matanya. Sebenarnya ia tidak ingin membuat masalah di tempat penuh gengsi ini, tapi apa boleh buat, ia juga tak bisa berdiam diri saja ketika harga dirinya diinjak-injak oleh laki-laki ini.
Di sisi lain, Rea hanya tertawa kecil menertawakan Deus yang tengah dihina oleh Hiruma. Karena tidak ingin dilihat terlalu vulgar, ia menutup bibirnya menggunakan tangan kanannya Begitulah para wanita kelas tinggi tertawa.
“Rudeus?! Siapa yang mengatakan Rudeus Laendra?!”
Di tengah kegaduhan yang dibuat Hiruma, terdengarlah suara berat seorang pria dari arah kiri Deus. Mereka semua yang ada di sana dengan cepat mengalihkan perhatian kepada suara tersebut. Di sana terdapat seorang pria paruh baya berambut hitam—beberapa helai rambut putih—mengenakan setelan jas hitam mewah, persis seperti Hiruma. Bedanya pria tersebut memiliki jam tangan bermerk terkenal yang harganya juga fantastis—bagi Deus tentunya.
“Ah, tuan Rezel.”
“Tuan Rezel.”
“Mengapa tuan Rezel di sini?”
‘Pria ini... Rezel Hansilva?’
Ketika seisi lantai mendadak heboh dengan kedatangan pria paruh baya bernama Rezel Hansilva ini, Deus sepertinya sedikit bingung melihat wujud orang yang mengirim sepaket perlengkapan Solid Gear dan PC kepadanya saat di rumah sakit. Ia mengira pria bernama Rezel ini masih muda. Namun ternyata kenyataan berkata jauh dari bayangannya.
Rezel berjalan mendekat ke arah Deus dan Hiruma yang tengah cekcok—meski hanya sekedar penghinaan sepihak. Untuk sesaat, matanya tertuju kepada Hiruma, tetapi pandangannya segera teralihkan ke pemuda berambut hitam yang tangan kanannya masih dibalut gips, menggantung di kain leher.
“Tuan Rezel, orang in—”
“Oh, andakah yang bernama Rudeus Laendra?”
“Y-ya, itu saya.”
Dalam sekejap, suasana di lantai itu berubah drastis. Dari yang semulanya memojokkan Deus seorang, menjadi kebingungan terhadap Rezel yang menyapanya dengan panggilan formal. Hal ini tentu saja membuat seisi lantai terkejut—termasuk Hiruma dan Rea yang kedua matanya terbelalak.
Setelah sedikit berbincang-bincang untuk memastikan apakah Deus benar-benar Rudeus Laendra yang menyelamatkan putrinya, akhirnya Rezel berbalik dan berdeham cukup keras sehingga membuat suasana lantai hening.
“Nak Hiruma, aku tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian, tapi Rudeus adalah tamuku. Akulah yang mengundang ia kemari. Jika kau keberatan, katakan protesnya padaku nanti. Aku ingin berbicara dengan Rudeus terlebih dahulu, lalu aku akan mendengarkan segala bentuk protesmu. Bolehkah?”
“E-eh? Y-ya, t-tentu s-s-saja.”
Dalam kalimat perbincangan satu arah tersebut, lidah Hiruma pun langung terbungkam tidak bisa mengatakan sepatah kata lagi untuk merendahkan Deus. Di sisi lain, Rezel berjalan kembali ke tempat duduknya dipinggir jendela yang dapat melihat pemandangan kota di ketinggian—tentu saja Deus mengikutinya dari belakang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 261 Episodes
Comments
Ivon Pramesti Syahnanda
bagus
2022-08-23
1
Zhyui
ngakak aku
2022-07-05
1
arfan
1153
2021-11-30
2