With You

"Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram."

(QS Ar Ra'd:28)

----

Amira menghela napas kembali, dia menatap punggung Dinan yang tertelan pintu. Dia menoleh ke arah Ifa kemudian dia memberikan senyum tipisnya.

"Mbak, sungguh aku tidak bermaksud membuat semua ini semakin rumit." Ifa mendekati Amira dan menyentuh tangan Amira.

"Sudahlah, semuanya akan baik-baik saja." Amira melepas genggaman Ifa kemudian dia mengambil cangkir yang berisi coklat panas.

"Aku tidak ingin Mbak dan Mas Dinan bertengkar. Sungguh, selama ini aku memang selalu berpikir egois aku hanya ingin menguji Mbak Mira saja. Sungguh tak ada sedikitpun niat untuk membuat Mbak Mira dipoligami. Sungguh." Dia mengatakannya dengan nada yang mampu menghanyutkan siapapun yang mendengarnya. Amira tersenyum tipis, dia tidak menduga jika Ifa akan melakukan hal konyol itu.

"Aku sedikit kesal saat mas Dinan bilang kalau mbak menolak lamarannya waktu itu. Karena aku tahu seberapa besar rasa yang dimiliki oleh Mas Dinan buat Mbak." Ifa mengambil duduk kemudian mendongak menatap Amira yang membeku dengan dua tangan memegang cangkir dari sisi kanan dan kiri.

"Maksudnya?"

"Apa yang aku ucapkan selama ini tidak ada yang benar. Aku tidak berharap Mas Dinan menikah dengan Maura, itu semua hanya ingin membuat Mbak kesal saja. Sungguh Mbak, jangan bertengkar dengan Mas Dinan. Aku yang akan bicara pada Mas Dinan." Ifa hendak berdiri namun dicegah oleh Amira.

"Gak perlu, Fa. Biarkan kami bicara," kata Amira kemudian dia berjalan menuju tangga mengangkat kakinya melangkah satu demi satu anak tangga dengan pelan, dia menjaga keseimbangan dengan hati-hati karena saat ini dia membawa cangkir coklat yang cukup panas. Baru sampai depan pintu Amira mendengar seruan panggilan menuju rumah Allah, dia tersenyum tipis. Amira sangat menyukai suara adzan karena bagi Amira adzan adalah sebuah panggilan untuk melepas keinginan dunia.

Amira membuka pintu tanpa mengeluarkan suara, dia menjawab adzan dalam diamnya. Saat menaruh cangkir Amira melihat Dinan yang sedang membuka pintu kamar mandi dan tersenyum tipis ke arahnya. Amira mengerti maksud dari senyum Dinan, dia mengangguk kemudian dia mengambil handuk dan memberikan kepada Dinan. Amira bisa melihat wajah Dinan yang masih bercucuran gemercik air.

"Sudah mandi?" tanya Amira.

"Sudah." Dinan melangkah keluar kamar mandi, tak lupa mengucapkan doa dan dimulai dengan kaki kanannya.

"Kok belum ganti baju?" Amira menatap kemeja yang sama yang dipakai Dinan, namun dia bisa melihat bahwa Dinan tidak memakai handuk sehingga kemeja melekat pada tubuhnya yang basah.

"Tadi lupa membawa handuk dan baju ganti." Amira menoleh ke arah kursi, dan di sana masih ada baju yang sudah dia siapkan untuk Dinan malam ini.

"Kenapa lama sekali masuk kamarnya?" Dinan langsung memeluk tubuh Amira.

"Mas, basah." Amira terpekik karena terkejut.

"Biarkan, mas sudah menunggu kamu lama." Dinan menaruh kepalanya di bahu sang istri.

"Aku tidak ada satu jam ini," kata Amira pelan, dia heran dengan sikap Dinan.

"Mas sudah menunggu saat seperti ini sejak tadi pagi, apa kamu tidak menyadarinya?" Dinan membalik tubuh Amira sehingga keduanya saling berhadapan.

"Mas rasanya ingin marah jadi memelukmu." Dinan kembali memeluk Amira dengan kuat membuat Amira semakin bingung.

"Apa hubungannya?" Amira mengurai pelukan kemudian dengan santai meninggalkan Dinan yang hanya diam karena merasa diabaikan.

"Ada banyak hubungannya, katanya pelukan istri itu mampu meredam gejolak di dalam dada." Amira membawa baju Dinan.

"Cepat ganti baju, sudah adzan. Bisa jadi sebentar lagi iqomah." Amira menyerahkan baju Dinan, dia tersenyum tipis melihat wajah kesal Dinan. Ah, manis sekali suaminya itu. Amira bukan tidak paham ucapan Dinan dia sangat paham namun dia hanya ingin menggoda suaminya.

Setelah mengantar Dinan hingga depan pintu kamarnya, Amira melangkah menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat isya. Tidak lupa sebelum melakukan sholat isya dia sholat dua rakaat sunnah qobliyah isya dan setelah sholat isya dia juga berlakukan sholat sunah ba'diyah isya sebanyak dua rakaat.

Amira ingat tentang sebuah hadits yang menjelaskan bahwa Rosulullah menganjurkan untuk mendirikan sholat sunah di dalam rumahnya supaya rumah tidak seperti kuburan. Amira melipat kembali mukena yang dia kenakan, kemudian saat hendak melipat sajadah dia dikejutkan dengan ucapan Dinan.

"Sajadah taruh saja, aku juga mau sholat." Amira menoleh ke arah Dinan kemudian dia mengangguk. Amira berjalan menuju kursi kemudian dia duduk di sana, dia mengamati sang suami yang saat ini tengah khusyu'.

---

Amira menuruni anak tangga dengan pelan, dia hendak menuju ke ruang makan.

"Dinan sudah pulang?" tanya Bunda yang ada di dekat tangga.

"Sudah Bun." Amira berdiri di dekat sang bunda.

"Semenjak punya istri dia jadi gak pernah laporan lagi ke bundanya kalau sudah pulang." Amira meringis mendengar ucapan sang mertua, dia jadi tidak enak hati dan merasa bersalah. Rasanya, kehadiran dia di rumah ini membuat Dinan dan sang ibu meremang.

"Jangan salah arti, Bunda tidak menyalahkan dirimu. Bunda menyalahkan Dinan yang berubah." Meski kalimat itu tidak menghakimi Amira, namun tetap saja bagi Amira itu adalah suatu beban yang harus dia angkat dengan mencari solusi.

"Iya Bun." Amira mulai mengangkat panci sayur kemudian dia menghangatkan. Dia menatap kosong warna biru api di atas kompor yang masih nampak walaupun di atasnya terdapat panci.

Amira mulai menyelami yang lautan pikiran, dia mulai mencoba berenang ke tepian untuk mengambil jalan pintas.

"Apa yang kamu lakukan, Ndok?" Amira tergagap dengan bunyi pemetik kompor. Dia menoleh ke arah sang mertua kemudian segera menoleh ke arah panci sayurnya.

"Apa yang kamu pikirkan? Kenapa melamun?" Amira menoleh ke arah sang mertua kemudian dia menggelengkan kepalanya. Amira menatap ibu Dinan dan tanpa terasa air matanya meleleh.

"Maaf Bun." Amira mengatakan dengan nada rendah, dia terisak kemudian dia berjalan cepat menuju ke arah kamarnya. Dia berjalan tanpa menghiraukan panggilan dari sang mertua. Amira hanya memiliki satu tekad yaitu ke dalam kamar dan mengubur semuanya di atas bantal.

Amira menaiki tangga dengan tergesa-gesa, bahkan dia abai terhadap Dinan yang menanyakan kemana dia akan pergi. Dinan heran dengan sikap sang istri yang hanya diam dan masuk ke dalam kamar.

Amira membenamkan wajahnya di atas bantal, dia mengeluarkan semua yang ada di dalam dadanya. Dia ingin bebas dengan segala rasa, dia ingin menghilangkan segala rasa dan beban. Amira mulai berbaring telentang namun masih membiarkan wajahnya tertutup oleh bantal.

"Hai, kamu kenapa?" tanya Dinan mencoba memindahkan bantal yang menutupi wajah Amira.

"Nanti kamu bisa sesak, bukalah. Semua bisa dibicarakan baik-baik." Dinan mencoba membujuk Amira. Namun sepertinya Amira tak mempan dengan bujukan Dinan, terbukti dengan Amira yang masih setia menutupi wajahnya.

"Kamu buka atau aku memaksa membukanya?" tanya Dinan dengan nada tegas, hal itu tidak mempengaruhi Amira. Dinan menghela napasnya.

"Mas makan saja dulu, aku masih kenyang. Maaf tidak bisa menemani." Amira berkata dengan nada terpotong-potong.

"Kamu kenapa?" tanya Dinan dan melepas paksa bantal di wajah Amira.

"Aku gak papa." Amira memiringkan tubuhnya sehingga dia membelakangi Dinan.

"Jadi kalau ditanya sama suami begitu?" tanya Dinan dengan datar, Amira segera duduk dan mengusap wajahnya dengan serabutan.

"Maaf," kata Amira pelan kemudian dia menunduk. Dinan menghela napas, kalau boleh jujur mungkin Dinan akan mengeluh karena lelah mencoba menjadi lelaki peka. Karena bagi lelaki, peka terhadap perempuan itu adalah pekerjaan yang sangat berat dan sulit untuk dijalankan.

"Mas tanya sekali lagi, kamu kenapa?" tanya Dinan dengan pelan.

"Aku gak tahu." Amira menjawab dengan polos. Dia tidak tahu apa yang sedang dia rasakan, yang dia tahu adalah saat ini otak dan perasaannya sedang terasa penuh.

Dinan membelai pipi Amira, kemudian dia memasukkan beberapa helai rambut yang keluar ke dalam hijab yang dipakai Amira. Dinan kemudian menarik Amira ke dalam pelukannya.

"Kamu tahu, bunda khawatir melihat kamu yang hanya diam kemudian menangis. Beliau bilang kalau bunda ada salah bunda minta maaf." Amira menggeleng, dia tidak menyalahkan ibu Dinan namun dia juga tidak tahu mau menyalahkan siapa. Mungkin dia akan menyalakan dirinya sendiri yang tidak bisa menguasai emosi.

Amira merasakan tepukan halus di punggungnya, rasanya begitu nyaman berada di pelukan sang suami. Dia tidak tahu jika berada di pelukan Dinan mampu membuat dia merasa mengantuk.

"Banyak-banyak dzikir, supaya kegundahan hati memudar." Dinan mengurai pelukan kemudian dia menatap wajah Amira, dia tersenyum dan membawa tangannya untuk menangkup wajah Amira dengan perlahan dia menggerakkan ibu jarinya untuk menghapus sisa-sisa airmata.

"Ayo makan," ajak Dinan dengan nada lembut.

"Aku kenyang, boleh aku tidur duluan." Amira berkata dengan tersendat karena sisa isakan masih terasa.

"Terus kalau bunda bertanya, Mas harus jawab apa?" Amira mencebik, entah dia tak terima dengan ucapan Dinan.

"Baiklah, kamu boleh tidur duluan." Amira tersenyum kemudian segera berbaring. Dinan menatap lekat sang istri yang memejamkan matanya, kemudian dia teringat sesuatu yang mungkin akan menggoyahkan keinginan tidur sang istri.

"Sayang, kamu tidak penasaran dengan apa yang aku bicarakan dengan Fatih?" Dinan dengan iseng berbisik di dekat telinga Amira, membuat Amira segera membuka matanya sedang Dinan tersenyum penuh kemenangan.

-----

Terpopuler

Comments

Esya Muharmi

Esya Muharmi

kasihan amira , terlalu banyak yang di pikirkan

2020-11-10

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!