"Musa berkata kepada kaumnya: 'Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; dipusakakanNya kepada siapa yang dikehendakiNya dari hamba-hambaNya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa'".
[Al ‘A’raf:128]
---
"Jadi suamimu ini sudah tua?" tanya Dinan saat keduanya duduk sebelum tidur. Menurut banyak pendapat, berbincang antara suami dan istri di atas tempat tidur sebelum keduanya istirahat dengan tidur di malam hari adalah salah satu sunah.
"Maksudnya?" Amira merapikan selimut yang menutupi tubuhnya.
"Tadi siang kamu bilang ke mahasiswi kalau aku sudah lebih tua sejak dua tahun yang lalu." Amira menghentikan gerakan tangannya kemudian menoleh ke arah Dinan dengan wajah heran juga geli.
"Pak Dinan mendengar itu?" tanya Amira menggoda.
"Pak Dinan?" tanya Dinan kesal, dia membuang muka membuat Amira tergelak.
"Ya Allah, mas pacar lucu sekali. Sini-sini Miray peluk." Amira langsung menarik tangan Dinan dan melingkarkan pada tubuhnya.
"Pak, sadar dong setiap menit umur manusia itu semakin bertambah. Jadi wajar dong kalau Bu Mira yang lebih muda ini mengatakan hal itu." Dinan melirik sinis istrinya yang sedang bersandar pada tubuhnya.
"Baiklah, asal istriku bahagia." Dinan menjawab dengan malas, bukan kesal Amira justru tertawa. Kemudian secara spontan tawa itu menghilang membuat Dinan yang sudah mengangkat dua sudut bibirnya menatap Amira heran.
"Ada apa?" Dinan membawa wajah Amira yang nampak kosong ke arahnya.
"Ada apa?" tanya Dinan lagi, kemudian dia melihat sudut bibir Amira terangkat meski enggan.
"Apa makna poligami menurut Mas?" Dinan mendesah. Dia sepertinya akan memusuhi poligami jika itu membuat Amira lebih tenang dan bahagia. Tapi hal itu tidak mungkin karena mau bagaimanapun poligami adalah sebuah syariat yang dibenarkan.
"Ada apa lagi dengan poligami. Bukankah kita sudah pernah membahasnya." Amira menatap Dinan kemudian dia mencebik.
"Tetap saja poligami seperti bayang-bayang yang mengikuti pak Dinan." Amira mengatakan dengan pelan kemudian dia menyembunyikan wajahnya di dada Dinan. Dinan segera memeluk sang istri berharap hal itu mampu memberi ketenangan kepada istrinya.
"Kamu tahu, hal yang paling aku takuti adalah poligami." Amira mengurai pelukannya, dia mendongak menatap Dinan namun yang dia lihat hanya lehernya.
"Kenapa Mas takut dengan poligami?" Dinan menunduk kemudian dia menatap mata indah Amira.
"Karena sebagai lelaki, jujur aku sangat takut merusak citra poligami." Amira semakin tidak mengerti ucapan Dinan.
"Mengapa?"
"Poligami itu adalah sunah dari Nabiku. Karena Nabi mampu berbuat adil kepada istrinya, belum tentu kami para lelaki mampu melakukan hal itu. Apa lagi di zaman modern ini, sangat sulit mendapatkan wanita yang benar-benar rela dengan tulus dipoligami di awal hingga akhir. Jadi Mas takut saat berpoligami, Mas tidak bisa adil dan membuat citra poligami itu sendiri tercemar. Padahal poligami itu adalah syariat." Amira menelan ludahnya, entah mengapa dia merasa ada yang mengganjal di tenggorokan.
"Kamu tahu, Nabi dulu selalu mengundi istrinya saat hendak berpergian. Dan selalu menggilir istrinya setiap malam dengan adil. Dan diantara istri dengan ridho menerimanya. Sedangkan kebanyakan sekarang melakukan senioritas, antara istri muda dan istri tua dianggap ada kedudukan tersendiri padahal pada kenyataannya itu tidak ada, semua istri memiliki kedudukan yang sama." Amira mengangguk setuju, dia juga berpikir demikian. Banyak sekali oknum yang membuat poligami itu tercemar karena senioritas atau adanya ketidakadilan yang dibutuhkan dalam rumah tangga.
"Tapi bukan berarti pelaku poligami semua seperti itu." Dinan berkata didekat telinga Amira.
"Dan saat ini yang aku fokuskan bukan tentang menambah istri. Akan tetapi aku ingin menambah tanggung jawab dengan memiliki beberapa anak yang kamu didik dengan baik, Miray." Amira merasakan pipinya panas, dan tanpa disangka dan diduga tiba-tiba Dinan sudah mengecup puncak kepalanya dan mendorong tubuh Amira hingga terlentang dan keduanya melakukan hal yang harus dia lakukan walaupun tertunda beberapa hari.
---
Amira tersadar dari tidurnya saat dia merasa hawa dingin menangkup tubuhnya, serasa sepoi angin menghampirinya dan mendingan tubuhnya hingga ketulang-tulang. Amira mulai membuka matanya dan menyesuaikan cahaya yang ada dengan kornea matanya.
"Kamu sudah bangun?" tanya Dinan masih setia membelai lembut pipi sang istri.
"Kenapa?" tanya Dinan, membuat Amira tersenyum malu. Amira ingat yang terjadi semalam, sesuatu yang tak pernah dia bayangkan.
"Bangunlah, ini sepertiga malam pertama yang kamu lalui dengan sholat saat menjadi istri seorang Ardinan." Dinan membantu Amira bangun dari tidurnya. Dinan membiarkan Amira duduk untuk mengumpulkan segala fungsi tubuhnya.
"Rambutmu masih basah," kata Dinan dengan senyum di bibirnya membuat Amira tambah malu. Dinan tahu benar jika saat ini sang istri ingin sekali menghindari dirinya karena kejadian semalam. Tapi, rasanya Dinan tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk menikmati wajah sang istri saat bangun dari tidurnya.
Dinan ingat sebuah hadits yang pernah dia pelajari, dulu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menghimbau umatnya untuk mengerjakan shalat malam dan menganjurkan agar suami istri hendaknya saling membantu dalam mengerjakannya. Sampai-sampai sang istri boleh menggunakan cara terbaik untuk itu, yaitu dengan memercikkan air ke wajah suaminya! demikian pula sebaliknya.
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah bahwa beliau bersabda:
رَحِمَ اللهُ رَجُلاً قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّتْ فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا المَاءَ, رَحِمَ اللهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَصَلَّى فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِي وَجْهِهِ المَاءَ
'Semoga Allah Subhanaahu wa Ta’ala merahmati seorang suami yang bangun pada malam hari untuk mengerjakan shalat malam lalu membangunkan istrinya untuk shalat bersama. Bila si istri enggan, ia memercikkan air ke wajah istrinya (supaya bangun). “Semoga Allah Subhanaahu wa Ta’ala merahmati seorang istri yang bangun pada malam hari untuk mengerjakan shalat malam lalu membangunkan suaminya untuk shalat bersama. Bila si suami enggan, ia memercikkan air ke wajah suaminya (supaya bangun)." [HR Ahmad].
"Mas," panggil Amira dengan nada merajuk.
"Apa?" tanya Dinan yang sudah berdiri dari duduknya.
"Gak jadi," kata Amira sambil turun dari tempat tidur, Amira mengambil handuk di gantungan dan membawanya menuju kamar mandi.
Dinan menatap punggung sang istri yang ditelan oleh pintu kemudian dia menggelar sajadah untuk memulai meninggalkan perkara dunia menuju perkara akhirat. Dia akan memohon keridhoan segala hal yang dia lakukan di dunia kepada sang Pencipta malam dan siang. Dengan meninggalkan statusnya yang seorang dosen dan sebagai anak. Dia akan menghadap sebagai seorang hamba yang tetap butuh kepada sang Pemilik Kehidupan-nya.
---
Dinan dan Amira keluar dari kamar bersama-sama menuju bawah, tadi setelah sarapan dan mengantar bunda Dinan ke depan Amira kembali ke kamar untuk persiapan berangkat ke sekolah. Hari ini ada upacara dan rapat dinas yang membuat Amira harus berangkat pagi.
"Bunda sudah pergi?" Amira mengangguk. Dinan tahu jika hari ini sang bunda akan pergi ke rumah Maura untuk menjenguk wanita itu. Memang sejak menikah, Amira sadar bahwa keluarga Dinan perhatian dengan Maura karena dia sering mendapati sang bunda atau adik Dinan izin untuk ke rumah Maura.
Amira masih diam dan tak ingin membuka suara, entah mengapa ucapan Ifa begitu terniang di telinga. Ada aura dingin dan panas sedang mengarungi tubuhnya. Dia ingin menghempaskan segala rasa yang mengundah-gulana di dalam dadanya.
"Ada apa?" Amira menoleh ke arah Dinan yang sedang merapikan tali sepatunya.
"Tidak ada." Amira segera berdiri kemudian melangkah ke ruang depan. Dia tidak ingin suaminya bertambah pikiran dengan segala rasa yang dia pendam. Mungkin terkadang harus ada yang dia rahasiakan, apa lagi tentang perasaan yang tak mau berjuang untuk dia lenyapkan.
"Ada yang mengganjal?" Dinan meraih tangan Amira. Amira menoleh kemudian tersenyum.
"Tidak ada, hanya sedang malas beraktivitas pagi." Amira berjalan menuju mobil yang sudah dipanasi di depan rumah.
Rumah keluarga Dinan, adalah rumah yang ada di kawasan elit. Terbukti dengan halaman yang cukup luas dan bangunan rumah yang cukup tinggi dan besar. Berbeda dengan rumah lama Dinan apa lagi rumah yang digunakan keluarganya tinggal. Amira menunduk, kalau boleh jujur dia ingin memiliki rumah sendiri merasakan membersihkan rumah dan mengerjakan semua pekerjaan sendiri. Seperti dulu, saat dia tinggal bersama sang ibu.
"Mobil merah itu lagi?" kata Amira tak yakin saat melihat mobil merah yang sering dia lihat terparkir di dekat gerbang belakang. Amira memang sengaja meminta Dinan mengantar melalui gerbang belakang, bukan karena dia tak ingin menyembunyikan statusnya dengan Dinan, bukan. Hal ini dia lakuakan karena hari ini dia membawa setumpuk buku ukuran folio, jadi dia ingin menaruh lebih dulu di ruang ketrampilan sebelum dia ke depan untuk upacara.
"Benar itu mobil yang sama." Dinan menghentikan mobilnya di belakang mobil merah itu terparkir.
"Mas akan melihatnya," kata Dinan membuka pintu. Setelah mesin mobil dia matikan dan membuka kaca jendela supaya udara di dalam tak terasa pengap.
"Tapi Mas...." Dinan tersenyum kemudian melangkah, dia tidak membiarkan Amira melarang dirinya untuk mengetahui sosok yang ada di dalam mobil itu. Dulu, Dinan mungkin bukan siapa-siapa Amira sehingga dia tidak memiliki hak apapun untuk mencegah rasa tak nyaman Amira. Namun kini, Amira adalah istrinya dia memiliki tanggung jawab besar terhadap kehidupan wanita itu. Jadi, dia harus mengetahui siapa yang ada di balik kemudi mobil itu dan mengetahui motif dibalik kelakuannya selama ini.
Amira menatap khawatir ke setiap langkah Dinan, dia menautkan kedua tangannya dengan kuat dan sesekali dia memutar dan membuat gerakan tak pasti pada tangannya. Dia terlalu takut dengan hal yang terjadi, dia takut dengan segala kejadian yang tak bisa dia bayangkan. Amira terlalu parno dengan telah hal yang pernah dia lihat di televisi, hingga membuat jantungnya berdetak dengan cepat.
Amira menunduk berdoa di dalam hati supaya tak terjadi segala hal yang pernah terlintas dalam otaknya. Saat melihat bayang-bayang di depan dia mendongak, dia mengamati dua orang yang sedang berbicara dengan santai seolah bukan masalah besar yang sedang menerpa. Dan dengan mata kepala Amira sendiri, dia melihat lelaki yang sangat dia kenal sedang berbicara serius dengan sang suami.
"Tidak mungkin." Amira menutup mulutnya dengan kedua bibirnya. Selama ini dia memang menduga bahwa lelaki itu yang melakukan semua ini, namun dia selalu mengelak karena dia yakin lelaki itu tidak akan melakukan hal yang tak ada gunanya itu. Namun dia kini tengah terpesona bukan karena takjub, lebih karena dia merasa terkejut dengan hal yang telah terjadi.
"Fatih," kata Amira sebelum dia keluar dari dalam mobilnya dan mengetahui secara langsung motif yang akan menjadi alibi Fatih untuk membela dirinya.
---
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Sitaita
kok gk up thor
2020-03-18
1
Dewi Terserah
.
2020-03-16
0