Masih Sama

"Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hambaNya."

[Az-Zumar: 36]

---

Amira merapikan tempat tidurnya, kemudian dia menuju jendela untuk membuka tirai dan melihat dengan jelas pemandangan di bawah, karena kamarnya ada di lantai atas. Amira bisa melihat di bawah Ifa-adik perempuan Dinan- sedang bermain dan bercanda gurau dengan sang putri. Dia menunduk mengamati dalam diam. Dia masih ingat gestur tubuh Ifa saat dia datang ke rumah ini untuk pertama kali.

Amira melihat wajah Ifa yang tidak ceria dan cenderung sinis terhadapnya, dia tidak buta bahwa adik suaminya itu tidak menyukainya. Bahkan sudah hampir tiga hari dia berada di sini namun hal itu tidak pernah mendekatkan keduanya. Amira menjadi semakin bersalah, apalagi dia melihat kerenggangan itu terjadi juga pada Dinan.

"Sedang melihat apa?" Amira menoleh cepat ke arah Dinan yang sedang mengancingkan lengan kemejanya lalu ia mendekat dan membantu Dinan.

"Melihat Ifa sedang mengajari jalan." Dinan menatap Amira mengerutkan keningnya kemudian mengangguk. Dia tidak tahu apa yang ada dalam pikiran lelaki yang sudah menjadi suaminya yang pasti ada sesuatu yang nampak disembunyikan oleh Dinan dalam diam.

"Hari ini kamu mau ikut Mas ke kampus?" Amira menatap Dinan kemudian dia menggelengkan kepalanya namun tak lama dia kembali menggerakkan kepalanya ke atas dan ke bawah.

"Kata orang jawaban pertama adalah jawaban kejujuran karena hal itu spontanitas, tapi mengingat Miraynya Mas pacar ini pemikir jadi jawaban kedua bisa jadi adalah jawaban final dengan banyak pertimbangan." Dinan melangkah menuju lemari dan mengambil dasi. Amira mengambil alih kemudian dia memasangkan di leher sang suami.

"Apa yang Miray lakukan di sana?" Amira mengambil jas dan tas Dinan.

"Ada acara expo mahasiswa, ada juga acara semacam bazar anak ekonomi. Jadi tak perlu khawatir tidak memiliki kegiatan." Dinan memeluk sang istri dari belakang.

"Mas gak tega meninggalkan kamu sendiri di medan perang." Amira menengok melihat ekspresi wajah sang suami.

"Maksudnya?"

"Mas tahu istri mas ini sedang tidak enak hati dengan Ifa. Mas tahu perlakuan Ifa yang memang sedikit menyinggung perasaan, tapi Mas harap kamu maklum ya." Amira mengangguk kemudian melepas pelukan Dinan.

"Saya tahu dan sangat tahu, bahwa kakak ipar idaman Ifa bukan saya." Amira langsung berjalan keluar meninggalkan Dinan yang menghela napas panjang.

Amira menuruni tangga dengan pelan, dia tidak mau tergelincir karena saat ini dia mengenakan kaos kaki yang artinya lantai terasa licin baginya. Dia melangkah menuju meja makan, di sana sudah ada dua botol minum yang sudah dia siapkan. Satu botol dia bawa dan satu botol dia taruh di dalam tas Dinan. Amira kembali melangkah ke depan dia tidak menjumpai penghuni rumah karena dia tahu penghuni rumah sedang bermain di halaman samping.

"Mi," panggil Dinan bertepatan saat Amira hendak mengambil sepatu Dinan di rak.

"Iya," jawab Amira pelan.

"Ikut ya," kata Dinan mengambil alih sepatunya kemudian dia mengambil juga sepatu Amira.

"Gak enak sama bunda. Masak aku keluyuran, belum lagi besok acara aqiqah Zainab." Dinan menatap dengan diam ke arah mata Amira, dia tidak ingin dibantah saat ini jadi dia tak mengeluarkan suara hanya menatap sang istri saja.

"Mas, jangan gitu dong kalau ngeliatin." Dinan tidak perduli dengan ucapan Amira.

"Iya, Miray ambil tas dulu." Amira mengatakan hal itu dengan nada tak rela namun saat melihat senyum terukir di bibir Dinan Amira menyesali keputusannya yang sempat menolak Dinan beberapa waktu lalu.

Dia tahu, suaminya ingin menjaga perasaan yang dia miliki namun Amira juga sadar bahwa dia tidak bisa terus menerus menghindari masalahnya.

"Mas tunggu di depan." Amira mengangguk kemudahan melangkah ke dalam untuk mengambil tas. Amira mengenakan hijab yang selaras dengan bajunya kemudian dia memasukkan ponselnya ke dalam tas tak lupa dia membawa cadangan kaos kaki. Amira keluar dari kamar bertepatan saat Ifa naik ke atas. Amira tidak tahu yang dilakukan Ifa namun yang pasti kamar Ifa ada di bawah dan kawasan atas sangat jarang dijajah oleh orang karena hanya ada gudang, kamar Dinan dan perpustakaan.

"Mbak," panggil Ifa saat Amira menarik resleting tasnya.

"Iya," jawab Amira mendongak.

"Maaf kalau aku ada salah." Amira menatap dengan bingung kemudian dia mengangguk.

"Aku juga kalau ada salah minta maaf." Amira berkata dengan pelan.

"Sebenarnya aku ingin mas Dinan menikah dengan mbak Maura." Amira tidak bisa berkata apapun dia bungkam mengunci kedua bibirnya rapat-rapat, dia tidak mampu mencerna semuanya. Dia pikir selama tiga hari ini Ifa tak suka dengannya karena tidak mau berbagi Dinan dengannya namun ternyata ada alasan yang jauh lebih menakutkan untuk diketahui oleh Amira.

"Mbak mau berbagi?" Amira menoleh cepat ke arah Ifa. Apa yang ada di otak wanita itu?

"Maura dalam keadaan hamil, dia butuh lelaki untuk menyokong dan mendukung. Jadi tidak ada salahnya bukan kalau mbak mencoba berbagi dengan Maura." Amira mengeratkan pegangannya di tas dia tidak mau menjawab apapun saat ini. Dia hanya mampu diam dan merenungi semuanya sebelum mengucapkan kalimat yang mungkin akan membawa banyak pengaruh suatu saat nanti.

Pernikahan yang dia bangun baru berjalan lima hari namun dengan sadar wanita di depannya ini meminta dirinya untuk berbagi suami hal yang sangat tidak ingin dilakukan oleh Amira. Sungguh, kalau boleh bertanya wanita mana yang rela berada di posisi Amira saat ini. Saat penikahannya saja belum disempurnakan dengan penyatuan dan dia sudah mendapatkan tawaran berbagi suami, apakah semua ini wajar?

"Aku rela berbagi mas Dinan dengan mbak Mira. Jadi bukan hal sulit bukan mbak Mira berbagi dengan Maura. Status mbak tetap istri pertama dalam rumah tangga mbak. Mbak tetap berkuasa penuh karena mbak yang pertama." Amira ingin sekali berteriak di depan wanita satu anak itu. Dia tidak mengerti pola pikir yang ada di dalam kepala cantiknya. Ya Allah, kalau boleh berteriak mungkin Amira akan melakukannya saat ini, ingin mengeluarkan semua pendapatnya dan mematahkan segala argumen adik iparnya.

"Mbak juga perempuan, walaupun Mbak belum pernah memiliki anak namun Mbak jelas tahu rasanya hamil tanpa suami. Aku pikir Mbak adalah wanita yang berpikir terbuka jadi aku yakin Mbak mengerti perasaan Maura. Dan yang lebih lagi, mas Dinan adalah mantan Maura jadi chaimistry diantara keduanya pasti akan lebih mudah terangkai dari pada diantara Mbak dan mas Dinan yang membutuhkan waktu hampir tiga tahun." Amira diam, Amira tak ingin mengucapkan apapun sudah cukup semuanya baginya. Amira tak ingin salah bicara dan membuat sesuatu yang sederhana menjadi rumit, karena emosi akan membutakan pola pikir manusia.

"Kamu juga perempuan kan Ifa? Jadi tolong pikirkan juga dari sudut pandang mbak, jangan hanya dari sudut pandang diri kamu sendiri dan Maura. Aku duluan, sudah ditunggu mas Dinan di depan." Amira melepas tali tasnya kemudian dia mengalungkan di leher dan menaruh dibawah ketiaknya, sebelum melangkah dia menepuk bahu sang adik ipar dan memberi senyum kecil meski terkesan masam. Namun paling tidak bagi Amira dia sudah mencoba yang terbaik.

---

Amira melangkah dari stan satu menuju stan yang lainnya, dia ada di bazar yang digelar oleh fakultas ekonomi. Dia tidak mengerti secara mendetail acara apa sehingga ada bazar yang dia tahu saat ini dia seorang diri. Amira melangkah menuju pergelaran makanan ringan, dia melihat ada kue kesukaannya dia melangkah dan mengambil duduk di samping dua orang yang nampaknya adalah penunggu stan.

"Ada yang dibantu, Bu?"

"Boleh saya istirahat sebentar." Dua mahasiswi itu mengangguk. Tak lama Amira sibuk dengan ponselnya dan mengabaikan banyak orang yang mengerumuni stan.

"Aku ingin bimbingan sama pak Dinan. Tapi sayang kuotanya udah penuh."

"Memangnya pak Dinan membuka berapa kursi."

"Hanya tujuh."

"Sedikit sekali, padahal biasanya paling sedikit dosen membuka tiga belas."

"Menurut gosip, pak Dinan anti sama mahasiswi. Jadi dibuka khusus mahasiswa."

"Emang pak Dinan masih single? Tampan gitu."

"Single."

"Wah kalaupun tidak single. Dimadu pun rasanya aku mau." Amira mendongak cepat hingga dua mahasiswi itu menoleh ke arah Amira sambil meringis.

"Yakin Mbak mau dimadu?" tanya Amira sambil tersenyum tipis.

"Yah kalau suamiable kata dosen sastra Indonesia saya mau Bu," jawab mahasiswi berhijab merah. Amira mengangguk kemudian tersenyum tipis.

Dalam hati Amira merujuk bibir dua gadis itu, saat belum terjadi saja masih bisa berpikir seperti itu tapi jika sudah menikah apa yakin hal itu akan dijadikan prinsipnya.

"Tapi sayang, pak Dinan sepertinya bukan tipe orang yang mau poligami." Bukan hanya dua gadis yang menoleh tapi hampir semua pengunjung.

"Ibu kenal Pak Dinan?" Jelas, lelaki yang kalian bicarakan adalah suami saya.

"Iya, saya dulu sempat mengajar di tempat yang sama dengan pak Dinan. Ardinan Nawwaf bukan?" Amira mengamati semua gadis yang mengangguk. Amira tersenyum dalam hati dia berujar bahwa tidak hanya siswi yang ada di SMA yang mengagumi Dinan namun banyak mahasiswi dari berbagai fakultas yang sangat mengidolakan suaminya.

"Iya sih dengar-dengar dulu pak Dinan mengajar di sana." Amira mengetik pesan kemudian dia menoleh ke nomor stan yang di pasang di bagian dalam.

"Pak Dinan dulu seperti apa Bu?"

"Pak Dinan? Ya seperti saat ini hanya saja sekarang tampak lebih tua dibandingkan dua tahun yang lalu." Amira menjawab dengan pelan. Kemudian dia mengambil beberapa bungkus kue basah.

"Bukan itu, maksudnya sifatnya. Apa seperti sekarang yang dingin terhadap perempuan?" Amira menoleh ke arah gadis berhijab merah yang nampak antusias.

"Bahkan menurut gosip pak Dinan menolak berjabat tangan atau berbincang pribadi dengan perempuan. Tapi kalau sama mahasiswa open banget." Mahasiswi berhijab hitam menimpali. Amira seolah masuk ke dimensi masa lalu untuk hari ini, di mana dia kembali menjadi kawan bergosip seputar seorang Ardinan Nawwaf.

"Kata adikku yang udah lulus, pak Dinan sempat dekat dengan salah satu guru sebelum pindah jadi dosen. Tapi itu semua hanya kabar burung karena pada kenyataannya pak Dinan tetap single."

"Yakin pak Dinan single?" tanya Amira sambil membuka resleting tasnya. Dia akan membayar kue yang dia beli.

"Yakinlah, ini dari sumber yang dapat dipercaya."

"Dari siapa?" tanya perempuan berhijab merah.

"Dari mbak Dania yang dulu sempat deket dengan pak Dinan. Staf bagian kearsipan." Amira menoleh kemudian dia mengangguk.

"Sudah, jangan bergosip." Amira mengatakan dengan nada pelan. Dia tidak ingin menyinggung perasaan orang lain.

"Ini bukan gosip Bu. Ini adalah mengutarakan fakta yang tersembunyi."

"Sama saja, kalau benar jatuhnya ke ghibah dan kalau salah jatuhnya ke fitnah." Semua menoleh ke arah Amira.

"Mengapa?"

"Ibu cocok jadi ustadzah. Kalau ngomong kalem enak didengar." Amira tersenyum menanggapi ucapan para mahasiswi yang saat ini sedang asik bercanda itu.

"Ada pak Dinan." Amira menoleh ke arah mahasiswi penjaga stan.

"Sudah selesai?" Belum sempat Amira menengok dia sudah mendengar suara Dinan di belakangnya. Amira tersenyum kemudian dia menoleh ke belakang.

"Sebentar saya masih mau bayar." Amira menunjukkan dompetnya.

"Mas tunggu di depan." Amira tersenyum kemudian mengangguk. Amira kembali menghadap ke arah mahasiswi penjaga stan yang nampak bingung.

"Ini dekat dengan pak Dinan?" Amira tersenyum kemudian mengangguk.

"Kembaliannya bisa diambil. Buat beli minum di sini udaranya cukup pengap." Amira berkata dengan pelan. Dua penjaga itu mengucapkan terima kasih.

Amira menoleh ke arah mahasiswi buang berhijab merah, dia menepuk bahu mahasiswi itu kemudian sedikit mendekat dan berbisik.

"Mungkin kamu harus mencari lelaki lain. Karena saya tidak suka dimadu." Amira menepuk bahunya kemudian permisi tak lupa dia melempar senyum dan salam kepada mahasiswi yang dan di sana. Amira ingin tertawa saat ini, rasa kesal terhadap ucapan Ifa hilang seketika. Yang saat ini harus dilakukan adalah menjaga suaminya untuk dirinya.

Amira melangkah mendekati Dinan yang sedang asik berbicara dengan beberapa rekannya, begitu penilaian Amira dari pakaian yang dikenakan tiga orang yang berdiri bersama Dinan. Dan saat langkah kakinya semakin dekat dia terkejut jika salah satu dari orang yang ingin dihindari Amira kini tengah menatapnya sambil tersenyum.

"Kamu di sini Mira?" tanya Farhat membuat semua mata tertuju padanya. Amira menjadi salah tingkah dan menghentikan langkahnya.

Farhat melangkah mendekati Amira, namun Amira justru mundur membuat Farhat berhenti di langkah ketiga.

"Ada apa?" tanya Farhat menatap Amira yang menundukkan kepalanya. Amira hanya diam saja hingga dia merasakan tangan hangat mengambil belanjaannya.

"Kamu sudah selesai?" Amira mendongak menatap Dinan yang sudah ada di depannya.

"Ayo aku kenalkan rekanku." Dinan menarik tangan Amira dan berjalan melewati Farhat yang hanya mampu diam saja.

Amira menunduk saat berada di depan dua orang lelaki yang umurnya berkisar empat puluhan.

"Kamu mengenal istri pak Dinan, pak Farhat?" Suara kebapakan itu membuat Farhat menoleh cepat kemudian mendekat.

"Iya, kami dulu satu kampus."

"Wah dunia benar-benar sempit kalau kita bertemu teman lama yang memiliki benang merah di masa depan." Amira mengeratkan tanganya, entah mengapa saat masa lalu diungkit masih ada seberkas luka yang menghampiri perasaannya.

"Miray, kenalkan ini pak Danil sang rektor yang bijaksana dalam mengambil keputusan."

"Anda terlalu berlebihan pak Dinan." Dinan tersenyum kemudian menunjuk ke arah satu lelaki mengenakan kemeja dan dasi senada, hitam.

"Ini pak Santoso, guru besar yang sangat terkenal kecerdasannya." Amira mengangguk kemudian menangkup kedua tangannya.

"Saya Amira, istri pak Dinan." Farhat menatap Amira dan Dinan bergantian. Dia masih belum percaya dengan ucapan Amira.

"Kamu sudah menikah?" tanya Farhat cukup pelan.

"Oh ya, tidak perlu saya kenalkan bukan dengan dosen muda yang sangat terkenal dikalangan mahasiswa ini. Kalian sudah saling kenal bukan?" Amira mendongak menatap Dinan kemudian mengangguk. Ada kata yang tak mampu Amira ucapkan saat ini, dia hanya berharap Dinan menyadari dari tatapan matanya, bahwa dia merasa tak nyaman saat ini.

---

Terpopuler

Comments

Andriyah Nurhidayati

Andriyah Nurhidayati

Ifa resek coba kowe sing dipiligami rasane piye, cah ra jelas

2020-11-02

0

Yani

Yani

Ifa kaya bukan sesama perempuan aja coba dia suaminya mau ga dasar nyebelin ttp semangat thor

2020-07-31

0

Ana Putriee Terate

Ana Putriee Terate

gila ya suami kok mnta di bagi hufff sni tak jitak lo..

2020-03-14

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!