Backstreet

“Dan perintahkan lah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa”.

[Thaha:132]

---

Setelah mengantar Fatimah ke sekolah, Dinan mengantar Amira ke rumah sakit tempat Dinda melahirkan. Dia sudah memarkirkan mobilnya beberapa menit yang lalu namun keduanya belum ada yang bergerak atau membuka suara. Entah apa yang terjadi dengan dua pengantin baru itu. Yang jelas, aura canggung tengah menyelimuti keduanya.

"Pak Dinan mau ikut turun?" Amira menoleh ke arah Dinan.

"Tidak, saya ada jam mengajar pagi ini." Amira menoleh ke arah Dinan dengan cepat, dia mengingat satu hal yang amat penting. Yaitu, pekerjaan suaminya yang saat ini tidak dia ketahui.

"Pak Dinan mengajar?" Dinan menoleh ke arah Amira, dia melepas sabuk pengaman kemudian menoleh ke arah Amira.

"Iya, saat ini saya adalah seorang dosen sastra Indonesia di universitas Kota." Amira menekuk bibirnya kesal, dia merasa jauh dengan Dinan walau kenyataan yang ada Dinan ada di dekatnya.

"Apa lagi rahasia pak Dinan?"

"Rahasia?" Amira mengangguk tanda setuju, Amira merasa kesal dengan ketidaktahuan tentang Dinan.

"Iya, apa yang tidak saya ketahui."

"Tidak ada," jawab Dinan singkat, padat dan tegas. Seolah argumen yang baru dia ucapkan tidak ada yang bisa mengganggu gugat.

"Yakin. Kalaupun kamu ingin tahu apapun tentang saya, kamu tinggal tanya langsung pada saya." Dinan meraih tangan Amira untuk digenggam.

"Tapi saya tidak suka." Dinan mengamati wajah Amira dia tersenyum kecil.

"Miray, dengarkan saya. Saya adalah suami kamu, apa yang ada pada diri saya kamu berhak tahu semuanya dan untuk mengetahui semuanya kamu cukup percaya dengan saya dan bertanya langsung kepada saya. Kamu mengerti?"

"Miray?" Dinan mengangguk.

"Itu panggilan spesial saya untuk kamu." Amira menggumankan nama panggilannya dengan pelan kemudian dia tersenyum.

"Jangan berlebihan Pak. Nanti saya bisa jatuh cinta." Amira mengatakannya dengan nada malu kemudian membuang muka ke arah jendela karena dia ingin menyembunyikan wajahnya.

"Itu tujuan saya. Saya ingin kamu jatuh ke dalam pesona saya dan tak bisa ada yang menolong kami untuk berdiri meninggalkan saya."

"Pak," panggil Amira merajuk kemudian dengan santai dia melempar tubuhnya walau sudah karena ada penghalang sabuk yang masih terpasang.

"Saya sudah jatuh cinta ke Bapak. Jangan dibuat lebih jatuh cinta lagi." Dinan menekan tombol hingga membuat sabuk yang melingkar di tubuh Amira lepas.

"Selamat datang, halal!" Dinan memeluk Amira dengan erat.

"Saya sudah halal ya?" tanya Amira polos, Dinan menatap Amira kemudian dia menelisik wajah Amira meyakinkan ada sesuatu yang aneh atau tidak.

"Memangnya yang saya sebut namanya kemarin siapa dalam ijab-kabul?" Amira menatap Dinan kemudian menarik dua sudut bibirnya.

"Pak Dinan kalau lagi bingung kok kelihatan ganteng ya?" Dinan menatap Amira sambil tertawa, dia tidak menduga jika istrinya begitu menggemaskan.

"Memangnya kalau biasa saya tidak ganteng?" Amira seolah masih terhipnotis oleh pesona Dinan dia masih saja menjawab tanpa sungkan.

"Ganteng sih, apa lagi kalau sedang serius dan memasang wajah datar. Pak Dinan nampak macho." Dinan mengangguk.

"Terus saat apa dong saya terlihat jelek?" Dinan bertanya dengan nada menggoda namun seolah tak menyadarinya Amira menjawab dengan polos.

"Belum pernah melihatnya, mungkin tidak ada." Amira menatap mata coklat cerah Dinan yang berwarna keemasan.

"Pak Dinan blesteran?" Dinan menggelangkan kepalanya.

"Tapi mata pak Dinan bukan hitam." Dinan tersenyum kemudian. Dia memegang tangan Amira dengan sedikit meremas.

"Boleh saya bawa pulang kamu, kamu terlalu sayang untuk dibiarkan berkeliaran di luar." Amira menatap Dinan sambil melotot.

"Pak Dinan baru merayu saya?" Dinan terkekeh.

"Apa seperti itu namanya merayu?" Amira mengangguk.

"Iya."

"Wah, padahal saya jujur. Berarti kejujuran seorang lelaki bisa dibilang rayuan." Amira menatap Dinan kemudian menggelengkan kepalanya.

"Rasanya setelah mengikat kamu menjadi milik saya, rasanya saya tak ingin meninggalkan kamu barang sedetik saja." Amira menatap Dinan kemudian menunduk. Karena dia melihat wajah Dinan yang serius membuat bulu kuduknya meremangkan dan merasakan remasan ringan di bagian perut dan ada rasa membuncah di dalam dada.

"Bagaimana kalau kita hari ini bolos?" Amira mengerutkan keningnya.

"Bolos?" Amira melihat sang suami mengaguk.

"Percuma bolos, toh hari ini harus ke rumah sakit." Dinan mengangguk setuju.

"Benar juga." Dinan segera menoleh ke arah pintu, dia bisa melihat wajah kesal Arif yang sedang mengetuk kaca pintu mobil.

"Maaf mengganggu aktivitas kalian. Tapi saya sudah tidak tahan menunggu sejak tadi." Dinan meringis sedang Amira bisa dilihat wajahnya memerah malu, dia berasa seperti remaja yang kegap orang tuanya.

"Maaf Bang." Dinan bersuara.

"Memangnya ada apa?" Dinan bertanya.

"Mau minta kunci. Ibu lupa bawa kunci makanya semalam gak jadi pulang takut ganggu kalian." Dinan mengangguk. Kemudian dia menoleh ke Amira yang hanya menunduk.

"Kamu kenapa Mi?" tanya Arif.

"Gak papa Bang." Amira masih menunduk dia malu menampakkan wajahnya.

"Kamu tidak merusak lipstik Amira kan, Din?" tanya Arif dengan nada menggoda.

"Merusak lipstik bagaimana?" tanya Dinan tidak mengerti.

"Ya, bibir kami tidak merusak lipstik yang ada di bibir Amira." Dinan melotot kemudian dia segera memasang wajah datar. Dia menoleh ke arah Amir.

"Memangnya Amira menggunakan lipstik?" tanya Dinan. Dan kakak beradik itu dengan kompak menggelengkan kepalanya.

"Terus apa yang dirusak?" Dinan bertanya dengan nada gamang. Kemudian dia melihat Arif tertawa. Seperti Arif cukup bahagia menggoda dua orang yang memasang wajah bingung di dalam mobil itu. Arif segera mengambil kunci rumah yang ada di tangan Amira kemudian dia berpamitan untuk pulang.

---

Amira berdiri di dekat gerbang samping, sudah dua hari ini dia main kucing-kucingan dengan Doni. Setiap kali berpapasan atau ada urusan yang berkaitan Amira selalu menghindari semampunya. Dia tidak ingin Doni menanyakan sesuatu yang jelas tidak bisa dia jawab jadi jalan satu-satunya adalah menghindari koneksi dengannya. Dan dia berusaha bersyukur karena waktu kerja keduanya tidak pernah satu waktu.

Amira melihat ke arah pergelangan bisa tangannya dia berdecak setelah sadar bahwa dia sudah menunggu lebih dari sepuluh menit padahal Dinan berjanji akan menjemputnya tepat waktu karena hari ini Zainab putri Arif akan dibawa pulang. Amira menoleh ke arah gerbang yang nampak hanya jalan panjang dan pandangan seperti biasanya. Mobil merah.

Amira sempat lupa pada satu hal itu, dia lupa jika selama ini dia diikuti oleh orang yang menggunakan mobil merah itu. Dian ingin sekali mendatangi namun jelas dia tidak memiliki keberanian. Amira masih memiliki sisi wanita kalaupun terkadang dia juga melakukan aksi nekad. Tapi untuk yang satu ini terasa menakutkan bagi Amira.

Amira melihat ke arah jam kemudian dia merogoh kantong blazer yang dia kenakan dan melihat apa ada pesan yang dikirim oleh suaminya. Dan hasilnya nothing, tidak ada pesan masuk dari suaminya yang ada hanya pesan dari operator.

"Nunggu siapa Bu?" Pak Rahmad mendekati Amira.

"Jemputan Pak."

"Kok tumben dijemput?"

"Oh, itu kakak ipar saya di RS, jadi saya mau ke sana sekalian." Amira melihat ke arah pak Rahmad kemudian dia melihat mobil Dinan masuk gang.

"Saya sudah dijemput, mari pak Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh." Amira segera keluar gerbang dia tidak ingin Dinan keluar mobil dan terjadi keributan besar karena guru pujaan sekolahnya kini berstatus menjadi suaminya.

Amira segera membuka pintu dan masuk. Dia segera mengenakan sabuk dan mengambil napas.

"Kenapa lari-lari?"

"Saya tidak mau jadi bahan gosip. Gak siap!" Dinan menoleh ke arah sang istri dia merasa tak yakin dengan ucapan sang istri namun dia mengangguk. Memutar setir dan kembali ke jalan besar.

"Memangnya bahan gosip apa?" Dinan mengulurkan kotak tisu kepada Amira, karena tadi dia sempat melihat sang istri mengelap keningnya dengan ujung jilbab.

"Ya, kan anak kelas tiga kenal gitu sama pak Dinan. Kalau tahu pak Dinan suami saya, wah bisa diamuk fans pak Dinan saya." Dinan terkekeh dengan ucapan sang istri.

"Dlo kok pulang?"

"Iya, tadi mbak Dinda udah dibawa pulang. Makanya saya terlambat menjemput kamu karena tadi nyupiri bang Arif dulu." Amira mengangguk, dia menyesal sudah kesal dengan sang suami. Sekarang dia mulai menekankan bahwa suaminya adalah orang yang jujur dan baik jadi jika dia melakukan sebuah kesalahan pasti ada sebab dibaliknya.

"Nanti kita ke rumah Bunda, Ya?" Amira menoleh ke arah Dinan.

"Kenapa?"

"Ibu dan bapaknya mbak Dinda tadi datang. Dan di rumah bang Arif kan gak ada kamar lebih jadi kita tidur di rumah bunda biar kamar kita nanti dipakai orang tua mbak Dinda." Amira menoleh ke arah Dinan, dia menjadi merasa bersalah karena Dinan ternyata jauh lebih mengerti dirinya.

"Ayo turun," ajak Dinan setelah memarkirkan mobilnya.

"Maaf," kata Amira pelan.

"Kenapa?"

"Maaf karena saya tidak tahu apapun. Entahlah saya merasa bersalah saja."

"Kamu tidak perlu merasa bersalah. Kita memulai hubungan pada waktu yang tepat karena semua itu adalah takdir dari Allah. Dan rencana Allah jelas bisa dipastikan bahwa rencana yang baik. Karena Allah tahu apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan." Amira menitikan air matanya dia sangat terharu dengan ucapan Dinan.

"Pak Dinan kok sweet banget sih." Dinan terkekeh.

"Iya dong, saya jurusan sastra Indonesia loh. Jadi saya pandai merangkai kata."

"Jadi itu tadi cuman rayuan gombal? Tapi gak papa, itu sudah membuat saya bahagia." Dinan mengelus puncak kepala Amira.

"Itu jujur dari sini." Dinan menaruh telapak tangannya di dada. Kemudian tersenyum.

"Kemanapun pak Dinan pergi, saya akan ikut."

"Iya, kamu harus ikut karena saya tidak akan membiarkan kamu sendiri." Amira mengusap air matanya kemudian dia tersenyum.

"Meski sedikit terlambat tapi saya mau bilang bahwa saya bahagia." Amira mengatakan dengan senyum dikulum.

"Harus." Dinan mengatakan dengan nada tegas dan menggenggam tangan Amira.

"Bagaimana kalau kita mulaielepas formalitas bahasa." Amira mengangguk.

"Saya akan memanggil kamu, Miray. Kamu juga harus memiliki panggilan spesial." Amira mengangguk kemudian dia nampak berpikir.

"Pak Dinan kan suami saya, berati yang tidak saya miliki adalah pacar. Boleh saya panggil mas pacar?" Dinan mengerutkan keningnya kemudian dia tertawa kecil.

"Dari sekian banyak panggilan kamu mau manggil saya mas pacar?" Amira memgangguk dengan tegas.

"Itu panggilan sayang saya, gak bakal ada duanya." Dinan mengangguk kemudian dia tersenyum miring.

"Kalau kamu memanggil saya mas pacar, terus di depan banyak orang kamu tidak malu."

"Kenapa malu?" tanya Amira dengan nada santai kemudian dia membenarkan posisi jilbabnya.

"Ya itu sedikit aneh."

"Lebih aneh mana dengan adik-kakak tapi saling suka?"

"Maksudnya?"

"Ya, beberapa hari yang lalu ada beberapa anak didik saya yang mengatakan bahwa keduanya tidak pacaran tapi adik-kakak ketemu gede. Keduanya berlagak selayaknya orang pacaran, si cowok apel ke rumah di cewek. Kadang jalan bareng, makan bareng tapi statusnya dia bilang adik-kakak tapi gak pacaran karena pacaran itu dilarang. Bukankah itu lebih aneh."

"Terus kamu kasih saran." Dinan menatap penuh minat, nampak sekali dengan wajah Dinan yang seolah menanti jawaban yang akan dikeluarkan oleh Amira.

"Saya hanya bilang bahwa yang mereka lakukan tak lebih dari sebuah pacaran yang dilarang namun dengan status yang berbeda."

"Kenapa jadi bahas ini?" Amira berkata dengan nada merajuk.

"Baiklah, tidak lagi." Dinan terkekeh kemudian dia mencium kening Amira dan bergegas keluar mobil. Sedang Amira mengamati sekeliling untuk memastikan bahwa tidak ada yang tahu hal yang dilakukan Dinan kepada dirinya. Ah, kenapa dia memiliki suami yang tidak bisa menjaga sikap di luar.

Tapi kamu suka dengan sikapnya bukan, Miray?

Suka, suka sekali. Dia yang terbaik bagiku.

----

Terpopuler

Comments

Andriyah Nurhidayati

Andriyah Nurhidayati

kok gak mangilnya mas Dinan aja lebih mesra

2020-11-02

0

Ana Putriee Terate

Ana Putriee Terate

lanjut thor

2020-03-11

3

Dewi Terserah

Dewi Terserah

lanjut kan,,,,

2020-03-10

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!